Sex

Trik Anak muda Aceh Agar Tetap Bisa Pacaran Tanpa Kepergok Polisi Syariat

Cara Anak Muda Aceh Pacaran Agar Tak Digerebek Polisi Syariat Wilayatul Hisbah

Hanya di Provinsi Aceh barangkali, aktivitas berbicara ditemani secangkir kopi, atau menikmati matahari terbenam di pinggir pantai bersama orang yang kau cintai, berpeluang membuatmu ditangkap aparat. Apalagi jika kau melakukannya bersama kekasih yang belum resmi kau nikahi. Jenis-jenis tindakan tersebut dianggap melanggar peraturan Aceh yang menetapkan syariat Islam di ruang publik; satu-satunya di Indonesia. Namun, seperti anak muda di belahan dunia lain, mereka sadar aturan seketat apapun ada untuk dilanggar. Apalagi untuk mereka yang sedang dimabuk asmara.

Clarissa, mahasiswi sebuah kampus swasta Ibu Kota Banda Aceh, mengaku rajin kucing-kucingan bersama pacarnya untuk memadu kasih. Berangkat pacaran sama saja kegiatan rutin putar otak menentukan rute mana saja yang ditempuh, serta kapan mereka harus pulang sebelum risiko mengadang. “Biasanya ketemu di tempat yang agak sepi, seperti di pantai sore hari, tapi itu enggak rutin. [Kami] harus pulang sebelum memasuki waktu salat mahgrib,” ujarnya saat dihubungi VICE.

Videos by VICE

Musuh utama anak muda yang berpacaran tentu saja patroli Polisi Syariat, biasa dipanggil Wilayatul Hisbah. Jika ketahuan ada lelaki-perempuan berdua-duaan di tempat sepi, pasangan macam itu otomatis digrebek.

Sanksi yang mengintai mereka seringkali sepele, tapi kadang bisa sangat berat. Anak muda yang digelandang gara-gara kepergok pacaran mungkin hanya dinasehati agar tidak mengulangi perbuatannya. Kalau sedang bernasib buruk, siap-siap saja terancam hukum cambuk. Apalagi bila tertangkap polisi syariat saat berzina, otomatis lebih berabe. Hukuman cambuk untuk mereka yang berhubungan seks di luar pernikahan bisa mencapai 100 kali seperti kasus pada 2016 lalu. Perempuan yang dicambuk gara-gara duduk terlalu dekat dari lawan jenis juga jumlahnya meningkat selama tiga tahun terakhir.

1539589490023-3H6A8430
Pasangan ini berusaha memadu kasih di pinggir Krueng Banda Aceh.

Dari belasan anak muda yang ditemui VICE, semuanya punya kesamaan lokasi favorit bertemu kekasih: kedai kopi. Sebab di berbagai kota besar Provinsi Aceh tersebar ribuan kedai kopi, rata-rata ramai pengunjung, lokasinya di pinggir jalan ramai, dan tidak memicu kecurigaan wilayatul hisbah. Di tengah keramaian inilah, pasangan kekasih setidaknya bisa ngobrol dan duduk dekat satu sama lain. Oh iya, kalau berencana pacaran di warung kopi, usahakan tetap selalu pulang sebelum matahari terbenam.

“Kalau jalan bareng tidak pernah malam hari, [kami kencan] siang atau hari libur. Alasan sama orang tua ke warung kopi ada kerjain tugas kelompok, atau beragam alasan lainnya. Pokoknya biar bisa jumpa,” kata Clarissa.

Sayang taktik ‘ngopi padahal pacaran’ ala Clarissa, si anak Banda Aceh, kemungkinan besar bakal sulit diterapkan anak muda kawasan Bireuen. Sejak akhir Agustus 2018, muncul surat edaran resmi Pemerintah Kabupaten Bireuen bahwa pasangan yang bukan muhrim (alias beda lawan jenis) dilarang duduk semeja di warung kopi. Selain itu, perempuan tidak boleh datang ke warkop selepas pukul 21.00 bila datang tanpa ditemani keluarga atau pendamping sah. Berdasar keterangan pemerintah, edaran ini merespons maraknya pasangan muda pacaran di warung kopi, serta upaya menjaga akhlak masyarakat agar sesuai syariat.

Walau sifatnya cuma edaran, alias boleh diabaikan pemilik usaha, tapi tetap saja muncul pro-kontra terhadap kebijakan Pemkab Bireuen. “Surat edaran ini menjadikan kegiatan perekonomian menurun, jadi lesu, kedai kopi jadi sepi di sana,” kata Kautsar, anggota DPRD Aceh saat diwawancarai CNN Indonesia.

Kelonggaran bagi mereka yang ingin pacaran lebih banyak dirasakan anak muda yang tinggal di kota besar. Ranti, mahasiswi 24 tahun, mengaku akhirnya baru pacaran setelah pindah kuliah ke Banda Aceh. Sewaktu masih tinggal di kampung, bersama orang tua, jangan harap. Caranya kucing-kucingan pun sama belaka seperti yang lain—kalau tidak jalan bersama di pinggir pantai, berarti ngobrol ditemani secangkir kopi. “Di kampung, saya tidak berani pacaran, sekarang sudah ke kota dan sudah kuliah, baru jalani hubungan pacaran walaupun secara diam-diam,” ujarnya. “Jika berlebihan, lebih dari yang kami lakukan sekarang, saya tidak berani.”


Tonton dokumenter panjang VICE mengenai praktik syariat di Aceh yang mengundang kontroversi, terutama dari sudut pandang warganya:


Peluang lain adalah saat hari libur. Ketika liburan, ruang publik akan dipenuhi muda-mudi yang dimabuk kasih. Di kawasan pantai, krueng alias tepian sungai, ataupun taman kota, nampak anak muda berboncengan, pacaran di atas sepeda motor. Sebagian cukup duduk bersebelahan di tengah keramaian. Hanya saat libur itu, tentunya lagi-lagi sebelum malam menjelang, polisi syariat terkesan memberi kelonggaran.

Satu yang pasti, anak muda yang jatuh cinta di Aceh bersedia melakukan semua hal bagi kekasihnya kecuali satu: datang ke rumah untuk pacaran berduaan malam hari. “Begitu sama dengan bunuh diri,” kata Cut Indri Puspita, perempuan 26 tahun warga Banda Aceh. Lantas, apakah anak-anak muda tadi merasa terbebani. Indri sih tidak. Dia termasuk pendukung Qanun Jinayah Nomor 6 Tahun 2014 yang jadi dasar penangkapan pasangan bukan suami istri pelanggar syariat Islam. “Di sini lebih indah dan nyaman, karena kita bisa terjauh dari maksiat dan perbuatan lainnya,” kata Indri.

Lain lagi dengan Soni*, mahasiswa yang biasa pacaran dengan kekasihnya dalam mobil memakai kaca gelap, tapi minta identitasnya diubah supaya tak kena masalah. Aturan ketat wilayatul hisbah menurutnya sangat membelenggu. Bagi anak muda Aceh dari kelas menengah atas sepertinya, sudah biasa bagi mereka pacaran memakai kedok liburan ke lain kota. Misalnya mendatangi Kota Medan, di Sumatera Utara, yang perjalanannya butuh 12 jam lewat jalur darat. “Teman-teman saya biasanya seperti itu,” ujarnya.

Dedy Syahputra, 28 tahun, termasuk yang merasa tekanan polisi moral membuat ruang geraknya terbatas. Anak muda yang bekerja di Banda Aceh ini memilih jomblo sampai sekarang. Dia bilang, pantai tak lagi aman untuk pacaran dengan lawan jenis yang menarik perhatiannya. Polisi syariat sudah rutin memantau. “Pacaran pun kita enggak tahu mau ke mana,” kata Dedy. “Mending langsung nikah, daripada kita pacaran tapi dihantui rasa takut akan ditangkap.”

Aturan moral berbasis syariat yang ketat di Aceh rutin mengundang pro-kontra, sebab hukum moral ini dirasa sangat tajam bagi masyarakat biasa, tapi rupanya tak bertaji sama sekali terhadap pejabat korup setempat.

1539589590569-3H6A9881
Pasangan ini memilih jalan ekstrem, pergi ke perbukitan menjauh dari pusat kota Banda Aceh.

Pemerintah setempat berkukuh kebijakan melarang pacaran berhasil menyelamatkan moral anak muda. Satu yang pasti, segigih apapun operasi polisi moral, selalu ada yang kucing-kucingan dan selalu ada anak muda seperti Soni yang berusaha menghindari aturan—hingga kelak barangkali dia menyerah dengan cara menikah atau sekalian pindah dari Aceh.

“Kita pacaran karena kemauan diri sendiri, bukan urusan sama orang,” ujarnya. “Kalau dosa pun ditanggung sendiri, bukan ditanggung sama orang lain.”