News

Tiongkok Jalankan ‘Diplomasi Buddha’ Demi Mendominasi Perdagangan Global

Unjuk rasa menandai 60 tahun perlawanan Tibet atas penjajahan Tiongkok

Pada 1959, petinggi Partai Komunis memerintahkan kebijakan brutal menghabisi pemberontakan rakyat dan pendeta Buddha di Tibet yang menolak invasi Tiongkok. Akibatnya, Tibet menjadi salah satu daerah paling dibatasi kebebasan beragamanya di dunia, bahkan setelah enam dasawarsa kemudian. Mereka yang beragama Buddha di Tibet paham betul betapa bengisnya perlakuan Tiongkok terhadap pemeluk agama cinta damai tersebut.

Meski para politikus di Beijing terus menindas umat Buddha di Tibet, pemimpin Tiongkok sekarang ingin memanfaatkan ajaran Buddha dalam upaya mendominasi perdagangan global.

Videos by VICE

Bangsa Tibet di berbagai negara, pada pertengahan Maret 2019, berunjuk rasa memperingati 60 tahun pemberontakan yang gagal. Mereka memprotes penjajahan yang terus berlangsung di tanah air mereka, dan pembatasan kebebasan yang dialami warga Buddhis. Puluhan ribu kader Komunis mengawasi wihara dan desa-desa.

Warga dipaksa mengganti foto Dalai Lama, dengan petinggi partai komunis. Untuk meredam berita soal demonstrasi itu, pemerintah Tiongkok menggembar-gemborkan data bahwa ibu kota Tibet, Lhasa, sebagai kota teraman di Negeri Tirai Bambu.

“Para biksu dan biksuni harus mematuhi persyaratan utama kalau mau tetap diizinkan beribadah, yaitu setia kepada Partai Komunis. Urusan agama mesti dinomorduakan,” kata Bhuchung Tsering, wakil presiden Kampanye Internasional Tibet, kepada VICE News. “Partai Komunis Tiongkok mendikte semua yang perlu dilakukan pemimpin agama di negara kami.”

Ironisnya, Tiongkok beberapa tahun terakhir menggambarkan negaranya sebagai pendukung umat Buddha. Rezim Beijing melakukan propaganda macam itu tentu bukan tanpa alasan. Tiongkok ingin mengajak negara-negara dengan populasi Buddhis besar agar bergabung dalam program ‘Insiatif Satu Sabuk dan Satu Jalan‘—proyek miliaran dolar demi mendominasi perdagangan internasional, dengan dalih menghidupkan lagi jalur sutra dari masa lampau.

Myanmar, salah satu yang coba dirayu ikut program itu, dengan persuasi pentingnya sesama negara Buddhis bekerja sama. Selama 10 tahun terakhir, Tiongkok sangat aktif meningkatkan hubungan agama dengan negara tetangganya di perbatasan selatan itu. Sekitar 88 persen penduduk Myanmar menganut agama Buddha. Di saat bersamaan, Cina tak ragu menginvestasikan US$2,5 miliar (setara Rp35 triliun) untuk membangun jaringan pipa minyak dan gas di Myanmar. Tiongkok pun menegosiasikan kesepakatan pembangunan pelabuhan dan bendungan bernilai miliaran dolar di Myanmar.

“Diplomasi sentimen sesama penganut Buddha oleh Tiongkok sangat signifikan, karena beberapa negara kecil yang diajak kerja sama mengkhawatirkan kekuatan Cina. Padahal mereka sebenarnya takut semua pinjaman luar negeri yang diberikan Tiongkok akan menjebak mereka dalam lilitan utang,” kata Dr. Sudha Ramachandran, pengamat politik spesiaslis Asia Selatan, kepada VICE News.

Negara yang nyata-nyata terbelit utang luar negeri Tiongkok adalah Sri Lanka.

Setelah Tiongkok membantu pemerintah dari elemen mayoritas Buddha memenangkan perang saudara yang berlangsung puluhan tahun di Sri Lanka, presiden baru memberi Tiongkok konsesi pembangunan pelabuhan bernilai miliaran dolar di kota kelahirannya. Delapan tahun setelah kesepakatannya ditandatangani, Sri Lanka rupanya tak mampu mengembalikan pinjaman tadi. Negara kecil di teluk Bengal itu terpaksa menyerahkan pengelolaan pelabuhan Hambantota pada Tiongkok selama 99 tahun, sebagai cara pelunasan utang.

“Warga di negara-negara mayoritas Buddha sekarang berpikir, ‘Kalau kita ingin menggenjot pembangunan infrastruktur, hanya Tiongkok yang bersedia memberikan pinjaman dengan bunga rendah,’” tutur Ramachandran kepada VICE News. “Mereka sebetulnya khawatir pada dominasi Tiongkok, tapi masalahnya tidak tersedia pilihan lain.”

Tonton video dokumenter kami tentang diplomasi Buddha ala Tiongkok di tautan awal artikel ini

Artikel dan video ini pertama kali tayang di VICE News