Setelah kasus penularan virus corona meningkat drastis di Amerika Serikat menjadi urutan satu sedunia, Presiden Donald Trump menemukan kambing hitam untuk disalahkan selain dirinya sendiri: Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Lembaga di bawah naungan PBB itu dianggap Trump terlalu lamban bekerja, sehingga AS sekarang kelimpungan mengangani pandemi.
Pekan lalu, Trump mengancam akan menyetop sementara iuran dana yang biasa disetor AS untuk WHO. Ancaman itu terbukti, ketika saat jumpa pers Selasa (14/4) waktu setempat, presiden 73 tahun ini mengumumkan realisasi gagasannya. “Kami akan meninjau ulang anggaran dana tersebut, karena dugaan WHO tidak becus menangani pandemi dan aktif menutup-nutupi data penyebaran riil virus corona,” ujarnya.
Videos by VICE
Saban tahun, Negeri Paman Sam berkontribusi menyetor dana sebesar US$400 juta hingga US$500 juta khusus untuk kebutuhan operasional WHO. Trump, yang dulunya pengusaha, menganggap iuran sama dengan bayaran jasa macam menggaji anak buah.
Dalam jumpa pers itu, dia menyebut WHO terlalu lama menetapkan status Covid-19 sebagai pandemi global. Seharusnya, kata presiden AS, status pandemi sudah langsung diumumkan sebelum 11 Maret, ketika penyakit itu baru menyebar di Tiongkok dan Korsel. Gara-gara kelamaan itu, menurut Trump, tak ada negara yang siap menghadapi pandemi.
Trump juga meyakini WHO berkomplot bareng petinggi Cina untuk mengibuli dunia soal data penyebaran virus corona. Termasuk ketika lembaga itu memuji keberhasilan lockdown di Wuhan. Di mata Trump, AS bisa mengalami penularan covid-19 yang parah, karena sebenarnya di Tiongkok angka yang sakit jauh lebih banyak namun ditutup-tutupi pemerintah.
“WHO ikut menyebarluaskan berbagai misinformasi dari Tiongkok,” kata Trump.
“Seandainya WHO benar-benar jujur mengenai kondisi di Tiongkok, dan berani menyebut situasi yang tidak transparan di negara tersebut, maka pandemi ini bisa ditanggulangi dengan baik,” imbuh Trump.
Senator Rick Scott dari Florida, salah satu pendukung militan Trump, sampai meminta Kongres AS membikin penyelidikan soal keterlibatan WHO, “membantu komunis Cina menutupi informasi sebenarnya tentang ancaman virus corona.”
Trump bilang pemerintahannya bajal mengkaji lagi skema dana bantuan untuk WHO sampai 60 hari ke depan, yang berarti sumbangan AS untuk operasi kesehatan PBB pada 2021 terancam hilang. Lembaga kesehatan itu butuh biaya operasional US$4,4 miliar tiap tahun, dengan AS menyumbang seperlima dari anggaran tersebut.
Realitasnya, penularan parah di Negeri Paman Sam bagi banyak kalangan justru karena keteledoran Trump sendiri. Presiden dan partai pendukungnya, Republik, sejak Januari lalu berusaha menganggap remeh virus corona. Sehingga ada momen dua bulan hilang untuk persiapan alat tes cepat dan mengkaji skema karantina. Hingga 14 April, merujuk data Johns Hopkins University, ada 602.989 kasus positif Covid-19 di AS, dengan pasien yang meninggal sebanyak 23.644 orang.
Lucunya, Trump di awal tahun lewat Twitter ikut-ikutan memuji Tiongkok dan Presiden Xi Jinping yang dianggap berhasil mengisolasi penularan corona di Wuhan. Ketika dikonfirmasi wartawan soal twitnya, dia berkelit.
Sikap Trump kini berbalik 180 derajat, tapi jejak digital tidak bisa bohong.
Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Antonio Guterres menilai keputusan Amerika Serikat itu sembrono. Sebab, dukungan seluruh negara sangat diperlukan dalam situasi krisis seperti sekarang. Termasuk dana operasional rutin untuk WHO.
“Saya yakin organisasi kesehatan dunia tetap harus didukung, karena badan itu sangat penting bagi upaya dunia untuk memenangkan perang melawan Covid-19,” ujarnya lewat keterangan tertulis, pada Rabu (15/4). “Sekarang bukan saatnya memangkas dana operasional WHO karena alasan-alasan semacam [yang disampaikan presiden AS].”
Patut diingat, persebaran teori konspirasi bukan cuma dilakukan politikus Amerika. Tiongkok pun ikut menyebar propaganda, setelah negara mereka sedikit terbebas dari cengkraman Covid-19. Kementerian Luar Negeri Tiongkok ikut menyebar teori konspirasi kalau virus corona disebar oleh warga negara AS yang mampir ke Wuhan.
Artikel ini pertama kali tayang di VICE News