Inilah yang Kusadari Setelah Berhenti Mengejar Passion Selama Bekerja

꿈, 직장, 열정, 밀레니얼, 워라밸, 직장

Suatu hari, aku sedang bersantai di ruang kantor berkonsep terbuka saat teman menghampiri. “Inikah pekerjaan impianmu?” tanyanya.

Kala itu, aku habis resign dari perusahaan besar untuk fokus membantu organisasi nirlaba kecil membuat tulisan menarik bagi startup yang baru dirintis, gratis tanpa bayaran. Itu sekitar lima tahun lalu, saat aku memasuki usia 26 dan mendapat pekerjaan yang sesuai jurusan kuliah dulu—Development Studies, yang terdengar keren untuk dipamerkan setiap ada kesempatan.

Videos by VICE

Namun, apakah itu profesi yang kudambakan? Tentunya bukan.

Satu hal yang paling bikin aku malu sebagai kaum milenial adalah aku enggak punya karier impian apa pun. Aku menganggap diri seorang penulis, tapi aku sama sekali tak tergugah dengan prospek kerja menciptakan kampanye media sosial, menulis salinan yang catchy atau bahkan mendalami SEO. Aku menyukai pekerjaanku selama ini, tapi yah… rasanya tetap seperti tanggung jawab, terlepas dari iming-iming yang berkata sebaliknya.

Aku hanya bisa berkeringat dingin setiap kali manajer HRD bertanya ingin menjadi apa 10 tahun ke depan. “Saya saja enggak tahu minggu depan mau ngapain… ha ha,” jawabku bergurau. Pertanyaan semacam ini membuatku penasaran, memangnya orang lain sudah punya bayangan apa yang ingin dicapai 10 tahun ke depan?

Tekanan yang kurasakan tak hanya berasal dari dunia kerja saja. Terkadang teman sepermainan bertanya kapan aku akan menerbitkan buku.

“Aku enggak pernah bilang mau menulis buku,” jawabku. “Tapi kamu harus mempertimbangkannya,” kata mereka, seolah-olah menulis buku semudah membalikkan tangan. Seumur hidupku, satu-satunya hal menarik yang pernah kulakukan yaitu bersepeda menuruni tanjakan sambil menyeimbangkan jeruk bali di kedua tangan—kurang menyentuh hati untuk dijadikan memoar.

Aku hanya bisa membalas, “Aku coba pikirin dulu.”

Tapi kenyataannya, aku enggak punya semangat membara untuk menulis. Aku enggak mencari inspirasi sambil sebat saat menulis tentang dunia kripto. Aku tak pernah menciptakan dunia fiktif atau tokoh yang sebenarnya hanyalah gambaran terbaik dari diriku. Aku menjadi penulis sebagian karena tergiur bisa makan-makan dan nonton konser gratis.

Gagasan mewujudkan karier sesuai passion—bahwa aku harus menghasilkan sesuatu yang hebat di dunia yang fana ini—tercipta karena sejak kecil disuapi kata-kata inspiratif ala Disney yang menekankan pentingnya mengejar mimpi. Akibatnya, sebagian besar waktu kuhabiskan untuk mempertanyakan apa yang salah dengan diriku. Kenapa aku enggak punya hasrat untuk melakukan apa pun?

Akan tetapi, konflik batin ini tak sepenuhnya salah didikan yang kuterima semasa kecil. Konsep kerja yang ada saat ini terbentuk dari semua yang telah dialami oleh generasi milenial. Sementara boomer menganggap karier sebagai cara memperoleh kehidupan mapan, generasi milenial tampak memandang profesi sebagai bentuk membebaskan diri dari keinginan orang tua (sambil didukung oleh janji-janji bahwa kita bisa mencapai apa pun yang diinginkan). Aku enggak tertarik jadi dokter atau PNS. Aku mau mengejar mimpi menjadi pembaca puisi.

Sekarang pun telah terjadi perubahan lain. Semakin banyak orang menyadari, hidup ini tak melulu berpusat pada pekerjaan. Ada banyak hal yang bisa kita nikmati dan jalani di luar urusan kantor.

Aku lantas teringat petuah yang pernah disampaikan oleh pembimbingku. “Kamu bisa melihat pekerjaan dari dua arah. Kamu bisa memperlakukan pekerjaan sebagai passion, atau sebagai pendorong gairahmu.”

Menurutku, ini masuk akal. Menjadikan pekerjaan sebagai passion sepertinya cocok untuk segelintir orang saja. Tak semua orang bersedia menjadi budak korporat atau pekerja kerah biru. Kenyataannya, sebagian besar dari kita bekerja untuk menyambung kehidupan (kalau aku pribadi, untuk membiayai perawatan kucingku yang hidup bak sultan). Tak ada keharusan mengubah pekerjaan menjadi sesuatu yang lebih hebat, terlebih jika kamu tak menginginkannya.

Pekerjaan terasa jauh lebih menyenangkan begitu aku tak lagi terpaku memperlakukannya sebagai impian, identitas atau passion. Aku berhenti memaksakan diri untuk menemukan “panggilan hidup” dan mempertanyakan apakah pekerjaanku sudah sejalan dengan cita-cita. Sekarang, aku fokus mengerjakan hal-hal yang memang aku nikmati, dan menerima tawaran pekerjaan apa adanya. Yang terpenting, apa yang aku lakukan ada tujuannya dan tidak merugikan siapa pun. Aku menjadi lebih berdamai dengan pekerjaan setelah menerima kenyataan itu.

Tentu saja, aku berhenti dari pekerjaan sukarela tadi dan mendalami bidang yang paling aku kuasai: menulis tentang kuliner, musik dan kehidupan.

Cita-citaku mungkin bukan menjadi penulis, tapi sekarang aku merasa lebih terhubung dengan profesi ini setelah delapan tahun menjalaninya. Kalau boleh jujur, aku merasa telah melakukannya dengan baik dan semakin jatuh cinta dengan setiap prosesnya.

Impian dan cita-cita tak selalu ditentukan saat kita masih kecil. Terkadang kita baru menemukan apa yang sebenarnya ingin kita lakukan setelah beranjak dewasa. Aku pribadi menemukan kebahagiaan dari menulis esai pribadi seperti ini.

Follow Nikki Natividad di Instagram.