Tips Agar Seniman Muda Tak Sampai Menjiplak Karya Idolanya ala Owi Liunic

Hasil goresan pena Okivyane Liunic sekilas mentah, hanya saja jangan sampai terperdaya. Sekali matamu memandangi karya Owi—demikian dia biasa disapa—cukup lama kau akan menemukan semesta yang hidup sekaligus intim di tiap sketsa ataupun animasinya. Selalu ada tafsir mengenai emosi dan hubungan antar manusia dalam setiap karyanya.

Merujuk estetika kekinian, orang-orang biasanya menganggap karya Owi dipengaruhi pakem doodle art. Tapi dia menolak dikotakkan. Gayanya harus diakui terasa orisinal dalam lanskap seni rupa Indonesia kontemporer. Itu semua karena dia terus mencari pendekatan baru dalam menggambar dan membuat animasi. “Gue kaya ngerasa harus terus ngulik gitu,” ujarnya.

Videos by VICE

Gabungan antara warna yang lembut bersama gagasan menarik dari Owi sering di luar perkiraan. Tak heran bila dia cepat menjadi seniman yang diperhitungkan dalam bidang animasi Tanah Air. Di usia yang belum genap 25 tahun, dia sukses menjadi finalis Go Ahead Challenge pada 2016 lalu. Dalam usia nisbi muda, dia pun sukses berkarya bersama Dendy Darman dari UNKL untuk pameran Artospora. Jika ditilik lagi, ternyata kebiasaan keluarga, terutama sang ayah yang memberikan nama unik untuknya, jadi motor yang memperkenalkan Owi pada dunia seni gambar.


Tonton dokumenter VICE tentang seni kontemporer Indonesia dipandu Owi Liunic saat mengunjungi ROH Projects:


Kini Owi terus berkolaborasi dengan banyak pihak, mulai membuat artwork untuk penyanyi pendatang baru Sheryl Sheinafia, terlibat dalam perancangan konsep Bhumi Sumba, dan banyak lagi lainnya. Bersama sang kakak, yang juga menekuni dunia seni, Owi mengembangkan bisnis kreatif seputar gambar dan desain yang mengedepankan originalitas.

Berikut cuplikan obrolan kami bersama Owi Liunic soal caranya menjaga orisinalitas karya sebagai seniman muda:

VICE: Halo Owi. Kamu kan berkarya dalam berbagai platform. Mulai dari sketsa, desain produk, sampai animasi. Kamu sendiri mendefinisikan dirimu sebagai apa sih?
Owi Liunic: Saat ini gue memposisikan diri freelance ilustrator dan animator. Gue juga ngurusin liunic on things bareng sama kakak gue. Sama gue kerja di salah satu branding consultant di Jakarta, as a creative associate.

Bisa diceritakan gimana perkenalanmu sama seni?
Awalnya dari pas masih kecil, hari minggu sekeluarga kaya gambar bareng gitu. Kita bareng-bareng diajak, “yuk gambar” sama papa-mama dan kakak, random aja. Sekeluarga ngumpul pakai krayon segala macem, terus gambar bareng-bareng hampir seharian. [Kalau dipikir lagi] aneh banget sih, udah jadi ritual. Itu dari gue SD sampai kelas berapa gitulah. Sekarang tapi udah enggak lagi, [keluarga] sudah sibuk masing-masing soalnya.

Apakah gaya gambarmu dari masih iseng bareng keluarga sampai sekarang selalu sama? Apa yang dulu biasanya kamu gambar?
Berubah-ubah sih. Sekarang gue lebih suka gambar yang shape-shape gitu, sementara dulu gue suka gambar binatang dan orang atau kalau enggak pemandangan, pokoknya random. Tapi dari dulu sampai sekarang intinya gue gambar apa aja yang gue mau.

Gara-gara biasa diajak gambar bareng keluarga tadi, apakah kamu sejak kecil tahu akan memilih karir sebagai seniman profesional?
Enggak. Justru kebalikannya. Pas SMA gue ngambil konsentrasi IPA, terus mau masuk jurusan kedokteran gigi. Pas menjelang ujian masuk universitas kaya failed. Pokoknya enggak jadi dokter gigi. Habis itu ya udah milih jurusan Desain Komunikasi Visual (DKV). Pertimbangannya sekadar karena gue suka gambar.

Berarti setelah kuliah DKV itulah dirimu baru yakin akan jadi seniman?
Sebenernya gue enggak yakin juga sih untuk jadi seniman. Gue mikirnya pas mulai kuliah ‘ya jalanin aja’. Ternyata bisa juga. Gue awalnya enggak yakin jadi seniman karen gue ngerasa kurang ngulik gitu. Jadi seniman kayaknya emang harus selalu ngulik, harus ngexplore. Gue dulu ngeliat karya orang-orang lain kadang-kadang ngerasa pressure, “gila jago banget, ini gue harus kaya gimana biar sejago mereka?” Lama-lama mau enggak mau harus belajar.

Dari awalnya biasa menggambar ilustrasi, kenapa Owi belakangan menekuni jalur karir sebagai animator?
Pas di tahun kuliah kesekian, gue disuruh milih sub-major, mau multimedia atau grafik. Terus gue milih multimedia, soalnya waktu itu kaya gue pengen bikin sesuatu yang gerak. Kayaknya seru juga gitu nyoba-nyoba warna terus nyoba kayak apa sih hasilnya kalau digabung sama animasi. Dulu jujur gue sering bingung mau ngegambar apa. Sekarang gue seringnya malah penasaran ide gue apakah bisa digerakin atau diapain lagi ya.

Karakter gambar seorang Owi sekilas kayak udah jadi nih ya. Dulu gimana caramu mencari originalitas gaya? Kan ilustrator atau animator di luar sana ada banyak?
Menurut gue, punya style tersendiri tuh penting sih, tapi sebenernya gue juga masih nyari-nyari kok. Gua enggak mau berhenti sampai situ doang. Sekarang gue kaya udah ketemu nih gayanya, tapi mustahil gue enggak bakal berubah lagi. Gaya sudah pasti berubah. Elo enggak mungkin sama terus seumur hidup. Sebagai seniman, pasti lama-lama elo dapat inspirasi dari mana aja dan pasti terus ngembangin style.

Gimana perjalananmu dapat karakter animasi atau ilustrasi seperti sekarang? Apakah sempat mengalami fase imitasi karya seniman lain?
Lumayan sulit. Awalnya pasti ngeliat reference dulu. Kadang mikir, “kok orang bisa sih bikin kaya gini?” terus kaya coba-coba, istilahnya imitate juga. Karya yang menurut gue menarik tadi dijadiin bahan studi. Lama-lama caranya menurut gue sih, banyak cari referensi, jalan-jalan, lihat visual yang bagus-bagus gitu. Sama, gue sendiri akhirnya merasa enggak cukup kalau cuma nguasain satu media doang. Enggak bisa nih gue cuma nguasain ilustrasi. Ada titik gue ngeliat layout bagus, tipografi bagus gitu, terus gue mikir essence-nya menarik kalau bisa dimasukin ke dalam satu kesatuan. Akhirnya gue mutusin hal-hal menarik dan menginspirasi tadi sebaiknya digabungin. Makanya sekarang gaya gambar gue lagi banyak ngegabungin tipografi ke ilustrasi. Sama sekarang gue lagi ngembangin kaya ilustrasi gue biar enggak terlalu kompleks, biar enggak terlalu cluttered, tapi masih kaya visualnya, masih terasa well composed. Ke depan mungkin gue akan main di warna.

Owi di ruang kerjanya

Inspirasi berkaryamu datang dari mana biasanya? Apakah banyak pengaruh di luar seni rupa, kayak film atau musik?
Ada pengaruh pastinya. Misalnya, lagi nonton film, terus ada scene yang gue mikir “wah bagus banget nih buat diterapin ke ilustrasi.” Gue juga pernah bikin karya karena terinspirasi film. Dulu misalnya habis nonton Grand Budapest Hotel sama Isle of Dogs. Gue terinspirasi desainnya, gue jadiin animasi. Wes Anderson itu sutradara favorit gue. Komposisi frame di film-film [Anderson] kaya super detail gitu, sementara gue kalau bikin gambar kan enggak bisa detail. Akhirnya gue ubah, karakternya dibikin sama cuma gambarnya simplified. Cuma tetap senang sih. Apa yang gue tonton bisa gue gambar ulang dengan style yang berbeda.

Bagi seorang Owi, gimana cara membatasi sekadar ‘terinspirasi’ dengan meniru mentah-mentah karya yang disukai. Seniman muda kan sering menghadapi persoalan kayak gitu.
Apakah menggabungkan beberapa referensi di kepala gue bisa dianggap meniru? Menurut gue enggak sih, as long as elo enggak bener-bener menjiplak. Batasannya selama elo masih bisa ngasih tweak. Jadi sebenernya ketika terinspirasi dari suatu karya, kita cuma mengambil esensinya. Misalnya, gambar yang elo lihat karakternya wavy, ya elo enggak bisa plek ketiplek bikin yang wavy juga. Dari inspirasi wavy tadi, elo harus mikir mau diapain. Untung sepanjang gue berkarir enggak pernah dituduh meniru gaya seniman lain. Tapi emang banyak sih beberapa orang menuduh, “ah si anu niru nih”, atau bilang “ah dia nonton film ini nih makanya karya dia gini.”

Makanya, gue walaupun banyak terinspirasi dari karya orang, tapi hasil akhirnya harus beda. Elo berkarya kan harus masukin nama elo, berarti ada essence diri elo di karya itu kan. Proyeksi kepribadian elo harus ada di karya itu. Lama-lama kalau bisa teratur dilakukan, pasti orang sadar warnanya elo banget, terus stroke-nya, komposisinya, gerakannya, orang akan sadar kalau ada ciri khas elo banget di sana.

Apakah pendekatanmu gitu juga saat membuat animasi dan ilustrasi?
Sebenernya pas bikin animasi sama ilustrasi cara mikir otak gue justru beda. Ilustrasi kan lebih elo gimana nih mengkomposisi gambarnya. Sedangkan kalau animasi elo akan mikirnya lebih banyak ‘gimana nih gerakannya, transisinya mau gimana’. Tahapan gue bikin animasi itu biasanya mulai dari storyline. Gue mikir ceritanya mau kayak gimana, karakternya gimana, terus seberapa panjang story-nya, goals-nya apa, objektifnya apa gitu. Habis itu semua terpikirkan, baru gue kayak cut-cut gitu per scene. Selesai di-cut, gue coba sketch, hasilnya masih jelek banget gitu. Baru nanti gue rapihin di fase digital story board-nya. Setelah rapi gue warnain color key-nya, di-apply ke semua story board, baru deh gue mulai animate. Kalau udah animate yang ada di pikiran gue biasanya lebih ke transisi dari scene ke scenenya gimana, terus setelah udah jadi, gue compose semuanya, ditaruh musiknya.

Apakah Owi yakin animator menjanjikan sebagai profesi di masa mendatang?
Menurut gue, balik lagi sih ke masing-masing orangnya. Semua tinggal elo mau atau enggak ngambil kesempatan ketika ditawari orang, elo mau enggak bikin sesuatu? Kalau mikirnya masih ‘aduh kayaknya gue enggak bisa’ ya mau sampai kapan [majunya]. Dulu gue juga kayak gitu, mikirnya kayak ‘gue enggak bisa’ pas ada tawaran. Terus ya udah lewat gitu aja. Setelahnya gue berubah, mulai cari-cari tahu. Caranya gimana, tekniknya gimana kalau ngerjain proyek buat orang. Lama-lama, ternyata bisa juga nih [jadi sumber penghidupan].

Wawancara ini telah disunting agar lebih ringkas dan enak dibaca


Realness adalah seri video dan wawancara, kolaborasi VICE X JD.ID, untuk mencari sosok-sosok asal Indonesia yang berani mengedepankan nilai orisinalitas di bidang profesionalnya masing-masing.