Menurut Sebagian Cowok, Memaksa Lelaki Harus Bisa Nyopir itu Seksis

Tradisi di Indonesia lelaki harus bisa nyetir sudah ketinggalan zaman

Pemimpin Redaksi penerbit Marjin Kiri sekaligus penerjemah kondang Ronny Agustinus punya mobil, tapi tidak bisa mengemudikannya. Mobil itu sepenuhnya dikuasai istri Ronny. Mereka punya dua anak menjelang remaja dan ketika bepergian bersama, mama yang akan jadi sopirnya. 

“Enggak tertarik untuk bisa [nyetir] dan enggak pernah tertarik, sama seperti enggak tertarik ngerokok,” kata Ronny kepada VICE. Mau dibilang aneh karena suami disopirin istri, Ronny cuek aja. “Ya tentu [pernah dianggap aneh], dalam tradisi masyarakat kita yang sering mengatribusikan kebiasaan-kebiasaan atau kesukaan-kesukaan tertentu dengan gender.” 

Videos by VICE

Enggak cuma di Indonesia, menyetir kadung dianggap dunia laki-laki, mau kendaraannya MPV super premium hingga odong-odong. Kalau pas kepikiran, perempuan aja merasa aneh sama tradisi ini. “… aku bakal langsung duduk di kursi penumpang jika bermobil dengan cowok. Enggak pake mikir,” kata seorang penulis di Medium.

Betul juga. Aku baru inget, bahkan anak-anak kecil yang main kuda-kudaan di mal, naiknya bareng bapaknya. 

“Pada 9 dari 10 rumah tangga, bahkan di rumah tangga feminis, prialah yang menyetir,” ujar Pepper J. Schwartz, dosen sosiologi Universitas Washington, Seattle, AS, kepada The New York Times. Komentar ini menanggapi masalah pria yang enggan digantikan posisinya sebagai sopir rumah tangga. Aku bertanya kepada suamiku, jika aku bisa menyetir, maukah ia kusopiri? Ia mengangguk. Untuk jarak dekat, ia tetap akan menyetir “agar kamu tidak lelah”, namun ia ingin ada sopir pengganti di perjalanan jarak jauh.

Aku melihat ke sekelilingku. Kebanyakan perempuan tak bisa menyetir dan enggak ngebet juga buat belajar. Termasuk aku. Sementara itu, suatu kali kumpulan teman-temanku, para lelaki, pernah bikin inisiatif belajar nyetir bergantian agar sopir pas piknik tidak itu-itu saja. Inisiatif itu tak aku temukan di antara teman perempuan. Apakah ini toxic masculinity para pria yang merasa kurang jantan kalau tidak bisa menyetir? Atau katalisnya justru toxic femininity yang membuat para perempuan merasa nyetir bukan tugasnya? Jangan-jangan langgengnya kultur ini disebabkan gabungan kedua racun itu?

Berat banget untuk menjawabnya. Yang sekarang lebih mudah dijawab adalah apa yang dialami para pria yang tak bisa nyetir. Apakah mereka sesebal perempuan yang enggak bisa masak tapi dipaksa ((patriarki)) agar mahir mengolah makanan?

“Pernah enggak diprotes istri karena dia doang yang nyetir?” aku bertanya kepada Ronny.

“Tentu. Tapi aku enggak pernah minta dia sopirin ke mana-mana lho. Mobil dibeli untuk dia yang bawa. Aku lebih banyak transport lainnya. Pulang Jogja, misalnya, buatku enggak masuk akal maksa bawa mobil dengan alasan di sana nanti susah transport, di zaman taksi, Go-Car dan lain-lain. Tapi dia yang maksa dan memang dia suka nyetir, ya terserah aja.”

“Satu lagi, ini rada ideologis,” tambah Ronny sambil menuliskan emot ketawa ketika kami bercakap di aplikasi pesan, “fiksasi orang kita sama mobil kayaknya dipengaruhi Amrik banget. Anak mudanya pasti ingin mobil. Hal yang sama tidak aku dapati ketika ke Eropa. Enggak punya mobil dan enggak bisa nyopir itu hal biasa banget. Tentu karena sistem transport umumnya sangat baik, tidak individualis harus ada mobil sendiri-sendiri,” tandas Ronny.

Aku menanyakan hal serupa kepada sejumlah lelaki lain yang tidak bisa menyetir. Jika alasan Ronny ideologis, beberapa orang lain punya alasan beragam seperti “karena belum sempat belajar”, “enggak suka mobil”, hingga “enggak mau belajar pakai mobil orang lain”.

Dari jawaban-jawaban berikut, beberapa sepakat bahwa konstruk sosial memaksa pria harus bisa menyetir itu seksis.

VICE: Halo. Menurut kalian, apakah laki-laki idealnya bisa mengemudi? 
Rendiansyah (desainer)
: Menurutku udah enggak terlalu relevan. Dan kalau sekarang orang aja udah mulai bisa menoleransi perempuan yang enggak bisa masak, kenapa enggak bisa toleransi ke laki-laki yang enggak bisa nyetir? Menurutku udah saatnya mengurangi hal-hal pekerjaan yang based on gender role.

Eddward S. Kennedy (wartawan): Harus sih enggak juga, tapi minimal coba belajar lah. Biar kalau tahu-tahu dibutuhkan, entah sama keluarga, temen, pasangan, bisa ready bantu dan enggak dikit-dikit naik taksi online. Boros, Kak. Kalau aku sih banyak uang, enggak masuk kategori pusing karena boros. Beneran itu, kecuali yang aku banyak uang. 

Mahfud Ikhwan (novelis): Kenapa harus? Jika pertanyaan itu tidak untuk perempuan juga, sepertinya laki-laki juga boleh atau bahkan berhak untuk enggak bisa nyetir. Menyetir itu selalu relevan untuk kondisi masyarakat Indonesia baik secara sosial maupun secara praktikal. Hanya, tak semua hal orang harus bisa toh? Laki-laki atau perempuan.

Agus Mulyadi (penulis): Dari dulu aku meyakini, tidak semua orang harus bisa melakukan banyak hal. Termasuk menyetir. Aku pikir ketidakmampuan seseorang melakukan sesuatu itu ya biasa aja. Apalagi kalau hal itu tidak membuatnya susah. Teman-temanku pada bisa main gitar, aku enggak bisa. Ya biasa. Aku merasa tidak lebih buruk.

Pernahkah kalian diejek ‘cowok kok enggak bisa nyetir’? 
Rendi
: Enggak pernah sih selama ini, kalau bilang enggak bisa, ya udah, biasa aja tuh orang-orang. Temanku ada yang sama sekali enggak bisa naik sesuatu yang nyetir sendiri karena dia trauma dulu pernah tabrakan. Ada juga yang bisa naik mobil tapi enggak bisa naik motor karena sama ortunya enggak dibolehin naik motor. Bahaya, katanya.

Eddward: Pernah, tapi ngeledek biasa aja, bukan yang ngeremehin gitu. 

Mahfud: Mengejek itu terlalu dramatis. Orang hanya mengingatkan, “Mbok beli motor.” 

Agus: Enggak pernah, mungkin karena aku berada di lingkungan di mana lebih banyak lelaki enggak bisa nyetir ketimbang yang bisa.

Kenapa sampai sekarang kalian belum bisa nyetir, ketika cowok seumuranmu banyak yang bisa melakukannya? 

Rendi: Karena belum pernah coba, belum ada waktu.   

Eddward: Karena emang nggak suka mobil, lebih milih motor kalau jalan-jalan. Lebih enak aja rasanya. Mobil kan [kalau terjebak] macet bisa lama, terus juga harga mobil turun terus. Belum jadi prioritas sejauh ini.

Mahfud: Enggak mencoba. 

Agus: Dari dulu aku punya prinsip, kalau bukan mobilku sendiri, aku akan malas belajar nyetir. Konsep ini pula yang aku pakai dulu saat pakai motor. Aku termasuk orang yang paling akhir bisa naik motor (sampai lulus SMA, aku belum bisa pakai motor) sebab aku baru berani belajar saat pakai motor milikku sendiri (milik keluargaku). Sejak SMA, banyak kawan yang menawariku mengajari naik motor, aku tolak semuanya. Dan memang keluargaku baru punya motor saat setahun setelah aku lulus. Suzuki Titan, beli bekas. Aku orang yg paling takut merusak barang milik orang lain. Jadi kalau latihan pakai motor orang lain, nggak pernah mau. Begitu pula soal mobil.

Dalam hati, adakah keinginan pengin bisa nyetir mobil?

Rendi: Ya pasti tetep ada kemauan untuk belajar dan bisa sih. Lebih ke hal-hal yang gawat darurat, misal jadi suami siaga yang harus ngantar istri ke RS untuk melahirkan atau siapa pun itu yang perlu diantar pakai mobil. Sama kalau misal pergi perjalanan jauh naik mobil bareng-bareng biar bisa gantian nyetir. Concern-nya lebih ke mobilitas yang rame-rame, kalau mobilitas sendiri sih tetep enak naik motor/transportasi umum.

Eddward: Iya, biar kalau sewaktu-waktu dibutuhin atau keadaan urgent kayak mesti nganter orang ke rumah sakit, kan enak kalau bisa.

Mahfud: Mungkin saja. 

Agus: Tidak ada. Karena memang aku juga belum ada rencana mau beli mobil. Kemungkinan dua bulan atau sebulan sebelum aku beli mobil, baru rencana itu ada.

Pernah enggak dinasihati orang bahwa laki-laki harus bisa nyetir?

Rendi: Kalau yang ditujukan ke aku sih enggak pernah ya. Cuma kemaren pernah denger di Space-nya Seperti Dendam soal toxic masculinity, Mas Eka (Kurniawan) punya pengalaman begitu sih. Memang ekspektasi orang-orang untuk saat ini tuh cowok harus bisa nyetir.

Eddward: Pernah banget. Di keluarga iya, di pergaulan juga. Tapi nggak pernah aku ambil pusing, tersinggung juga enggak.

Mahfud: Itu bukan nasihat. Itu kebenaran, haha…. Dalam arti, ya itu konvensi. Orang tidak menasihati kita agar tahu itu, tapi mengingatkan bahwa pantasnya ya memang begitu.

Agus: Pernah sih. Apalagi karena sekarang orang melihat bahwa aku punya peluang buat beli mobil.

Perkara enggak bisa nyetir ini pernah menimbulkan masalah?

Eddward: Sejauh ini sih belum ada. Di keluargaku sendiri banyak yang bisa nyetir, cewek atau cowok, muda atau tua. 

Mahfud: Tentu saja. Haha…. Tapi kan masalah bisa diselesaikan dengan berbagai cara. Misalnya dengan tidak ditemui sering-sering. Jika kamu punya masalah dengan transportasi, ya enggak usah terlalu sering pergi.

Agus: Enggak pernah.