UGM Defensif Usai Pers Kampus Bongkar Skandal Pelecehan Seksual Mahasiswi

Universitas Gadjah Mada didera skandal pelecehan seksual mahasiswinya saat KKN

Universitas Gadjah Mada, salah satu kampus paling prestisius di Indonesia, tengah disorot publik usai laporan Badan Penerbitan dan Pers Mahasiswa (BPPM) Balairung awal pekan ini mengungkap ketidakadilan dialami mahasiswinya yang menjadi korban pelecehan seksual. Balairung menulis ulang kesaksian Agni, penyintas yang namanya disamarkan, terkait pelecehan yang dia alami. Pelakunya adalah satu mahasisa sesama peserta Kuliah Kerja Nyata (KKN) di Maluku tahun lalu. Masalahnya, merujuk laporan Balairung, petinggi kampus diduga kuat berusaha menutup-nutupi skandal tersebut dengan tak kunjung membawa kasus ini ke jalur hukum.

Pejabat UGM, setelah kasus ini menyeruak dan disorot media arus utama nasional, memilih bersikap defensif. Bahkan, Dekan Fakultas Teknik UGM, Nizam, mengkritik Balairung atas pemberitaan tersebut. “Saya sangat menyayangkan dari media internal (Balairung UGM) mem- blow up (kasus pemerkosaan), dan seolah-olah ada pembiaran, padahal sama sekali tidak,” ujarnya ketika dihubungi media lokal. Dalam wawancara bersama tirto.id, Nizam mengatakan selama kasus ini diselidiki ulang, mahasiswanya berinisial HS yang diduga menjadi pelaku pelecehan resmi ditunda kelulusannya. “Dia [HS] dari Fakultas Teknik seharusnya dia sudah bisa lulus Agustus lalu, karena kasus ini kami pending, kami tunda dulu keputusannya.”

Videos by VICE

Melalui keterangan tertulis ke media massa, rektorat UGM berjanji membentuk tim investigasi lintas fakultas dan melakukan pendampingan dengan melibatkan psikolog untuk memulihkan kondisi psikologis penyintas. Sebetulnya beberapa rekomendasi sudah disampaikan dari tim investigasi sejak 22 Desember 2017, namun sampai berita ini ramai dibicarakan, belum ada tindakan konkret dijalankan untuk memenuhi rasa keadilan bagi penyintas.

Adapun pelaku hanya mendapat sanksi pembatalan KKN dan diwajibkan mengulang mata kuliah KKN. Nizam mengaku pihak Dekanat Fakultas Teknik sudah menerima rekomendasi dari tim investigasi, namun sanksi bagi pelaku pelecehan bukan drop out. “Bina mereka [agar] masa depan lebih baik semua. Hukuman [sesuai] nilai-nilai keadilan dan nilai-nilai pendidikan,” ujarnya.

Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (Fisipol) UGM, Erwan Agus Purwanto mengaku terlibat investigas internal tahun lalu. Tim ini terdiri dari perwakilan Fisipol, FT, dan Fakultas Psikologi. Penyintas tercatat sebagai mahasiswi Fisipol. Dia mengakui rekomendasi yang diajukan tim sebagian belum dilaksanakan rektorat. “Hingga sekarang masih menunggu implementasi dari rekomendasi kami,” kata Erwan saat dihubungi awak media.

Rektorat UGM sendiri membantah bahwa sejak awal tidak melirik opsi laporan resmi ke polisi. “Awalnya kan memang akan kita tawarkan [menempuh jalur hukum],” ujar Iva Aryani, kepala humas UGM, kepada Detik. Namun setelah kasus ini kembali mencuat, Iva mengatakan keputusan penyelesaian kasus ini akan diambil tim internal kampus.

Sikap defensif kampus mengundang kecaman dari pengguna Internet, termasuk juga para alumni UGM yang menilai rektorat gagal mendatangkan rasa keadilan bagi penyintas. Sebagian pengguna Internet lainnya memilih main hakim sendiri, dengan cara menyebar profil Linkedin terduga pelaku pelecehan ke media sosial.

Skandal ini bermula pada Juni 2017. Agni mengaku telah dilecehkan ketika sedang tidur di salah satu posko KKN. Skandal ini sebenarnya langsung merebak di antara peserta dan panitia KKN. Awalnya panitia sempat meragukan tuduhan Agni. Sebagaimana dilaporkan oleh Balairung, seorang pejabat kampus secara tidak langsung ikut menyalahkan penyintas. “Jangan menyebut dia [Agni] korban dulu. Ibarat kucing kalau diberi gereh (ikan asin dalam bahasa jawa-red) pasti kan setidak-tidaknya akan dicium-cium atau dimakan.”

Pelaku kemudian dikeluarkan dari tim KKN. Bukan karena melecehkan Agni, melainkan karena dia sudah “tidak diterima” oleh peserta KKN lainnya. Program KKN lantas berakhir, dan semua kembali berkuliah seperti biasa. Di saat itulah, Agni mengetahui kalau mata kuliah KKN-nya dapat C. Nilai ini diberikan oleh dosen yang mengawasi kegiatannya selama di luar kota. Ketika Agni menanyakan apa alasannya, dosen itu mengaku memberi skor jelek karena penyintas sudah membuatnya malu di hadapan warga tempat mereka menjalankan KKN di Maluku.

Setelah berbulan-bulan investigasi internal, universitas memutuskan mengubah nilai Agni, mengembalikan biaya kuliahnya, dan membiayakan konseling untuk yang dia butuhkan untuk mengatasi trauma. Pelaku pelecehan juga diwajibkan menjalankan konseling selama dua sampai enam bulan, serta menulis surat permohonan maaf yang ditandatangani orang tuanya. Tapi pelaku masih terdaftar di UGM dan belum diserahkan kepada pihak kepolisian untuk diinvestigasi secara hukum. Setelah HS menyelesaikan konselingnya, dia rencananya diperbolehkan ikut wisuda.

Kasus pelecehan seksual seperti di UGM bukan yang pertama terjadi di kampus-kampus Indonesia. Pada 2015-2016 di Universitas Indonesia saja, sebanyak 30 kasus pelecehan seksual dilaporkan tanpa penyelesaian berarti. Bagi sebagian besar korban—serupa dengan tren yang dialami korban pelecehan seksual di seluruh dunia—keadilan tak kunjung datang bagi mereka.

Minimnya perlindungan terhadap korban pemerkosaan maupun pelecehan seksual di Tanah Air berulang kali terjadi. Aparat kepolisian pun sayangnya kerap tidak mempercayai kesaksian korban, atau bahkan menyalahkan mereka.

Oktober tahun lalu, Kepolri Tito Karnavian melontarkan komentar kontroversial saat diwawancarai BBC Indonesia, dengan menyebut polisi kadang harus bertanya mendetail pada korban. “Jika saya diperkosa, bagaimana perasaan saya selama pemerkosaan terjadi, apakah nyaman? Jika nyaman, itu bukan pemerkosaan,” kata Tito. Sikap dan pola pikir macam itulah yang membuat para penyintas perkosaan tidak sudi mengandalkan polisi. Survei terbaru menyatakan 93 persen korban perkosaan enggan membuat laporan ke polisi.

Pelecehan seksual di kampus-kampus di Indonesia pun marak terjadi, seperti yang bisa dilihat dalam cerita-cerita yang dikumpulkan Tirto.id. Dalam kronik yang disusun Tirto, dapat kita lihat benang merah betapa kampus-kampus di Indonesia lebih memilih menangani kasus-kasus pelecehan seksual secara internal, untuk melindungi reputasi mereka. Seandainya sejak awal kampus bersedia menempuh jalur hukum, tiap pemerkosa terancam hukuman bui maksimal 12 tahun. Ancaman hukuman seberat itupun belum tentu bisa memulihkan rasa trauma korban pemerkosaan maupun pelecehan seksual.