Di era sekarang, siapa sih yang tidak tahu LinkedIn? Punya profil LinkedIn bagaikan kewajiban dalam dunia kerja karena sifatnya sudah seperti CV digital. Kamu bisa memanfaatkannya untuk mengembangkan karier, sekaligus memperluas jaringan profesional.
Sayangnya, konten di situs itu terasa kaku dan membosankan. Kebanyakan cuma postingan para entrepreneur pamer kesuksesan, kiat-kiat meningkatkan produktivitas, atau motivasi diri yang kelewat basic. Tapi kalau diperhatikan, mayoritas pengguna tampaknya suka membaca kisah-kisah perjalanan seseorang dari mereka hidup susah sampai sukses. Postingan semacam ini selalu mengumpulkan ribuan like hingga viral di internet. Maka dari itu, tidak heran jika tulisan Alexander C. yang beredar September lalu berhasil menciptakan kehebohan di platform tersebut.
Videos by VICE
Dalam postingan itu, dia membeberkan pengalaman naik jabatan berkat hidup hemat. Menurut Alexander, perusahaan tempatnya bekerja salut karena dia tak sepeser pun menggunakan uang makan yang telah disediakan kantor saat dinas ke luar kota. Selama menginap di hotel, dia lebih suka makan rebusan ayam yang dimasak pakai mesin pembuat kopi daripada pergi ke restoran mahal.
Kisahnya disukai hampir 1,6 ribu orang. Meski ada yang menyebutnya konyol, tak sedikit pengguna terkesan Alexander bisa naik jabatan karena hal sepele. “Saya terkejut banyak yang memercayai postingan itu,” ungkap Alex Cohen, pegawai startup di balik tulisan itu. “Bahkan ada jurnalis yang bertanya apa benar saya naik jabatan karena tidak memakai uang makan dari kantor.”
Pada kenyataannya, lelaki 29 tahun itu hanya bercanda. Dia melakukannya semata-mata untuk mengetes reaksi para pengguna. “LinkedIn bagus buat shitposting – enggak akan ada yang tahu kamu bohong,” tuturnya.
Menariknya, ucapan Alex ada benarnya. Dia bukan orang pertama dan terakhir yang mengunggah postingan satire di situs yang konon mengedepankan profesionalitas. CEO bernama Chris Bakke, misalnya, memamerkan rutinitas harian yang padat. Akan tetapi, yang ia lakukan cuma dengerin podcast dan makan donat. Selanjutnya ada pemuda yang menceritakan pengalaman tergilanya saat menjadi karyawan Amazon. Dia bilang lebih mementingkan pekerjaan daripada menyelamatkan pacarnya yang terjebak di apartemen ketika terjadi kebakaran.
Perhatianmu otomatis tersedot begitu membaca kalimat pembuka postingan yang menarik. Kamu baru sadar mereka sedang guyon di pertengahan paragraf. Kamu mungkin akan bertanya-tanya apa gunanya mereka shitposting di LinkedIn. Bukankah platform ini untuk mencari pekerjaan? Kalau memang ingin bercanda, sudah ada tempat yang lebih cocok untuk itu.
Postingan-postingan tersebut sebetulnya untuk menyindir para pengguna yang suka berbagi kisah inspiratif namun tak masuk akal. Ditambah lagi, generasi muda sudah tidak tahan dengan lingkungan kerja toksik yang kerap dipromosikan di LinkedIn. Wajar kalau mereka kaget dengan kelakuan pengguna saat mereka mencoba mencari pekerjaan di situs itu.
“Banyak Gen Z membenci LinkedIn karena kontennya terasa kaku dan palsu. Semua penggunanya haus pujian,” ujar Will Ye, software engineer yang mengaku pegawai Amazon di shitpost-nya. Lelaki yang berusia 24 tahun ini yakin LinkedIn butuh perubahan. “LinkedIn merupakan tempat terbaik mencari pekerjaan, tapi sayang sekali lingkungannya tidak ramah.”
Alex sudah berulang kali nge-shitpost di LinkedIn, tapi hanya satu postingannya yang ditinjau moderator. Itu artinya platform antara peduli dan tidak peduli dengan maraknya postingan lelucon di sana. VICE telah meminta tanggapan LinkedIn, tapi tidak menerima jawaban.
Bakke sependapat dengan Ye, bahwa orang malas menggunakan LinkedIn karena sebagian besar kontennya terasa palsu. Itulah sebabnya dia sengaja bikin postingan palsu yang berkedok motivasi. “Kalau postingan yang kedengarannya mengada-ada bisa viral, berarti saya juga bisa bikin tulisan sekonyol mungkin,” ungkapnya.
Akan tetapi balik lagi, postingan lebay semacam itulah yang justru menjadi daya tarik LinkedIn. Ketiga narasumber VICE mungkin berniat mengejek budaya hustle pengguna LinkedIn yang terdengar seperti omong kosong, sedangkan banyak pengguna tergila-gila dengannya.
“Pemasar menyebut LinkedIn kering kerontang,” kata Bakke. “Platform itu miskin konten.” Tapi dari pengalaman pribadinya, postingan tentang rutinitas palsu mendapat lebih banyak engagement di LinkedIn. “Di Twitter paling banter cuma dapat 500 like. Tapi di LinkedIn, postingannya bisa dapat 10.000 like.”
Menurut Alex, memposting konten shitpost di LinkedIn dapat membantu orang mencari tempat kerja yang menyenangkan. “Mereka sadar kita punya selera humor bagus,” ucapnya. “Perusahaan yang kaku dan kolot enggak akan suka postingan kayak begini.”
Beberapa orang menilai shitposting adalah hasil dari sinisme, atau bahkan muncul karena ketidakberdayaan kita di dunia politik. Tapi di dunia kerja, kemampuan ngeguyon bisa menjadi penentu seperti apa lingkungan kerja di suatu perusahaan. Para perekrut bahkan dapat memanfaatkan shitposting untuk mencari calon kandidat yang kreatif. Bakke mengklaim punya maksud lain saat nge-shitpost di LinkedIn. “Sebenarnya itu strategi [kantor] saya untuk menemukan kandidat yang punya selera humor,” ujarnya.
Jika benar begitu kenyataannya, maka kita bisa bilang shitpost adalah konten paling autentik di LinkedIn.