Uni Emirat Arab dan Bahrain, dua negara yang menjadi simbol solidaritas Islam di Jazirah Arab memutuskan berpaling dari Palestina, lalu memilih normalisasi hubungan diplomatik dengan Israel. Pertemuan simbolis ini difasilitasi oleh Amerika Serikat, berlangsung di Gedung Putih. Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu, dalam jumpa pers Selasa (15/9) lalu, mengapresiasi keputusan itu karena “berpotensi mengakhiri konflik Israel dan negara-negara Arab untuk selama-lamanya.”
Keputusan UEA dan Bahrain memicu kemarahan warga Palestina, khususnya di Jalur Gaza yang dikuasai Partai Hamas dengan kekuatan paramiliternya. Pada 15 September malam waktu setempat, beberapa roket Hamas ditembakkan ke Kota Ashdod, Israel, melukai dua warga sipil. Roket-roket lain ditembakkan pada Rabu subuh dari Gaza, namun tidak mencapai kawasan padat penduduk. Merespons serangan roket itu, jet tempur Israel memborbardir sebuah gudang di Gaza yang ditengarai lokasi penyimpanan roket milik Hamas.
Videos by VICE
“Sejak awal saya yakin yang tidak suka dengan perjanjian damai adalah teroris Palestina yang ingin merusak momen bersejarah ini,” kata Netanyahu. “Sikap Israel jelas, melawan siapapun yang mengancam keamanan negara kami, sekaligus menyambut terbuka siapapun yang menawarkan perdamaian.”
Warga Palestina menilai keputusan Uni Emirat Arab dan Bahrain sebagai pengkhianatan atas solidaritas dunia muslim terhadap penjajahan yang mereka alami. Selain serangan roket Hamas, sepekan terakhir gelombang unjuk rasa berlangsung di Gaza maupun Tepi Barat. Massa membakar spanduk protes dan poster pemimpin UEA maupun Bahrain.
Presiden Palestina Mahmoud Abbas memperingatkan dua negara itu, bahwa keputusan menormalisasi hubungan dengan Israel tidak akan menghasilkan perdamaian di Timur Tengah. Sebab, Israel sebagai biang kerok utamanya tidak didesak menyelesaikan masalah.
“Perdamaian, keamanan, dan stabilitas baru bisa tercapai bila Israel mengakhiri penjajahan wilayah Palestina,” kata Abbas.
Uni Emirat Arab dan Bahrain mengikuti jejak Yordania, yang lebih dulu menormalisasi hubungan dengan Negeri Zionis itu pada 1994. Kedua negara ini juga secara tidak langsung keluar dari inisiatif bersama yang digalang Kerajaan Arab Saudi pada 2002, agar semua negara muslim di Teluk tidak menormalisasi hubungan diplomatik dengan Israel sebelum mereka mengakhiri penjajahan di Gaza, Yerusalem, dan sebagian besar Tepi Barat.
Menurut Neil Quilliam, peneliti spesialis Timur Tengah di Lembaga think-thank the Chatham House, bisa dipahami bila muncul kemarahan dari rakyat Palestina atas keputusan Uni Emirat Arab dan Bahrain. Sebab, normalisasi ini tidak dilatari alasan kuat untuk menuntaskan masalah penjajahan, dan lebih didorong kepentingan dua negara itu. Meski begitu, muncul kabar bila Israel berjanji akan menghentikan penyerobotan lahan untuk pemukiman imigran Yahudi di Tepi Barat sebagai balasan atas normalisasi hubungan kali ini.
“Bisa dibilang negara-negara Arab semakin kehilangan posisi tawar memadai untuk menekan Israel,” kata Quilliam. “Bahkan, potensi solusi dua negara berdampingan kini turut terancam.”
Rakyat Jalur Gaza, dari pantauan Quilliam, menjadi yang paling marah atas keputusan UEA dan Bahrain. Sebab, wilayah tersebut mengalami isolasi total selama dua dekade, serta jauh lebih tertinggal dibanding Tepi Barat karena perbedaan partai yang memerintah. Hamas, di mata Israel dan Amerika Serikat, jauh lebih radikal dibanding PLO yang dipimpin Mahmoud Abbas.
Lebih jauh lagi, menurut Quilliam, normalisasi ini menguak rahasia umum bila negara-negara Jazirah Arab sebetulnya hanya galak di mulut terhadap Israel, tapi sejak lama sudah menjalin hubungan baik. “Negara-negara itu sebetulnya sudah lama berbagi teknologi, intelijen, dan bekerja sama di bidang keamanan. Tentu dengan normalisasi ini akan ada hubungan yang lebih intensif di bidang-bidang tersebut,” tandasnya.
Normalisasi hubungan antara UEA-Bahrain dan Israel diumumkan Presiden Amerika Serikat Donald Trump. Amerika menjadi fasilitator utama dialog tiga negara tersebut. Manuver ini diyakini upaya Trump untuk memenangkan pemilu pada November mendatang, dengan mengesankan pemerintahannya sukses menghasilkan progress riil di Timur Tengah.
Namun, Quilliam mengingatkan agar pemerintah AS tidak berpuas diri. Sentimen di akar rumput menunjukkan rakyat dua negara Arab itu sendiri tidak mendukung keputusan pemerintah mereka. Hashtag “Bahrain menolak normalisasi” trending di Twitter selama dua hari terakhir.
Artikel ini pertama kali tayang di VICE News