Ketika Gunung Berapi Kilauea di Big Island, Hawaii meletus Juli lalu, sebuah “ bom lava” terlontar ke udara begitu lava mengalir ke lautan dan menerjang sebuah perahu wisata yang tengah berlabuh di tepi pantai. Nyaris 24 orang mengalami luka-luka.
Kini, ilmuwan dari kawasan Upstate New York tengah menggodok lava buatan guna mensimulasikan letusan gunung berapi paling berbahaya dengan efek yang spektakuler.
Videos by VICE
Proyek ini adalah bagian dari sebuah penelitian yang masih dikerjakan oleh Center for Geohazard, University of Buffalo. Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan kenapa lava dapat tiba-tiba meledak jika terkena air. Guna melakukannya, para ilmuwan tersebut menciptakan sebuah model mikrokosmos ledakan gunung berapi besar.
Eksperimen DIY ekstrem dirancang berdasarkan sebuah proses bernama “molten fuel-coolant interaction”—sebutan untuk perilaku lava yang tak ajeg di dekat air. Kerap kali, es, danau, lautan dan perairan di bawah tanah bisa memicu ledakan lava dan batu dalam sebuah letusan gunung berapi.
Dalam sejarahnya, air dan lava memang tak begitu bersahabat. Misalnya, gunung berapi Eyjafjallajökull di Islandia meletus di bawah sebuah gletser pada 2010, membumbungkan abu sampai ketinggian lebih dari 10.000 meter karena interaksi lava dan air. Akibat kejadian ini, semua penerbangan ke Eropa dari Islandia terpaksa ditunda selama satu minggu.
“Tak banyak tempat yang mau melakukan eksperimen tentang interkasi magma dan air pada bebatuan cair,” ujar Ingo Sonder, ketua proyek penelitian ini dan periset di Center for Geohazards Studies, kepada Motherboard. Senin lalu, temuan tim Sonder dimuat di Journal of Geophysical Research: Solid Earth.
Agar bisa membuat simulasi letusan gunun berapi, para ilmuwan terlebih dahulu menciptakan lava. Bahan utama pembuatan lava adalah batu basal—jenis umum bebatuan gunung yang keras—dan panas yang tinggi. Sekitar 58 kilogram batu basal dilelehkan dalam sebuah tungku pemanas pada suhu 1.315 derajat Celcius selama empat jam untuk membuat empat galon lava buatan. Setelah itu, lava buatan tersebut dituangkan ke kontainer tahan panas dari baja setinggi delapan sampai 18 inci. Baru setelah itu, air dialirkan lewat sebuah portal khusus di dinding kontainer dengan kecepatan 1,8 sampai 3 meter per detik.
Dan akhirnya, sebuah palu seberat 5 kilogram dijatuhkan untuk memicu ledakan.
Kadang, hanya sedikit material yang terlontar dari lava. Kalian lain, terjadi ledakan “dengan reaksi yang lebih kuat meninggalkan bekas mirip steam jet di udara, menurut catatan penelitian tersebut. Sejumlah kecil kaca vulkanik yang dikenal dengan nama “Rambut Pele”—diambil dari nama Dewi dalam Mitologi Hawaii—juga ditemukan di dekat situs penelitian.
Sonder menegaskan bahwa hasil penelitian awal ini tak bisa dijadikan “pegangan untuk menjelaskan sebuah fenomena alam” seperti ledakan lava. Kendati begitu, Sonder menemukan sejumlah tren yang berulang. Contohnya, ledakan terjadi bila air dialirkan dengan kecepatan yang lebih tinggi ke dalam kontainer yang lebih tinggi. “Temuan ini bikin saya kaget,” jelas Sonder. “Intensitas interaksi air dan lava justru naik saat kami tambah tinggi kontainernya.”
Beberapa percobaan juga berhasil menghasilkan ledakan dengan menggunakan air saja, tanpa harus menjatuhkan palu.
Keragaman hasil ini bisa saja diakibatkan oleh “efek Leidenfrost.” Saat sebuah cairan dipaparkan pada zat yang lebih panas, cairan tersebut akan membentuk film pelindung agar tidak mendidih. Namun, jika proses ini tak terjadi, misalnya ketika disemprotkan air, kedua zat bisa tercampur. Akibatnya, volume air mengembang, campuran kedua zat menjadi tak sebail dan terjadi ledakan spontan yang sering kita temui di alam liar.
Eksperimen Sonder cs. dikerjakan di Geohazard Field Station, University of Buffalo, Ashford, New York. Di tempat ini, para peneliti membangun model peristiwa geologis seperti kemunculan kawah vulkanik akibat ledakan bawah tanah, dalam skala besar, bahkan terlalu besar untuk ukuran lab biasa. Tempat ini bahkan memiliki fasilitas pelelehan batu sendiri.
Percobaan yang dilukan Sonder dan timnya sebelumnya pernah dijajal oleh laboratorium lain. Cuma memang skalanya jauh lebih kecil. Selain itu, tujuan penelitian tersebut berkaitan dengan keamanan pekerja di PLTN.
“Tujuan jangka panjang penelitian ini adalah membuat analisis tingkat ancaman berdasarkan sifat-sifat tertentu sebuah gunung berapi,” tegas Sonder.