Total Football, Total Rebel: Kisah Johan Cruyff Membangkitkan Harga Diri Katalunya

Artikel ini pertama kali tayang di The Fooball Pink, dimuat ulang VICE seizin redaksi. Untuk berlangganan majalah olahraga keren ini, klik di sini.

Sepanjang hidupnya, Johan Cruyff adalah individu dengan sikap unik serta penolakan keras terhadap konservatisme. Dia dianggap sebagai sosok pemberontak—terutama di Stadion Camp Nou dan jalanan Barcelona. Setelah Cruyff wafat tahun lalu, koran-koran olahraga Spanyol merilis foto membandingkan sosok gelandang legendaris itu setara Che Guevara.

Videos by VICE

Contohnya satu foto populer yang menunjukkan Cruyff mengenakan seragam Barcelona bersitegang dengan dua polisi. Foto tersebut diambil pada 1975, di tengah pertandingan antara Barcelona melawan Malaga. Polisi harus membawa Cruyff keluar lapangan setelah dikenai kartu merah akibat memprotes keputusan wasit terlalu keras. Ada gosip bahwa ketika dia berjalan keluar dari lapangan, Cruyff mencopot ban kaptennya (dengan strip merah dan emas, melambangkan bendera Katalunya), mendongak ke arah penonton Camp Nou dan menciumnya. Hingga hari ini, insiden tersebut diinterpretasikan sebagai simbol semangat perlawanan penduduk Katalan terhadap Diktator Francisco Franco yang berkuasa di Madrid.

Jenderal Francisco Franco (tengah), diktator Spanyol, bersama pejabat negara lainnya pada pertemuan 1954. sumber gambar dari tautan ini

Mari mundur sejenak ke 1936. Sebagian faksi dalam militer Spanyol dan kelompok konservatif sayap kanan, didukung oleh Nazi Jerman dan kelompok fasis Italia, memimpin kudeta melawan pemerintah sah Spanyol. Negeri Matador saat itu dipimpin pemerintahan beraliran kiri. Faksi sayap kanan ini menginginkan pemerintahan yang tersentralisasi di Madrid. Setelah sukses menggulingkan perdana menteri dan kabinetnya, Franco sang jenderal pemimpin pemberontakan memaksakan identitas Castilian (etnis mayoritas) secara homogen ke seluruh wilayah Federasi Spanyol. Konflik budaya antara warga Castilian dengan warga etnis minoritas, misalnya Katalunya dan orang-orang Basque yang sudah muncul benihnya sejak awal Abad 20 segera meledak tak terkendali.

Franco menyadari kawasan yang harus segera direpresi adalah Katalunya dan Basque. Di sana bernaung kelompok dengan identitas bahasa berbeda serta menginginkan Spanyol menjalankan sistem republik. Franco memerintahkan militer menggasak semua elemen republikan di dua wilayah tersebut. Simbol, tradisi lokal, dan semua yang bisa menggambarkan identitas kedaerahan dilarang keras oleh pemerintahan Franco.

Gelombang Republikan sayap kanan menyapu Spanyol dan negara tersebut terlibat dalam perang saudara penuh darah yang bertahan selama hampir empat tahun. Ribuan sukarelawan dari berbagai belahan dunia sampai turut membantu para Republikan Katalunya maupun Basque, di bawah bendera International Brigades. Namun, semua solidaritas itu tidak memadai. Pada 1937, Madrid terlanjur dikepung tentara fasis. Sebagian besar wilayah Katalunya dan Basque sudah jatuh. Dua tahun berikutnya, seluruh Kerajaan Spanyol dikuasai oleh Generalissimo Francisco Franco. Faksi sayap kanan resmi membentuk pemerintahan diktator dari Madrid, berjuluk Falangist.

Pemerintahan Falangist terobsesi membentuk citra Spanyol di mata dunia. Sepakbola lantas dipilih sebagai alat propaganda agar penduduk negara lain tidak fokus pada pemerintahan diktator. Franco menemukan saluran hasratnya soal pencitraan tadi melalui Real Madrid. Klub kesayangan sang jenderal sukses memukau dunia lewat permainan sepakbola atratktif selama kurun dekade 1950’an. Selain mewakili ibukota, Real Madrid sangat cocok dengan visi Franco akan Spanyol yang homogen dan tersentralisasi.

Real Madrid merayakan kemenangan di Final Piala Eropa1960. Klub ini berhasil menjadi juara lima kali berturut-turut. Foto oleh PA Images

Di saat bersamaan, pemerintahan Franco sangat benci melihat ada dua klub tetap meraih perhatian, bahkan mencetak prestasi lumayan. Sebetulnya tak ada masalah jika keduanya bukanlah Barcelona, perwakilan wilayah Katalunya, ataupun Athletic Bilbao, perwakilan Basque. Masalahnya, dua klub tersebut adalah antitesis Madrid dan visi kebangsaan fasisme ala Franco. Kebencian Franco melonjak berkali-kali lipat, karena dua klub itu menggambarkan dua wilayah yang ngotot memberontak, didukung oleh suporter yang terobsesi pada republikanisme dan sangat bangga pada identitas lokal masing-masing.

Pemerintah lantas melayangkan larangan penggunaan bahasa selain dialek Castilian. Tak hanya itu, anak buah Franco menerapkan berbagai aturan ketat lainnya pada suporter maupun manajemen Barcelona dan Bilbao, termasuk memaksa mereka mengganti nama dari “Futbol Club Barcelona” (bahasa Katalunya) dan “Athletic Bilbao” (bahasa Basque) menjadi lebih bernuansa Castilian yakni “Club de Fútbol Barcelona” dan “Atlético Bilbao.”

Barcelona sejak 1936 sudah compang-camping, karena tak punya manajemen. Sang presiden klub, Josep Sunyol, dibunuh gerombolan massa pendukung Falangist. Titik balik Barcelona terjadi memasuki musim 1943. Klub berjuluk Blaugrana itu menghadapi Real Madrid di semi-final Copa del Generalissimo.

Mereka memenangkan leg pertama 3-0. Lalu muncul kisah yang akan selalu dikenang getir para suporter Barcelona sampai sekarang, kendati tak ada bukti sahihnya. Alkisah, seorang reporter koran lokal menyaksikan markas Barcelona dikunjungi direktur kepolisian setempat. Si polisi ‘mengingatkan’ Barcelona kalau pemerintah Spanyol sudah berbaik hati membiarkan mereka tinggal di negara tersebut. Selanjutnya Barcelona kalah di leg kedua dengan skor amat mencolok: 11-1. Sejak adanya ancaman polisi itu Barcelona nyungsep menjadi klub semenjana.

Nyaris satu dekade kemudian, pada hari Minggu musim semi 1951, pendukung Barcelona meninggalkan Stadion Les Corts dengan kepala tegak. Klub kesayangan mereka menang 2-1 melawan Racing Santander. Setiap orang memilih merayakan kemenangan tadi sambil berjalan di bawah hujan daripada naik trem. Tentu saja, euforia kemenangan hanya satu alasan saja. Nyaris semua suporter Barcelona FC kala itu mendukung aksi mogok pekerja trem menuntut kenaikan upah. Di titik ini, pendukung Barcelona semakin politis dan militan. Memasuki dekade 50’an, Stadion Camp Nou menjadi satu-satunya tempat di mana warga Katalan bebas mengekspresikan identitas kultural dan berbicara menggunakan bahasa Ibu mereka. Benih nasionalisme pelan-pelan muncul.

Sayangnya antusiasme warga tidak bersambut dengan prestasi dari lapangan hijau. Barcelona sungguh kering prestasi selama dekade 60’an. Pendukung Barca hanya bisa menatap getir dan marah pada Real Madrid yang bergelimang prestasi, mendominasi La Liga maupun kompetisi tingkat Eropa.

Dalam periode stagnasi itu, manajemen Barcelona sadar sangat butuh perubahan. Masuklah Johan Cruyff.

Johan Cruyff saat awal memperkuat Barcelona FC. Foto oleh PA Images

Setelah memimpin Ajax Amsterdam memenangkan Piala Eropa tiga kali berturut-turut, Cruyff mulai sering berselisih melawan petinggi klub dan rekan-rekan setimnya. Ajax ingin menjualnya ke Real Madrid. Dasar pemberontak sejati, Cruyff sendiri yang memastikan ditransfer ke Barcelona pada 1973. Selain ingin membangkang pada klub, alasan Cruyff bergabung ke Barcelona adalah keinginan reuni bersama sosok pelatih dan figur ayah baginya: Rinus Michels yang saat itu menjabat sebagai manajer klub. Bagi warga Katalunya saat itu, sikap Cruyff menolak dijual ke Madrid—klub yang mewakili semua simbol kediktatoran Francisco Franco— membuat mereka terharu. Bagi warga Barcelona yang tak pernah merasakan prestasi selama era Franco, keputusan Cruyff dirasa sangat luar biasa. Pemain sepakbola terbaik dunia saat itu memilih bermain di klub yang berada di posisi bawah klasemen La Liga.

Di musim pertama kedatangannya, Cruyff segera memimpin Barcelona menyapu bersih Real Madrid. Skor kemenangan 5-0 di Camp Nou saat melawan Madrid terus diceritakan orang-orang tua pendukung Blaugrana. Di Barcelona, ribuan orang merayakan kemenangan ini sambil turun ke jalan. Seorang jurnalis New York Times sampai menulis betapa Cruyff berjasa besar membangkitkan harga diri Katalunya hanya dalam 90 menit. Sang maestro sepakbola itu berhasil menyulut api nasionalisme lebih efektif dibanding semua politisi yang berusaha memperjuangkan otonomi khusus Katalunya selama beberapa dekade di bawah tekanan Diktator Franco.

Sebelum Cruyff bergabung, Barcelona berada di posisi kedua dari bawah klasemen. Setelah dia memimpin dari lapangan tengah, El Barca mencetak 17 kemenangan beruntun. Hasilnya memang nyata, trofi La Liga 1973/1974 sukses didapatkan oleh Barcelona. Namun, tak banyak orang sadar, selama di Barcelona Cruyff sebetulnya tak terlalu berprestasi. Setelah trofi La Liga itu, prestasi lain yang diperoleh Cruyff dkk hanyalah piala Copa del Rey pada musim 1977/1978. Sisanya nihil. Real Madrid tetap mendominasi.

Pendapat berbeda diberikan sejarawan sepakbola, Jimmy Burns, yang menulis buku Barca: A People’s Passion. Barangkali Cruyff memang tidak mendatangkan banyak trofi. Setidaknya kehadiran sosok pemain yang biasa mengorkestrasikan mazhab Total Football itu membawa fleksibilitas, kecepatan dan “identitas” ke dalam DNA klub. Bersama Cruyff, pemain maupun pendukung Barcelona percaya mereka tidak akan mudah kalah melawan klub manapun. Bagi warga Katalunya yang masih segar ingatannya tentang perang saudara dan penindasan yang mereka alami dari Madrid, sikap percaya diri dan pemberontak Cruyff di atas dan di luar lapangan menjadi sumber keberanian.

Baik sebagai pemain maupun kelak sebagai manajer, Cruyff mengubah sepakbola selamanya. Dalam banyak hal, dia adalah seorang filsuf. Cruyff selalu melihat pertandingan dengan perspektifnya unik. Agar lebih memahami kenapa dia selalu dianggap sebagai pemberontak, kita harus menengok lagi masa Cruyff bertumbuh besar di kota kelahirannya, Amsterdam. Ibu Kota Belanda itu dijuluki filsuf eksistensialis Albert Camus—yang juga melawan fasisme dan kolonialisme sebagai personel Tentara Pemberontak Perancis ketika tanah airnya diduduki Nazi Jerman—dalam bukunya The Fall sebagai kota yang sangat membosankan. Jelas saja Amsterdam membosankan. Kota itu dikelola oleh para pedagang yang birokratis, citra khas orang Belanda. Semuanya serba konservatif.

Sesudah Perang Dunia II, Amsterdam belum terlihat seperti kota penuh kanal dan tulip indah yang kita kenal seperti sekarang. Belanda pada akhir dekade 40’an malah tergolong sangat konservatif. Kebijakan pemerintahnya sangat diskriminatif pada hak-hak perempuan. Situasi perlahan berubah memasuki dekade 60’an. Seiring disiarkannya musik The Beatles di TV dan radio, semangat pemberontakan mulai menyelimuti Amsterdam. Sesuai tulisan David Winner di Briliant Orange: The Neurotic Genius of Dutch Football muncul generasi muda yang siap mengubah tatanan Amsterdam (dan Belanda secara keseluruhan). “Generasi lama sembunyi-sembunyi, konservatif dan reaksioner; sementara serikat pekerja yang muda itu condong ke kiri, terbuka dan alternatif.” Untuk melawan norma masyarakat yang stagnan dan regresif, muncul Gerakan Provo dipimpin tokoh pemuda seperti Robert Jasper Grootveld, Rob Stolk dan Roel van Duijn.

Cruyff dan istrinya Danny pada pertengahan 1973. Foto oleh PA Images

Awalnya gerakan Provo dimulai gagasan sederhana. Mereka menggelar kampanye antirokok. Hanya berselang sebulan, gerakan tersebut berubah jadi pergerakan counter-culture anarkis yang terbukti mengubah masyarakat Belanda selamanya. Gerakan Provo ini berkembang menjadi gerakan kiri, anti-konsumerisme, anti-kapitalisme. Para pegiatnya aktif melawan gereja, sistem monarki, polisi, dan pemerintah setempat. Motor gerakan ini kebayakan gerombolan seniman, aktivis, dan pelajar yang menggunakan taktik huru-hara jalanan. Untuk merusak imej dan moralitas pemerintah, mereka memancing lawan, terutama polisi, agar bereaksi menggunakan kekerasan lebih dulu melalui serangkaian provokasi.

Pada 1965, pecahan Provo yang disebut Bastaard Group mengorganisir demonstrasi anti perang Vietnam pertama di depan kedutaan Amerika Serikat di Amsterdam. Awalnya hanya duduk-duduk, lambat laun demonstrasi tersebut berakhir dengan pembakaran bendera AS dan pertikaian antara demonstran melawan polisi. Momen puncak gerakan Provo datang ketika pernikahan Putri Beatrix dengan German Claus von Amsberg—bangsawan yang pernah bergabung dengan Liga Pemuda Hitler Youth—digelar di Istana Kerajaan.

Dalam upacara pernikahan, aktivis Provo berbaur dalam keramaian, menyelundupkan bom asap nitrat gula putih. Bom-bom ini meledak di belakang istana ketika upacara baru dimulai. Tak berapa lama beberapa aktivis menyebar pamflet anti-imperialisme di kapal kerajaan. Tidak sanggup menemukan pelakunya, polisi melakukan kekerasan terhadap semua anak muda yang kelihatan di jalanan sekitar istana. Pernikahan tersebut kacau balau, dan dunia internasional mengecam kekerasan yang dilakukan polisi terhadap anak muda Belanda.

Di 1966, pekerja konstruksi mengadakan demonstrasi memprotes pemotongan gaji. Tiba-tiba salah seorang dari mereka terkena serangan jantung. De Telegraaf salah mendapat informasi, lalu menulis si pekerja meninggal karena terkena lemparan batu bata di kepala. Laporan ini menimbulkan kerusuhan di seantero Amsterdam. Anggota serikat pekerja komunis dan komunitas anarkis Provos bergabung, sama-sama turun ke jalanan. Dalam buku Message to the Rat King, Harry Mulisch, menulis kerusuhan terbesar dalam sejarah Belanda tersebut: “Ketika orang tua santai duduk di samping kulkas dan mesin cuci, menonton TV, dan membaca Telegraaf, anak-anak turun ke square Spui berunjuk rasa menuntut pemerintah digulingkan.”

Setelah itu selama tiga hari, kerusuhan terjadi di Amsterdam. Bentrokan berulang kali terjadi di antara demonstran dan polisi. Karena demonstrasi sebetulnya dilarang, popularitas Provos semakin meningkat karena mereka juga aktif memprotes perang Vietnam. Kekerasan polisi terhadap demonstran terus meningkat. Pertengahan 1966, ratusan orang ditangkap.

Warga bentrok melawan polisi di Amsterdam saat pesta pernikahan Ratu Beatrix // Sumber foto dari tautan ini.

Kekerasan polisi mengejutkan masyarakat umum. Didorong oleh kencangnya tekanan dari politikus progesif dan akademisi kampus, investigasi resmi diluncurkan. Kapten kepolisian Amsterdam dibebastugaskan dan Walikota Amsterdam dicopot. Insiden Amsterdam hanya berselang dua tahun setelah demonstrasi massal Paris mengguncang dunia pada 1968. Pada tahun itu Amsterdam untuk pertama kalinya menyaksikan persatuan antara pelajar, pekerja, dan aktivis yang ingin memulai revolusi kebudayaan dalam masyarakat Belanda.

Di saat yang sama, Ajax Amsterdam perlahan-lahan mulai keluar dari gaya permainan sepakbola konvensional. Ditopang operan-operan cepat dan akurat, pergerakan yang mengalir, dan winger yang dituntut selalu berlari cepat, Ajax membangun gaya bermain sepakbola unik buat menghajar lawan-lawannya. Berbekal filosofi permainan yang dinamai Total Football itu, skill individu tiap pemain ditonjolkan sebagai satu unit. Ajax mencetuskan sebuah revolusi lain di lapangan hijau. Pada puncak kejayaan Ajax, revolusi lain sedang disulut akibat sikap bengal seorang pemain muda. Dialah Cruyff.

Di luar lapangan hijau, atlet sepakbola Tim Oranye pada periode 60’an berjuang agar sepakbola diakui sebagai profesi di bawah naungan KNVB—semacam PSSI-nya Belanda. Saat itu sepakbola masih diklasifikasikan olahraga “amatir”, atlet sepakbola belum menerima hak seperti pekerja kerah biru lainnya. Gaji rendah yang didapat dari klub atau timnas mengharuskan mereka mengambil pekerjaan lain supaya bisa bertahan hidup. Mereka juga tidak diizinkan berorganisasi ataupun membentuk serikat.

Setelah melakoni debut bagi Ajax musim 1964 ketika berumur 16 tahun, Cruyff langsung menjadi figur berpengaruh bagi klub. Ajax dengan Total Football-nya segera menjadi wajah Amsterdam yang baru. Di era ketika bermain untuk timnas dianggap sebagai kehormatan, Cruyff bersikukuh menolak. Dia bilang atlet sepakbola harus dibayar pantas untuk kerja keras mereka.

Penolakan Cruyff makin kuat, setelah dia mengetahui staf KNVB diasuransikan ketika bepergian ke luar negeri, tapi pemain justru tidak. Dia menggunakan pengaruhnya yang signifikan buat mengubah kebijakan diskriminatif tersebut. Dengan rambut gondrong serta hobi mengkritik institusi konservatif, Cruyff segera menjadi ikon generasi muda dan wajah revolusi kultural yang sedang menyapu Belanda.

Cruyff merayakan gol bersama rekan setimnya di Ajax. Foto oleh PA Images

Sama seperti lelaki muda manapun di 1960an, Cruyff mempengaruhi—juga dipengaruhi—sebuah atmosfer ketidakpuasaan yang berkembang. Setelah beberapa dekade ditekan dalam semua area kehidupan, sikap berani, nekat dan kritis yang dibawa Cruyff ke Barcelona merupakan sesuatu yang dibutuhkan warga Katalunya agar kembali merasa bangga pada budaya dan identitas mereka.

Dalam salah satu dokumenter TV, Cruyff menjelaskan alasan senang melawan kemapanan.
“Saya lahir tidak lama setelah perang dunia…dan diajarkan agar tidak sekedar menerima segalanya.” Cruyff mengadopsi pemberontakan Katalunya terhadap Rezim Diktator Franco pada 1974. Di era nama khas etnis Katalan dilarang, Cruyff nekat menamai anaknya “Jordi”, diambil dari nama orang suci kelahiran Katalunya. Ketika catatan sipil Spanyol menolak menerima nama tersebut, dia menyuruh petugas mendaftarkan anaknya sebagai “Johan-Jordi” biar mereka tak lagi ribut. Sifat keras kepalanya inilah yang membuatnya dicintai warga Katalunya.

Memasuki 1977, Cruyff dan keluarga hampir saja menjadi korban penculikan di Barcelona. Insiden inilah memaksa Cruyff pensiun dari kancah sepakbola internasional. Tapi sikapnya sebagai pembela sikap antikemapanan tidak berubah. Ketika ditanya kenapa dia menolak bermain di Piala Dunia 1978 Argentina, yang saat itu berada di bawah pemerintah diktator militer, dia menjawab: “Gimana bisa bermain sepakbola hanya beberapa ribu meter dari lokasi pusat penyiksaan?”

Baik sebagai pemain dan nantinya manajer di Barcelona, Cruyff memiliki dampak yan besar terhadap budaya Bangsa Katalunya. Dia datang dalam status pembangkang, mengangkat harga diri orang-orang yang puluhan tahun ditindas rezim militer, memberi mereka keberanian mendongakkan kepala di hadapan fasis. Kehadirannya memberi pendukung Barcelona kebanggaan serta yang terpenting: harapan.

Pada 24 Maret 2016, bersama dengan bendera Barcelona di Camp Nou, bendera Katalunya dikerek setengah tiang, sebagai bentuk penghormatan kepada mendiang Cruyff yang nyawanya direnggut kanker paru-paru. Cruyff, dalam sekian periode hidupnya, membaktikan diri untuk mendukung perjuangan Katalunya. Setelah kematiannya, seluruh warga Katalonia menunjukkan penghormatan terhadap ‘putra’ mereka, yang walau lahir dari negara lain, terbukti sangat menyayangi Katalunya.

Pada 2017, tanpa memperdulikan tekanan dan penolakan nyaris seluruh dunia, berselang setahun setelah Cruyff wafat, Katalunya memerdekakan diri dari Spanyol.