Sebuah video viral dari Cileungsi, Kabupaten Bogor, memperlihatkan keriuhan lomba balap lari malam hari di sebuah jalan raya. Dihadiri puluhan penonton yang kebanyakan remaja tanggung, terlihat kemeriahan suasana yang bikin penasaran, tak kalah dari atmosfer trek-trekan. Bahkan, rasanya balapan motor liar terasa ketinggalan zaman melihat betapa edgy para peserta lomba lari swadaya ini.
Mengulik sebentar, kita langsung mendapati fakta acara serupa menjamur ke banyak daerah di Indonesia. Mulai dari Cikarang, Karawaci, Kranji, Kalisari, Depok, Tangerang Selatan, Bogor, Yogyakarta, sampai Palembang dan Padang.
Videos by VICE
Ada satu hal yang pastinya bakal menarik perhatian siapapun. Promosi acara sekaligus cara penyelenggara mencari lawan kocak banget. Profil pelari yang dibagi ke media sosial dibuat sekomikal mungkin. Selain ngasih tahu berat badan dan tinggi badan, dijelaskan juga rokok apa yang peserta isap, dan bagaimana kondisi betis pelari. Kayak beberapa contoh ini:
VICE lantas menghubungi Amar, salah satu pelari yang aktif di balap lari liar di Kota Bekasi. Ia masih berusia 18 tahun dan duduk di kelas 3 SMK. Sampai saat ini Amar diklaim belum terkalahkan di daerahnya.
Keterlibatan awal Amar bermula dari iseng-iseng meladeni tantangan kawan untuk adu lari. Tantangan tersebut datang, setelah dia dan kawan-kawan mengetahui ada komunitas yang kerap mengadakan lomba tersebut.
“Padahal kan cuma balap lari. Saya pikir ya enggak bakal ada yang nonton juga kan. Tahu-tahunya di luar dugaan. Jadi [sekarang] banyak yang ngajakin. Pada nge-chat minta telepon buat ngajak balapan,” kata Amar.
Lumrahnya cara kerja adu ketangkasan jalanan, Amar menjelaskan ada figur “bos” yang siap merekrut dan membiayai para pelari. “Pembagian [uang hadiah] 60-40 kalau menang. Kalau kalah lari ya enggak dapat apa-apa. Tapi, kalau ada bos, mungkin tetap dikasih buat makan sama bensin capeknya dia [pelari],” tambah Amar. “Yang mau ngebosin banyak. Tapi kalau masih bisa saya urus sendiri, ya sendiri.”
Sekali menang bertanding, ia mengaku bisa mendapatkan uang lebih dari Rp1 juta. Perputaran uang dalam sekali kegiatan lomba berbeda-beda tiap daerah. Di Cibitung, kata Amar patungan total balap lari bahkan sempat mencapai Rp9 juta.
Kota Bekasi disebut Amar sebagai satu daerah awal yang mengawali subkultur ini. Karenanya, VICE menghubungi admin akun instagram @infobalaplari100m yang kerap berbagi info seputar dunia balap lari liar di Bekasi Utara dan Tambun, Jawa Barat.
Berikut obrolan saya dengan Fajar Budimanto, pemuda 18 tahun yang berperan di balik kuatnya penyebaran informasi balap lari liar di media sosial.
VICE: Halo, Fajar. Bisa dijelasin dikit konsep lombanya?
Fajar Budimanto: Nama “Balap Lari Liar” diambil dari tempat larinya aja yang di jalan raya. Jarak lari dari start sampai finish itu 100 meter.
Dari mana ide awalnya?
Awalnya sih kami iseng-iseng aja. Eh, makin ke sini makin ramai dan meluas. Awalnya ada teman iseng-iseng bikin pamflet lomba lari gitu, “M vs N”. Terus share di WhatsApp, terus malah jadi rame.
Berarti semuanya berawal dari Bekasi?
Yang saya tahu sih yang paling awal kayaknya Bekasi. Nah, baru [setelah itu] Cileungsi meledak juga dia. Rame juga daerah dia.
Emang kapan pertama kalian bikin balapan?
Kalau enggak salah pertama kali itu bulan Maret 2020 pertengahan kayaknya.
Proses bikin acara dan menentukan lawan itu gimana?
Biasanya berawal dari saling kontakan antartongkrongan. Misalkan dari tongkrongan A sama tongkrongan B saling bertanya lawan. Lalu, diminta informasi adakah pelari yang tertarik balap liar. Kalau ada, ditanya identitasnya. Spek lah kalau bahasa kami. Informasi berupa berat badan berapa, tinggi badan berapa. Kalau udah sama-sama percaya diri untuk bertanding, ya tinggal ngomongin track aja, mau lari di mana.
Dalam satu malam, berapa pelari yang bertanding?
Bisa satu sampai tiga pertandingan. Kalau penonton ya lumayan banyak, tapi enggak sampai seratus. Paling puluhan lah.
Saya lihat di Instagram ada video dan foto pemenang balap lari yang pegang duit. Ini sistem bagi-bagi hadiahnya gimana?
Patungan. Dari awal janjian mau main [nominal] berapa. Pemenang dapet semua, kalau kalah enggak dapat apa-apa.
Patungan terbesar berapa?
Paling banyak Rp1 juta. Tapi, biasanya ya sekitar Rp300 ribu, jarang sejuta. Kantong pelajar soalnya.
Pelajar? Ini semua masih pelajar?
Rata-rata semuanya masih SMA.
Fajar juga SMA?
Saya bekerja. Usia saya 18 tahun.
Ini kan acaranya dibikin di jalan raya saat malam dan sepi. Pernah dimarahin polisi atau warga?
Pernah. Dibubarin polisi doang. Ada yang ngadu sih kayaknya. Dibubarin karena lagi pandemi kayak gini. Kalau warga sih sebagian ada yang suka, sebagian ada yang enggak suka. Tapi, jarang ada yang marah-marah.
Kalau jarang berarti ada?
Ada. Cuma disuruh bubar aja sih karena bikin berisik. Kayak gitu aja marahnya.
Acara balap lari liar ini kan bermunculan juga di berbagai daerah lain. Sebenarnya kalian saling terhubung?
Enggak. Alami aja.
Tapi, kalian tahu udah berapa daerah yang meniru konsep ini?
Setahu saya Jakarta Timur, Jakarta Barat, Tangerang, Cileungsi, dan Bogor.
Fajar sendiri pernah ikutan lari? Kok memutuskan jadi admin Instagram komunitas?
Saya merasa enggak pede sama lari. Kalau kenapa jadi admin, lebih karena disuruh anak-anak biar bikin. Ya udah saya bikin. Kebanyakan konten juga kiriman orang pada nge-DM minta di-post.
Termasuk video pengumuman peserta lomba dengan iringan lagu TikTok itu? Kocak banget sih.
Iya. Kayak gitu deh. Kalau mau nonton, biasanya kami bikin lombanya di daerah Bekasi Utara sama Tambun.
Oke. Makasih Fajar. Stay Safe!