Transformasi Pionir Grunge Surabaya Jadi Pendamping Narapidana Anak

*Selamat datang di Don’t Quit Your Day Job, kolom VICE Indonesia menceritakan profesi keseharian musisi yang bertolak belakang dari citranya di panggung.

Yoyon “YY” Sukaryono adalah salah satu pionir musik grunge/noise Indonesia. Bandnya, Klepto Opera, terbentuk akhir dekade 90’an di Surabaya. Band ini masih aktif hingga sekarang. Yoyon dan kawan-kawan mencampuradukan gelora kekecewaan musik grunge dengan kebisingan eksploratif grup-grup noise rock bawah-tanah Amerika dekade 80/90-an seperti Swans dan Sonic Youth, jauh sebelum band-band tadi dikenal pegiat kancah musik lokal. Tak banyak orang tahu, sehari-hari Yoyon menjalani profesi yang jauh sekali dari bisingnya raungan gitar dan reverb amplifier: berurusan dengan anak di bawah umur yang melanggar hukum.

Videos by VICE

Klepto Opera tidak pernah mencapai popularitas seperti sejawat-sejawat pegiat grunge lokal 90’an, misalnya Toilet Sounds, Navicula, atau Daily Feedback. Tapi band yang dibuat oleh Yoyon bersama teman-teman akrabnya ini perlahan makin mendapat pengakuan di kalangan underground lokal. Klepto Opera dikenal berani mencampurkan elemen-elemen nonkonvesional pada musik mereka (termasuk stem gitar yang tidak standar, hingga penggunaan alat-alat seperti bor dan obeng pada gitar dan bass).

Yoyon berganti-ganti pekerjaan. Salah satu yang paling membekas bagi hidupnya adalah sekian tahun saat dia menjalani profesi sebagai sipir lembaga pemasyarakatan anak Surabaya. Di sela-sela tugasnya dulu sebagai sipir, dia mengelola label independen yang bernama Boneka Tanah Rec/Prod dan merilis banyak buku yang berisikan narasi-narasi eksploratif yang banyak menyerempet pekerjaanya di lapas. Kini Yoyon sudah tak lagi menjadi sipir. Dia memfokuskan diri sebagai pembimbing anak yang berhadapan dengan hukum. VICE ngobrol bersama Yoyon membahas mengenai pekerjaan hariannya yang unik, passion yang dia miliki di bidang hukum dan anak, serta apa korelasi antara narapidana dan kehidupannya sebagai musisi.

Bagaimana ceritanya Yoyon sekarang menjadi pembimbing anak yang berhadapan dengan hukum (ABH)?
Mungkin lebih ke “karma”. Dulu waktu masih anak-anak, apa yang dilakukan oleh ABH ini juga hampir semuanya pernah saya lakukan, Beberapa kali berurusan dengan hukum, namun mungkin dalam skala tipiring alias “tindak pidana ringan”. Ketika saya berpindah profesi dan secara tiba-tiba tanpa disadari, saya sudah di sini, menjadi pembimbing Kemasyarakatan atau Pendamping ABH, saya benar-benar tidak asing dengan dunia seperti ini, dan saya bisa dengan mudah memahami perbuatan mereka.

Yoyon mendampingi ABH. Foto dari arsip pribadi

Apakah menurut Yoyon Indonesia kekurangan tenaga yang memfokuskan diri mendampingi ABH?
Betul, sudah pasti. Indonesia diproyeksikan membutuhkan tenaga Pembimbing Kemasyarakatan bagi ABH sekitar 5.000 orang, agar pelaksanaan UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak bisa berjalan sebagaimana mestinya. Namun ternyata sampai dengan hari ini tidak sampai separuh dari total kebutuhan tersebut, dan yang lolos verifikasi sebagai tenaga profesional Pembimbing Kemasyarakatan (JFPK) bahkan tidak sampai 500-an. Tentu kondisi ini berdampak buruk dalam sistem pengadilan bagi ABH, khususnya di kota-kota besar dengan angka kriminalitas tinggi seperti Surabaya, tidak jarang saya dalam sehari mendampingi lima atau bahkan lebih anak-anak yang sedang diadili dalam kasus berbeda. Harus berlari kesana kemari karena berbeda ruang sidang, sedangkan waktunya hampir bersamaan, tentu saja tidak bisa maksimal.

Kondisi kesejahteraan ABH di Indonesia sendiri seperti apa sih?
Untuk kondisi ABH di Surabaya, masih mengenaskan karena tidak mempunyai tempat-tempat penahanan sementara (LPAS) ketika proses hukum sedang berjalan, di Surabaya hanya ada shelter sementara bagi yang ditahan pada proses penyidikan, ketika sudah sampai pada tahap P21 di Kejaksaan sampai dengan proses pengadilan, dengan dalih mobilitas dan juga sarana transportasi, anak-anak ini ditahan di Rutan bercampur dengan orang-orang dewasa, yang tentu saja bakal berakibat buruk bagi mereka ke depannya.


Baca juga liputan musik Marcel Thee untuk VICE Indonesia:

Apakah Yoyon melihat korelasi dari pekerjaan ini dengan passion Yoyon di musik dan Klepto Opera? Apa ada unsur kesadaran sosial yang sama?
Hmm, secara langsung sih tidak. Tapi hampir di setiap gig yang saya datangi, saya bertemu anak-anak yang pernah saya bimbing dalam berbagai kasus, yang lucu terkadang ketika mereka asik pogo, tiba-tiba berhenti mencium tangan saya terus balik pogo lagi. Itu pengalaman spiritual sekaligus sosial yang luar biasa bagi saya.

Bagaimana Yoyon membagi waktu antara musik dan pekerjaan ini sekarang?
Di Klepto Opera sendiri masing-masing personil memiliki kesibukan yang tinggi, jadi kami saling memahami, jarang sekali bisa berkumpul lengkap. rumah tangga dan pekerjaan tentu lebih kami utamakan, toh bermusik juga tidak setiap hari. ketika latihanpun jarang sekali bisa personil lengkap, ketika proses recording juga kami harus mengakali datang satu persatu menyesuaikan jadwal yang longgar.

Yoyon juga sempat bekerja sebagai sipir penjara. Bagaimana itu sampai terjadi, dan hal-hal apa saja yang dipelajari selama melakoni profesi itu?
Ada rentetan banyak hal yang akhirnya balik lagi, tanpa begitu disadari saya sudah berada di [lapas], mungkin pilihan masa muda yang ngawur atau apa kurang tahu juga; meninggalkan band saat sedang hangat-hangatnya dan diambang kontrak dengan major label. Saya yang membatalkan sepihak, dan akhirnya sempat dipecat dari Klepto Opera meski akhirnya kembali lagi. Saya pergi sejauh mungkin ke pulau seberang; tipikal anak muda kehilangan arah pokoknya, hingga akhirnya bertemu dengan jodoh di sana dan beranak pinak.

Yoyon, saat masih menjadi sipir, berpose bersama buku-bukunya. Foto dari arsip pribadi.

Selama menjadi sipir banyak sekali hal-hal yang saya pelajari. Hal-hal dalam penjara yang melampaui batas pemikiran dan nalar bagi masyarakat awam, dan hanya bisa dipahami bagi mereka yang tinggal di dalam habitat tersebut. Hingga akhirnya saya menyerah, saya tidak bisa lebih lama. Saya menjalani profesi sipir dari 2003-2010. Saya tidak bisa mengalahkan sistem yang sudah berurat berakar. Pun saya tidak mau melebur dalam sistem seperti itu juga, saya memilih mengajukan pindah, balik lagi ke Surabaya, dan memilih profesi yang sekarang.

Yoyon mengatakan banyak anak band di Surabaya yang menjadi napi. Benarkah?
Benar. Terutama kasus narkotika dan penyalahgunaan obat-obatan terlarang. Saya rasa sudah saatnya pemerintah membuat undang-undang baru atau setidaknya merevisi, hal-hal berkaitan dengan narkotika dan penyalahgunaan obat, lebih mengutamakan pencegahan serta rehabilitasi bagi penggunanya. Mereka bukan orang jahat, mereka hanya sedang tidak kuat dengan tekanan hidup, tekanan sosial, masalah keluarga, krisis percaya diri, atau hal-hal seperti itu, hingga akhirnya lebih memilih beralih ke narkotika serta penyalah gunaan obat, untuk “meredakan nyeri” fisik maupun psikis.

Apakah kamu cukup puas dengan pekerjaanmu sekarang?
Saya tidak tahu. Saya tipikal orang yang selalu senang mencoba hal-hal baru.