Tiga anak siswa kelas 2, 4, dan 5 di SD Negeri Tarakan 051, Kalimantan Utara diduga mengalami diskriminasi akibat kebijakan sekolah. Selama tiga tahun terakhir ketiganya selalu tinggal kelas, memunculkan dugaan adanya diskriminasi sebab ketiganya menganut kepercayaan Saksi-saksi Yehuwa (biasa disebut ‘Saksi Yehuwa’ saja), sekte yang kerap dianggap sempalan agama Kristen. Karena tak mungkin membiarkan anaknya tua di bangku SD, orang tua ketiga anak tersebut memutuskan lapor ke Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI).
“Ada 3 kakak beradik yang beragama Saksi Yehuwa yang tidak naik kelas selama tiga tahun berturut-turut karena permasalahan nilai agama di rapor,” tulis Komisioner KPAI Retno Listyarti dalam keterangan persnya, Minggu (21/11), dilansir Detik.
Videos by VICE
Menurut penjelasan Retno, sekolah memakai alasan berbeda untuk tiga kali tinggal kelas tersebut. Pada tinggal kelas pertama di tahun ajaran 2018/2019, sekolah memakai alasan siswa absen tiga bulan. Padahal, sebut Retno, saat itu siswa sedang dikeluarkan oleh sekolah, pada Desember 2018. Keputusan sekolah mengeluarkan siswa tersebut digugat ke PTUN Samarinda, Kalimantan Timur, hingga kemudian pada April 2019, pengadilan membatalkan keputusan sekolah. Selama masa persidangan itulah anak-anak terpaksa absen.
Di tahun ajaran selanjutnya, 2019/2020, anak-anak itu kembali tinggal kelas. Retno mengatakan, kali ini sekolah beralasan mereka tak bisa mengikuti pelajaran Agama karena tak ada mata pelajaran Saksi Yehuwa di sekolah. Lalu, di tahun selanjutnya ketika mereka lagi-lagi tak naik kelas, sekolah berdalih anak-anak itu memperoleh nilai agama yang terlalu rendah.
Akibat tindakan diskriminatif sekolah ini, Retno menyebut ketiga anak tersebut merasa terpukul dan kehilangan semangat belajar. Namun, Kepala SD N 051 Tarakan F.X. Hasto Budi Santoso menolak tudingan diskriminasi SARA di sekolahnya.
“Tidak ada perlakuan diskriminatif atau intoleran. Setiap bertemu guru, ketiganya selalu menyapa, hubungan dengan para temannya baik, begitu juga dengan guru-gurunya,” ujar Hasto, dikutip Wartakota. Menurut penjelasan Hasto, sekolah tak mempermasalahkan keyakinan Saksi Yehuwa ketiga siswa ini, juga tak pernah memperlakukan ketiganya secara berbeda.
Masalahnya, menurut Hasto, beberapa tindakan mereka dianggap tidak sesuai aturan sekolah. Misalnya, mereka tak mau menghormat bendera Merah Putih, ogah menyanyikan “Indonesia Raya”, dan menolak menyanyikan lagu-lagu kristiani dari buku pelajaran Agama dengan alasan tidak sesuai keyakinan.
“Dia mengikuti pelajaran Agama, tapi untuk tugas-tugas tertentu dia semakin menunjukkan bahwa Saksi Yehuwa itu bukan Kristen sehingga si guru agama tidak mendapatkan nilai yang lengkap bagi yang bersangkutan,” Hasto mengatakan kepada CNN Indonesia.
JW.org, situs resmi Saksi-saksi Yehuwa (Jehovah’s Witnesses) di Indonesia, tegas menyebut ajarannya sebagai Kristen. “Tetapi, dalam hal-hal lain, kami berbeda dengan kelompok agama lain yang disebut Kristen,” demikian keterangan di web. Secara moderat, Saksi Yehuwa biasanya diidentifikasi sebagai salah satu denominasi atau mazhab Kristen yang didirikan Charles Taze Russel di Amerika Serikat pada akhir 1800-an.
Di luar perbedaan prinsipilnya dengan Kristen arus utama seperti Katolik Roma maupun Kristen Protestan, Saksi Yehuwa cukup dikenal lewat praktiknya yang tidak merayakan Natal, tidak mengakui Trinitas, serta kerap mewartakan ajarannya secara door-to-door.
Pada 2017, Tirto yang meliput khusus jemaat Saksi Yehuwa menyebut aliran ini sudah ada di Indonesia sejak 2017. Salah seorang saksi—sebutan untuk pengikut Saksi Yehuwa—bernama Yosafat mengakui kepada Tirto, kepercayaannya kerap dianggap telah melenceng dari Kristen.
“Memang awalnya mereka mengira ini ajaran menyimpang karena tidak mencerminkan orang Kristen pada umumnya yang biasa merayakan Natal, punya salib. Kami jelaskan perlahan dasar kami sama—yakni Alkitab. Akhirnya mereka bisa mengerti,” kata Yosafat kepada Tirto.
Menurut keterangan Kemendikbudristek, kini telah ada tim Unit Pelaksana Teknis lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (UPT LPMP) Kemendikbud ristek dan KPAI yang datang ke Tarakan untuk memeriksa kasus ini.
Bagaimanapun akhir nasib ketiga anak tersebut, yang pasti ini bukan kali pertama siswa penganut Saksi Yehuwa dipermasalahkan sekolah. Pada 2019, dua siswa Saksi Yehuwa dikeluarkan SMP N 21 Batam karena menolak hormat pada bendera Merah Putih dan menyanyikan “Indonesia Raya”.
Herlina, orang tua salah satu siswa yang dikeluarkan, menilai penolakan itu karena sikap memberi hormat dengan tangan dianggap sebagai bentuk “menyembah”. Gerakan ini hanya boleh diberikan kepada Tuhan. Orang tua juga mengatakan, perbedaan kepercayaan ini tak pernah jadi masalah semasa anaknya bersekolah di SD swasta.
“Kami bilang itu iman anak kami, kami juga paham undang-undang, kami sudah sampaikan seperti itu, tetapi mereka [sekolah] tidak mau merespons kami,” kata Herlina kepada Tempo, November 2019. “Bagaimana lagi, itu memang hati nurani anak kami yang dilatih dengan Alkitab. Kami sebagai orang tua mengajarkan sesuatu kebenaran terhadap anak kami.”
Saat kasus siswa Saksi Yehuwa di Batam mengemuka, Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) mengimbau agar masalah keyakinan jangan sampai menghilangkan hak anak untuk mendapat pendidikan.
“Ajaran SSY [Saksi-saksi Yehuwa] memang berbeda dengan ajaran mendasar umumnya gereja-gereja di Indonesia. Namun demikian, tidak ada alasan warga gereja untuk meminta negara membatasi atau melarang keberadaan SSY. Bisa saja ajaran SSY dianggap tidak sesuai dengan ajaran gereja pada umumnya, namun hal tersebut juga harus dihormati,” bunyi rilis PGI saat itu. “[Kami] Meminta keseriusan negara untuk menjamin hak setiap warga negara, termasuk pengikut SSY, untuk memeluk agama dan keyakinannya, serta jaminan keamanan dalam melaksanakan ibadahnya.”