Peneliti-peneliti terdahulu menemukan bahwa orang-orang dengan kemampuan kognitif yang lebih rendah, cenderung berprasangka. Tapi, prasangka tak hanya dimiliki mereka yang dungu. Sebuah penelitian baru-baru ini menemukan bahwa baik orang-orang dengan kecerdasan tinggi maupun rendah sebetulnya mengekspresikan tingkat prasangka yang setara—perbedaannya: sasaran prasangka mereka.
Para peneliti, terdiri dari psikolog sosial Mark Brandt dan Jarret Crawford, menganalisis 4.914 subjek dalam percobaan mereka, berjudul “Answering Unresolved Questions About the Relationship Between Cognitive Ability and Prejudice.” Mereka mengukur tingkat prasangka dalam kelompok dengan kemampuan kognitif tinggi dan rendah. Sebelumnya, mereka mengukur kemampuan kognitif subjek penelitian menggunakan tes wordsum, yang dianggap berkolerasi dengan kecerdasan individu (IQ). Brandt dan Crawford mereplikasi temuan-temuan sebelumnya bahwa orang-orang dengan kemampuan kecerdasan rendah cenderung berprasangka terhadap kelompok-kelompok liberal atau nonkonvensional, dan kelompok-kelompok dengan “pilihan sempit”—misalnya, mereka yang termarjinalkan akibat ras, atau gender, atau orientasi seksualnya. Sedangkan, menurut penelitian mereka, subjek dengan kecerdasan lebih tinggi cenderung berprasangka terhadap kelompok-kelompok yang dianggap konvensional atau konservatif—kelompok-kelompok yang dianggap memiliki “pilihan luas.”
Videos by VICE
“Orang-orang tidak suka dengan orang-orang yang berbeda dari mereka,” ujar Brandt dan Crawford dalam sebuah wawancara dengan Broadly. “Menghina orang-orang dengan pandangan hidup berbeda bisa membantu seseorang mempertahankan keabsahan pandangannya.” Dengan kata lain, saat kamu memandang dunia dengan satu cara, kamu boleh jadi bergantung pada perspektif itu, sehingga kamu ingin mempertahankan keyakinan bahwa kamu benar dengan menganggap pandangan-pandangan lain salah.
Selain itu, Brandt dan Crawford menemukan bahwa orang-orang dengan kemampuan kognitif rendah cenderung berprasangka terhadap kelompok-kelompok yang dikucilkan masyarakat, seperti etnis tertentu atau komunitas LGBT. Inilah yang terjadi pada 2016, saat kelompok-kelompok konservatif di seluruh AS bersatu, dan intoleransi terhadap orang-orang transgender meningkat, warga Muslim AS kian menghadapi prasangka kejam, dan tingkat kebrutalan polisi tinggi.
Brandt dan Crawford mengutip penelitian sebelumnya yang menunjukkan bahwa orang-orang dengan kemampuan kognitif lebih rendah seringkali memandang kelompok-kelompok berbeda berdasarkan perbedaan satu sama lain, dan menekankan batasan-batasan yang jelas.
“Memiliki batasan-batasan yang terang membantu orang-orang merasa seolah kelompok lawan amat berbeda dan jauh. Jadi, kelompok tersebut tidak dianggap ancaman,” ujarnya. Para peneliti menyebutkan sebuah penelitian baru yang menelaah fenomena batas ini sehubungan dengan rencana tolol Donald Trump untuk membangun tembok besar di sepanjang perbatasan selatan Amerika Serikat—yang akan menjadi batasan harafiah alih-alih batasan mental seperti sebelumnya.
Kelompok-kelompok konservatif yang mendukung rencana ini mengekspresikan prasangka terhadap kelompok-kelompok dengan “pilihan sempit”—dalam kasus ini adalah warga Meksiko, atau orang-orang yang terlahir Meksiko yang tidak memilih demikian. “Di sisi lain, orang-orang dengan kemampuan kognitif tinggi mengekspresikan prasangka terhadap kelompok-kelompok dengan “pilihan luas,” seperti para konservatif, kata peneliti. “Mereka geram terutama pada kelompok-kelompok yang, menurut mereka, seharusnya bisa mengubah pandangan mereka.”