Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) Intan Jaya di bawah arahan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD, melaporkan temuan pertama investigasi mereka atas rentetan pembunuhan di Kabupaten Intan Jaya, Provinsi Papua, pertengahan September lalu. Insiden tersebut menewaskan dua tentara dan dua orang sipil, termasuk Pendeta Yeremia Zanambani.
Berkas laporan diserahkan Ketua Tim Lapangan TGPF Intan Jaya Benny Mamoto kepada Mahfud pada Rabu (21/10) kemarin di Gedung Kemenko Polhukam. TGPF menggarisbawahi adanya dugaan keterlibatan tentara dalam kematian Yeremia.
Videos by VICE
“Mengenai terbunuhnya Pendeta Yeremia Zanambani pada 19 September 2020, informasi dan fakta-fakta yang didapatkan tim di lapangan menunjukkan dugaan keterlibatan oknum aparat. Meskipun ada juga kemungkinan dilakukan oleh pihak ketiga,” kata Mahfud saat membacakan laporan, dilansir Kompas. “Sejauh menyangkut tindak pidana berupa kekerasan dan pembunuhan, pemerintah meminta Polri dan kejaksaan untuk menyelesaikannya sesuai dengan hukum yang berlaku tanpa pandang bulu.”
TGPF bekerja sejak 1-17 Oktober dengan mewawancarai setidaknya 45 orang saksi. Investigasi tersebut sempat diwarnai kekerasan. Seorang anggota TGPF dan seorang sersan yang mengawal ditembak saat berada di Distrik Hitadipa pada 19 Oktober. Dosen UGM Bambang Purwoko tertembak di kaki, sementara Sertu Faisal Akbar ditembak di pinggang. Keduanya berhasil diselamatkan. Aparat menduga pelaku penembakan adalah kelompok kriminal bersenjata.
Sebelum TGPF dibentuk, TNI dan Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB) saling lempar kesalahan tentang siapa pembunuh Pendeta Yeremia. Kabid Humas Polda Papua Kombes AM Kamal mengisyaratkan, tidak mungkin TNI pelakunya karena tidak ada pos TNI di Hitadipa.
Namun pernyataan ini diragukan setelah Amnesty International Indonesia (AII) menemukan lewat citra satelit, ada pos TNI yang berseberangan langsung dengan rumah Yeremia. Warga sekitar bersaksi pos tersebut sudah ditempati tentara, termasuk terduga pelaku pembunuh, selama sembilan bulan.
“Keluarga [korban] bilangnya mengenali pelaku dan dari citra satelit terlihat ada pos keamanan di seberang jalan dari rumah pendeta Yeremia yang ditempati sudah sembilan bulan,” kata peneliti AII Ari Pramuditya.
Kepala Penerangan Komando Gabungan Wilayah Pertahanan III Suriastawa mulanya menuding pembunuhan Yeremia dilakukan kelompok separatis yang mencari muka menjelang sidang PBB pada 23 September 2020. Setelah TGPF melaporkan temuan, Suriastawa mengatakan akan menindak tegas anggota TNI yang terlibat.
“TNI sangat menjunjung tinggi proses hukum sebagai tindak lanjut dari proses ini. Kami tidak akan menutupi perilaku anggota yang jelas-jelas melanggar hukum, aturan, dan perintah-perintah dinas karena ini merupakan komitmen pimpinan TNI untuk menjadikan TNI sebagai institusi yang taat hukum,” kata Suriastawa.
Komnas HAM yang turut menginvestigasi kasus tapi ogah gabung TGPF belum melaporkan hasil penelusuran independennya, namun udah ngasih kisi-kisi. Saat ini Komnas HAM mengaku sedang menguji fakta-fakta lapangan dengan melibatkan sejumlah ahli.
“Tidak hanya menjawab soal siapa pelakunya seperti yang dikasih sinyal oleh Prof. Mahfud, kami juga mendetailkan bagaimana insiden itu bisa terjadi. [Uji fakta] ini membutuhkan waktu,” kata Komisioner Komnas HAM Choirul Anam kepada Tempo. Anam menambahkan, kasus kematian Yeremia tidak berdiri sendiri, melainkan tersambung dengan berbagai peristiwa sebelumnya,
Direktur Perkumpulan Advokat Hak Asasi Manusia (PAHAM) Papua Gustaf Kawer menganggap hasil investigasi TGPF Intan Jaya tidak tegas. Gustaf mengkritik TGPF yang justru melibatkan aparat, salah satu pihak yang diduga terlibat. Pendapat sama dikemukakan peneliti Ari Pramudya kepada VICE, 2 Oktober lalu.
“Hasil investigasi belum terlalu tegas. [TGPF menyebut ada] indikasi oknum aparat [dalam] penembakan Pendeta Yeremia Zanambani, atau [keterlibatan] pihak ketiga. Arahnya ke perilaku oknum,” kata Gustav kepada Jubi. “Ruang [penyelidikan] itu seharusnya memang dilakukan oleh KPP [Komisi Penyelidik Pelanggaran] HAM. Sekarang TGPF ini bertindak seolah-olah Komnas HAM. Komnas HAM bertindak seolah-olah lembaga yang tidak punya kewenangan.”
Menurut Gustav, Komnas HAM seharusnya membentuk KPP HAM didominasi unsur sipil yang punya kewenangan melakukan penyelidikan, pemeriksaan saksi, pengumpulan bukti, sampai perizinan autopsi.
“Kalau dia [TGPF Intan Jaya] mengerti bahwa dia lembaga yang tidak punya kewenangan hukum melakukan tindakan pro justitia [tindakan hukum yang sah dan mengikat secara hukum], hasil investigasinya itu [seharusnya] diserahkan ke Komnas HAM, bukan ke Presiden. Nanti baru Komnas HAM yang punya kewenangan yang melakukan tindakan pro justitia,” tambah Kawer.