Pada Minggu (27/10) pagi waktu setempat, Presiden Amerika Serikat Donald Trump mengumumkan bahwa pemimpin kelompok teroris Negara Islam Irak dan Syam (ISIS), Abu Bakr al-Baghdadi, tewas dalam operasi militer gabungan dibantu negaranya yang berlangsung di barat laut Suriah, Sabtu pekan lalu.
“Tadi malam, Amerika Serikat berhasil mengalahkan pemimpin teroris nomor satu di dunia,” kata Trump. “Abu Bakr al-Baghdadi sudah mati.”
Videos by VICE
Dikutip dari New York Times, seorang pejabat mengungkapkan CIA bertugas sebagai pengintai di lapangan dan memberikan informasi intelijen kepada pasukan khusus Delta Force.
Trump mengatakan tak ada personel AS yang gugur dalam operasi ini. Keberadaan Baghdadi dikabarkan telah diincar sejak beberapa minggu lalu, tetapi pergerakannya yang dinamis membuat operasi sebelumnya terpaksa dibatalkan.
Trump lebih lanjut mengklaim pasukan AS menyudutkan Baghdadi sampai akhirnya dia tak ada pilihan selain berlari ke dalam terowongan dengan tiga anak kecil.
“Dia tewas setelah berlari histeris ke terowongan buntu,” ujar Trump. “Dia terjebak di dalam ketika anjing kami mengejarnya.”
Baghdadi bunuh diri dengan meledakkan bom di rompinya. Menurut Trump, dia dan ketiga anak kecil tewas bersamaan dengan runtuhnya terowongan. Jasadnya tak lagi utuh, tetapi hasil tes DNA menunjukkan memang milik Baghdadi.
“[Tes DNA] itu bukti jasadnya,” klaim Trump. “Monster buas macam dia takkan selamat.”
Presiden AS ke-45 itu sekaligus berujar jika pasukan negaranya berhasil mengambil berkas-berkas “sangat sensitif” yang sebagian besar terkait dengan operasi ISIS dari kediaman Baghdadi. “Saat menggelar razia, kami berhasil mendapatkan informasi sensitif terkait ISIS dan rencana masa depan mereka,” kata Trump.
“Saya menyaksikan jalannya operasi tersebut,” imbuh Trump, sembari memuji teknologi canggih yang memungkinkan dia dan beberapa petinggi militer di Gedung Putih untuk menonton operasi penyerbuan markas pemimpin ISIS, layaknya “nonton film.
Baghdadi menggantikan posisi Abu Omar al-Baghdadi sebagai pemimpin Islamic State setelah dia tewas dibunuh pada 2010.
Trump suka mencemooh pengikut Baghdadi dengan sebutan “pecundang”, “pengecut”, dan “pembunuh fanatik”. Dia bahkan mencela Baghdadi “mati sebagai pengecut karena melarikan diri sambil menangis histeris” saat dikejar pasukannya.
Pasukan AS mengamankan 11 anak yang selamat, sementara dua istri Baghdadi tewas mengenakan rompi bom bunuh diri, sehingga memperlambat operasi pemulihan di lokasi penyerangan.
Trump berterima kasih kepada Rusia, Suriah, Turki dan Irak atas bantuan mereka melancarkan serangan tersebut. Dia juga berterima kasih kepada milisi etnis Kurdi di Suriah yang bertugas sebagai mata-mata. “Rusia dan Irak benar-benar hebat,” kata Trump.
Mazloum Abdi, Komandan Pasukan Demokratik Suriah (SDF) yang memimpin milisi dari etnis Kurdi, menyebutnya “operasi bersejarah” yang sukses dilakukan karena dibantu teknologi AS.
Operasi penyerangan ini terjadi di sebuah rumah Provinsi Idlib, yang jauh dari tempat persembunyian Baghdadi di sepanjang perbatasan Suriah-Irak. Idlib dikuasai kelompok pemberontak jihad yang memusuhi ISIS.
Selama operasi, delapan helikopter mendarat di TKP dan pasukan komando menyerbu persembunyian Baghdadi sembari “menembaki bagian samping bangunan untuk menghindari pintu depan beranjau,” kata trump.
Menurut Trump, milisi Kurdi “memberikan kami sejumlah informasi penting.” Pernyataan Trump kontroversial, terutama karena adanya tuduhan penarikan pasukan AS baru-baru ini di timur laut Suriah justru membuka celah bagi Turki untuk menginvasi wilayah Kurdi.
Sebelum menggelar jumpa pers, pada Sabtu malam sudah Trump ngetwit kalau “ada hal besar yang baru saja terjadi.”
Kepada BBC, seorang warga suku Barisha di Idlib menceritakan operasi militernya berlangsung dramatis. Helikopter melancarkan serangan selama 30 menit dan menembakkan rudal hingga meratakan satu dari dua rumah sebelum akhirnya turun ke daratan.
Artikel ini pertama kali tayang di VICE News