Memberanikan diri datang ke sesi terapi psikolog/psikiater untuk kali pertama biasanya bikin seseorang senewen. Kabar baiknya, senewen ataupun gugup bukan bagian paling buruk dari terapi. Yang terburuk justru kemungkinan terapi yang kita jalani gagal. Mungkin kita mengira (dan berharap banget) pertemuan pertama bareng seorang psikolog akan langsung mengarahkan kita pada proses penyembuhan gangguan mental. Faktanya, kadang orang mesti gonta-ganti psikolog dulu sebelum menemukan sosok yang pas.
Sesi terapi yang tidak berdampak pada kemajuan kondisi kita tentu saja bikin malas. Kita merasa buang-buang waktu, tenaga, dan duit. Bahkan, kita mungkin merasa kondisi kejiwaan menjadi lebih buruk ketimbang saat pertama kali memulai terapi, karena terus-terusan kepikiran sama duit yang terlanjur terbuang. Mungkin juga kalian jadi mikir: Ya, kalau ujung-ujungnya tetep ngerasa kayak tai, mending gue di rumah aja seharian.
Bagi kalian yang pernah mengidap gangguan mental sepertiku, pasti terdorong riset kecil-kecilan soal tenaga ahli kesehatan jiwa seperti apa yang sebaiknya kita temui. Laki-laki atau perempuan? Psikolog atau psikiater? Yang mana yang biayanya lebih terjangkau?
Yang saya bahas di kolom kali ini tentu masalah kenyamanan kita selama konsultasi ya. Kalau kondisi kejiwaan kalian butuh obat, tentu dokter kejiwaan alias psikiater harus jadi pilihan. Sementara kalau ingin konsultasi dulu dan memetakan persoalan, akan lebih baik menghubungi psikolog. Tapi kan konsultasi kejiwaan enggak sesederhana itu. Setelah semua riset tadi, kita biasanya tetap gugup saat pertama kali akan menemui dia. Nah, adakah kira-kira cara mengetahui mana psikolog/psikiater yang tepat buat kasus kejiwaan yang kita alami?
Untuk mendapat jawabannya, aku ngobrol-ngobrol bareng Agatha Novi Ardhianti, psikolog di Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya. “Tujuan sesi terapi itu supaya klien bisa memahami dirinya lebih baik, dan menyadari akar permasalahannya, serta sumber daya yang dia miliki untuk mengatasi permasalahan tersebut,” kata Agatha. “Penting untuk dicatat bahwa peran psikolog adalah membantu klien mereka mengambil keputusan.”
Agatha bilang kriteria suatu terapi gangguan mental berhasil ketika sebuah masalah, yang membuat seorang klien menemui tenaga ahli, terpecahkan. Sayangnya, kalau pemicu masalah di luar kuasa si klien, mungkin tidak secepat itu dapat diatasi. “Tapi ketika klien memahami permasalahannya, setidaknya dia dapat mengatasinya dengan baik. Dengan begitu, dia bisa menjalani kesehariannya dengan ‘normal’. Itu berarti terapinya berhasil,” ujarnya.
Dengan parameter yang dijabarkan Agatha, saya menyimpulkan tenaga ahli yang cocok setidaknya bisa mengantarkan kita pada kemajuan, sekecil apapun. Sebagian orang mungkin perlu menjalani beberapa sesi terapi terlebih dahulu, sebelum menentukan apakah sosok yang dia temui adalah tenaga ahli kejiwaan yang cocok. Bagi sebagian orang lainnya, mungkin perlu lebih lama lagi. Saya sendiri membutuhkan waktu setahun sampai akhirnya memutuskan udahan aja sama tenaga ahli pertama yang saya temui.
Awalnya sosok yang saya temui adalah seorang psikiater. Saya datang ke sebuah klinik dan langsung bilang ke resepsionis kalau saya mau menemui dokter kejiwaan yang ada di situ, asal perempuan. Dulu, alasan saya agak malas ngobrol sama tenaga ahli laki-laki. Dulu saya juga yakin perempuan bisa lebih memahami kekhawatiran dan persoalan yang saya alami.
Setelah beberapa sesi, saya merasa lega. Saya emang kepengin berbagi pikiran paling kelam di pikiran saya kepada seseorang yang dapat dipercaya. Tapi setelah beberapa lama, saya sadar kalau terapi ini butuh lebih. Psikiater itu memberi saya resep obat. Meski obat-obatan yang saya konsumsi menolong saya berfungsi secara normal dalam keseharian, saya malah jadi tidak nyaman menceritakan banyak hal kepada si psikiater. Belakangan, dia mulai mengeluarkan opini-opini menghakimi.
Videos by VICE
“Psikolog saya yang sekarang menantang gagasan-gagasan saya. Akhirnya saya jadi lebih yakin mana gagasan yang benar-benar saya yakini.”
Psikiater pertama saya itu lalu menyarankan saya menikah, supaya masalah kejiwaan kelar. Yang paling bikin sebel, dia justru mereduksi permasalah saya, yang awalnya terkait penampilan, menjadi isu kepercayaan diri. Dia juga terus-menerus berkomentar kalau saya akan kelihatan lebih cakep kalau rambut saya tidak disemir. Pada satu titik, rasanya dia mencoba membentuk kepribadian saya supaya sesuai pakem “orang baik-baik” kebanyakan di Indonesia. Lama-lama saya takut dia berniat menghakimi saya lebih lanjut. Jadi saya bercerita seadanya saja tiap kali menjalani terapi. Dampaknya, progres saya menuju kesembuhan terhambat.
Ketika saya menyadari sesi terapi bersamanya mulai stagnan, rasanya seperti dikhianati. Hidup saya berantakan. Padahal alasan saya memilih dia, karena saya enggak bisa cerita-cerita semua masalah kejiwaan sama ibu. Saya mencari kenyamanan curhat kepada perempuan yang lebih tua yang ternyata makin lama makin mirip BANGET sama ibu saya. Bedanya, psikiater punya lisensi medis dan otoritas ngasih resep obat untuk ngatur-ngatur hidup saya.
Intinya, pengalaman saya bertemu tenaga profesional bidang kejiwaan sudah terancam gagal. Saya memutuskan ganti orang. Kali ini, saya menemui seorang psikolog, sambil masih sesekali datang ke ibu psikiater. Si psikolog yang belakangan kudatangi ini rupanya OK banget lah.
Dia lebih muda dari psikiater pertama saya dan, yang lebih penting, dia berpikiran terbuka dan menerima permasalahan maupun cara pikir saya. Si psikolog menuntun saya menghadapi masalah-masalah kejiwaan tanpa membuat saya merasa diserang. Saya merasa bisa memercayainya. Dia pun membuat saya merasa bisa mengandalkan diri sendiri untuk mengatasi masalah-masalah kejiwaan tersebut.
Sayang, saya akhirnya berhenti menemui psikolog tersebut karena ongkos konsultasinya mahal, kurang terjangkau untuk saya tanggung sendiri. Untungnya, semua sesi yang saya jalani bersamanya membantu saya mengembangkan kemandirian, sehingga saya enggak perlu terus-terusan ketemu dia supaya bisa merasa nyaman menghadapi gangguan mental.
Saya sempat nanya-nanya ke beberapa teman soal pengalaman mereka menemui psikolog/ psikiater. Unggul, salah satu teman yang juga mengidap gangguan mental, mengaku kepada saya kalau dia merasa cocok sama psikolognya sejak awal karena dia bersedia mendengarkan dan enggak doyan ceramah. Psikolog yang mendampingi Unggul itu lebih suka memberi saran-saran praktis mengatasi permasalahan, yang cocok dengan kepribadiannya. Psikolog Unggul ingin dia menerima dirinya sebelum mengubah kebiasaan yang tak dia sukai selama ini.
“Saya jadinya mau dengerin dia, karena saya tahu ada yang salah dan ingin memerbaikinya,” ujarnya. “Ini seperti upaya kolaboratif.”
Sikapnya Unggul ini wajar sih. Kita tentu enggak mengalokasikan uang (yang susah-susah dikumpulkan) supaya si psikolog/psikiater sepakat sama kita setiap saat. Perbedaan pandangan antara kita dan terapis tak selalu bermakna buruk. Kawan saya yang lainnya, Nina, malah beberapa kali berselisih pendapat sama psikolognya.
“Psikolog saya yang sekarang menantang gagasan-gagasan saya. Akhirnya saya jadi lebih yakin mana gagasan yang benar-benar saya yakini,” ujarnya.
Nina percaya psikolgnya yang sekarang memiliki cara berkomunikasi yang lebih baik. Dia bisa menjabarkan penilaian profesionalnya dengan diksi yang tepat, serta mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang tepat pula—dibandingkan psikolognya yang pertama.
Sang psikolog kedua itu tidak menyepelekan permasalahannya, sehingga Nina merasa lebih dimengerti. “Dia bisa mengonfirmasi kalau masalah-masalah yang saya alami itu nyata, jadi rasanya nyaman aja.”
Sayangnya, tidak ada jawaban pasti kriteria psikolog atau psikiater yang baik.
Saran terbaik yang bisa saya kasih cuma ini: percayalah sama instingmu sendiri. Kita perlu sabar dan mengikuti proses terapi, tapi jangan lupa memeriksa lagi perasaanmu. Kadang, ketika kita mencari bantuan profesional, kita suka lupa bahwa psikolog atau psikiater juga manusia. Saran mereka tak selalu berhasil, dan pada akhirnya kita yang menentukan mau lanjut atau putus terapi.
Oh ya, intinya mah, semua tergantung apakah kita merasa nyaman dan apakah kita cukup mengalami progres. Hal paling penting untuk diingat, jangan memandang praktisi kesehatan mental sebagai penyembuh. Posisikan mereka sebagai orang-orang yang mendampingi kita selama masa penyembuhan. Pola pikir seperti itu akan lebih baik menurut saya, memperlancar proses terapi kalian.
Rock Bottom adalah kolom VICE Indonesia membahas isu-isu kesehatan mental. Kontributor kami, Katyusha Methanisa, menulis bermacam artikel mengenai gangguan mental dari sudut pandang personal.