Pakar Jabarkan Tiga Penyebab Tragedi Kanjuruhan, Suporter Dinilai Bukan Faktor Utama

Pakar Jabarkan Tiga Penyebab Tragedi Kanjuruhan karena panpel dan r

Setidaknya 125 orang dinyatakan meninggal dunia dan lebih dari 300 lainnya terluka, dalam sebuah insiden yang kini menjadi salah satu tragedi terkelam dalam sejarah penyelenggaraan sepakbola.

Insiden tersebut terjadi pada Sabtu, 1 Oktober 2022, di stadion Kanjuruhan Kabupaten Malang, Jawa Timur. Sekitar 2.000-an penoton dilaporkan memasuki area lapangan setelah klub Arema Malang dinyatakan kalah 2-3 melawan Persebaya Surabaya dalam pertandingan Liga 1.

Videos by VICE

Kecewa dengan kekalahan tersebut, pendukung Arema melemparkan botol dan benda lain ke arah pemain dan manajemen sebelum menyerbu lapangan, yang akhirnya berujung pada kerusuhan. Rekaman video yang beredar menunjukkan personel kepolisian menembakkan gas air mata serta mengejar para pendukung tersebut dalam upaya memulihkan ketertiban. Para petugas polisi itu menggunakan senjata tongkat dan perisai.

Sebagai pakar tentang keselamatan kerumunan yang fokus mempelajari cara menerapkan keselamatan di acara besar, termasuk turnamen olahraga, saya melihat beberapa aspek yang menjadi satu benang merah dalam tragedi ini.

Apa yang salah?

Banyak kanal berita melaporkan bahwa jumlah penonton pertandingan itu di stadion melebihi kapasitas. Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Mahfud MD, mengatakan total tiket yang terjual adalah 42.000, sementara daya tampung maksimal stadion tersebut hanyalah 38.000.

Di tempat yang begitu padat itu, keputusan polisi untuk menembakkan gas air mata hanya akan membuat orang-orang yang ada di stadion itu panik dan situasi semakin kacau.

Terlebih lagi, stadion Kanjuruhan hanya memiliki satu pintu keluar (yang juga merupakan pintu masuk). Biasanya, dalam pertandingan olahraga yang kompetitif, emosi penonton mudah meningkat. Jadi, tidak heran bila hiruk pikuk kerumunan penonton yang bergegas ingin keluar stadion melalui hanya satu pintu keluar rentan menyebabkan kematian dan cedera.

Kita harusnya bisa belajar dari tragedi Hillsborough yang terjadi pada 1989, di Inggris dan tragedi festival musik Love Parade di Jerman pada 2010. Kedua acara tersebut berakhir sebagai tragedi kelam sebagai akibat dari kombinasi tindakan polisi, komunikasi yang buruk, serta akses jalan keluar yang buruk bagi penonton.

Bisakah tragedi ini dihindari dari awal?

Ada beberapa teknik yang dapat digunakan untuk memastikan hal seperti ini tidak terjadi lagi.

Penelitian menunjukkan bahwa penggunaan pencahayaan stadion untuk memberi tahu penonton bahwa pertunjukan telah selesai dapat membantu mereka keluar area stadion secara tertib. Penonton pada dasarnya meninggalkan tempat dengan cara yang sama seperti ketika mereka masuk, jadi semua pintu keluar harus terbuka, dapat diakses, dan memiliki penerangan yang baik.

Di luar itu, para penggemar sepak bola di Indonesia dikenal dengan rasa antusiasme yang tinggi. Sehingga, risiko kerusuhan yang tidak terkendali harus diantisipasi.

Salah satu cara mengantisipasinya adalah dengan memisahkan penonton ke beberapa zona yang berbeda – teknik ini digunakan dalam pertandingan Piala Dunia. Cara ini dapat mengurangi ketegangan di stadion karena akan meminimalisir kemungkinan para penggemar dari tim yang berbeda bertemu satu sama lain.

Polisi juga dapat membentuk barikade penghalang – namun jangan terlihat konfrontatif – menjelang akhir pertandingan, untuk memberi sinyal kepada kerumunan penonton bahwa polisi ada di sana untuk mengamankan situasi. Yang terpenting, polisi tidak perlu dipersenjatai.

Di Inggris, polisi cenderung pendekatan yang “lunak” dalam menangani kerumunan, dan cara itu sukses besar. Aparat polisi juga kerap mengenakan topi bisbol dan hoodies, bukan perlengkapan anti huru-hara seperti yang terjadi di Malang, dan hal itu telah terbukti dapan melunakkan respon massa, sehingga memungkinkan polisi untuk menerobos dan membubarkan bentrokan kecil sebelum situasi semakin panas.

Penggunaan gas air mata

Federasi Sepak Bola Internasional (FIFA) telah menetapkan dalam peraturan keselamatannya bahwa penggunaan senjata api atau “gas pengendali massa” oleh petugas keamanan atau polisi tidak diperkenankan.

GettyImages-1243713458.jpg
Coretan suporter di salah satu pintu akses Stadion Kanjuruhan yang kecewa pada penggunaan gas air mata. Foto oleh Juni Kriswanto/AFP

Penggunaan gas air mata dapat mengiritasi mata dan merangsang reseptor rasa sakit, sehingga dapat menyebabkan kepanikan. Di Malang, penggunaan gas air mata dalam situasi yang sudah meningkat secara emosional telah memperparah kepanikan dan berujung pada kekacauan.

Selain itu, walaupun orang-orang yang terkena gas air mata bisa pulih, tetap ada risiko konsekuensi kesehatan jangka panjang, terutama bagi mereka yang terpapar dalam dosis besar dan orang-orang dengan kondisi medis tertentu.

Penggunaan gas air mata adalah keputusan yang buruk dan telah memperburuk situasi. Presiden FIFA Gianni Infantino menyebut peristiwa ini sebagai “hari kelam bagi semua yang pihak terlibat dalam persepakbolaan dan tragedi yang sulit dipahami”.

Akankah ini menjadi tragedi terakhir bagi sepak bola Indonesia?

Pada tahun 1995, peneliti sekaligus mantan polisi Inggris Alexander Berlonghi mengemukakan tentang pentingnya memahami kerumunan massa untuk memastikan petugas keamanan dapat mengambil “tindakan yang kompeten dan efektif” ketika harus menangani mereka.

Menurutnya, tanpa memahami nuansa perilaku massa, strategi dan tindakan pengendalian yang dilakukan bisa menjadi kesalahan fatal. Lebih dari dua dekade kemudian, kita masih melihat kesalahan yang sama terjadi, bahkan sampai menyebabkan hilangnya nyawa.

Setelah kejadian tersebut, Presiden Joko “Jokowi” Widodo mengatakan pihak berwenang harus mengevaluasi prosedur pengamanan dalam pertandingan secara menyeluruh. Ia berharap ini akan menjadi “tragedi sepak bola terakhir di negara ini”.

GettyImages-1243677503.jpg
Pecinta sepakbola membuat acara di Stadion Jatidiri Semarang mengenang korban tragedi Kanjuruhan. Foto oleh WF Sihardian/NurPhoto via Getty Images

Kekerasan biasa terjadi dalam pertandingan sepak bola di Indonesia. Banyak laporan mengenai pendukung yang memukuli pendukung tim lain.

Ke depannya, para pemangku kepentingan harus fokus mengembangkan strategi pencegahan yang dapat mengurangi dan mengantisipasi dampak buruk, serta memastikan polisi cukup terlatih untuk menangani peristiwa semacam itu. Indonesia juga secara mendesak perlu meninjau budaya sepak bolanya secara keseluruhan.

Jika sejarah adalah sesuatu untuk dilalui, pihak berwenang harus mengambil langkah drastis untuk memastikan peristiwa Sabtu itu tidak akan pernah terulang kembali.


Alison Hutton adalah guru besar University of Newscastle, memiliki pengalaman panjang menjadi konsultan serta meneliti isu keselamatan kerumunan, sekaligus mempelajari cara menerapkan standar keselamatan di acara besar, termasuk turnamen olahraga

Artikel ini pertama kali tayang di The Conversation Indonesia dengan lisensi Creative Commons. Baca artikel aslinya di sini.