Efek Rumah Kaca, salah satu band indie rock paling populer Tanah Air dalam dua dekade terakhir, citaranya cukup lekat dengan semangat perlawanan. Lirik yang menyentil dan kritis—mulai dari isu HAM, konsumerisme hingga kegelisahan soal industri musik—kolaborasi dengan aktivis-jurnalis Najwa Shihab, hingga tampil live di depan Tugu Proklamasi untuk mendukung massa demo UU Cipta Kerja beberapa tahun silam adalah segelintir dari upaya ‘perlawanan’ yang mereka lakukan.
Di luar itu semua, selalu ada juga pergumulan internal di dalam band untuk tidak mengulangi diri mereka sendiri, untuk menawarkan kebaruan dalam karya dan tetap menjadi relevan. Setelah tujuh tahun absen merilis album penuh, akhir pekan lalu, Efek Rumah Kaca merilis Rimpang, album keempat mereka.
Videos by VICE
“Sampai akhir rekaman itu kita masih bongkar-bongkar lagu,” ujar vokalis dan gitaris Cholil Mahmud saat ngobrol bersama VICE, “dengan harapan memperluas spektrum musik ERK, tapi gak kehilangan jejak, dan enggak kayak band baru, tapi tetap ada bedanya dengan yang dulu. Kan bosan kalau main yang sama terus.”
Sekilas saja, memang banyak yang baru soal ERK di Rimpang. Misalnya bagaimana rilisan ini menandai absennya campur tangan Adrian Yunan, basis dan songwriter dari lineup awal ERK yang kini berkarya solo. Formasi baru band sebagai kuartet juga ditampilkan, dengan pengukuhan basis Poppie Airil sebagai anggota permanen.
Poppie yang selama ini membantu penampilan live ERK juga turut berpartisipasi dalam penulisan lagu di Rimpang. Sementara Reza Rian yang baru bergabung tahun lalu adalah seorang multi-instrumentalist dan komposer yang menyumbang bunyi-bunyian synthesizer dan mengisi gitar kedua di grup.
Mulai dikerjakan tidak lama setelah perilisan Sinestesia (2015) yang ambisius dan sarat dengan komposisi berdurasi panjang, Rimpang merupakan upaya ERK untuk kembali ke formula pop alternatif mereka yang simpel.
“Setelah Sinestesia, kami ingin melangkah lagi, mengerjakan sesuatu yang lebih sederhana, tapi juga belum pernah kami lakukan,” ujar Cholil.
Realita kehidupan membuat proses pengerjaan Rimpang jauh dari kata simpel. Beberapa tahun terakhir, Cholil hijrah ke New York, Amerika Serikat untuk menemani istri yang sedang bersekolah lagi. Untuk mengakali, ERK harus belajar untuk menciptakan lagu secara LDR menggunakan email dan video call. Setiap ada kesempatan, Cholil pulang ‘berlibur’ ke Indonesia dan menyempatkan diri untuk colongan rekaman di sela-sela kesibukan manggung.
“Gue manggung, pulang, rekaman. Jarang banget libur,” ingat Cholil.
Terlibatnya Poppie dan Reza dalam band otomatis menambah warna musik yang berbeda. Dibandingkan rilisan-rilisan ERK sebelumnya, Rimpang terdengar lebih kontemporer dengan tambahan bumbu-bumbu style baru yang belum banyak dijamah oleh band ini sebelumnya.
Misalnya saja track pembuka, “Fun Kaya Fun,” menampilkan vokalis tamu Suraa (Cempaka Surakusumah) yang memberikan lagu ini nuansa manis dan dreamy. Lagu ini ditutup dengan sahut-sahutan antara arpeggio synth yang melodik dan beberapa vokal yang berbeda, sekilas mengingatkan kita akan band neo-psikedelia seperti Deerhunter.
“Sondang” adalah sebuah nomor repetitif nan atmosferik yang membuat kita merasa seperti sedang melayang di luar angkasa yang luas. Vokal Cholil dibuat menyatu dengan instrumen lainnya, menghasilkan sound design yang mengawang-awang.
“Kan lagunya tentang kisah aktivis [Sondang Hutagalung] yang tragis banget, dan tema itu sudah membungkus atmosfer lagunya. Pernak-pernik yang kita hadirkan itu noisenya, suasana drone, dan drumnya yang aneh, enggak ada pattern, random tanpa ketukan buat mencoba memaksimalkan ekspresi lagu,” urai Reza.
Biarpun menawarkan spektrum eksplorasi sound yang lebih kaya, Rimpang masih memuat berbagai ciri khas ERK. Single pertama “Heroik” yang merupakan kritik terhadap figur kuasa dengan messiah complex misalnya, langsung terdengar familiar berkat chord-chord minor dan tarikan vokal Cholil yang khas. Bedanya, di paruh kedua track, detail subtil seperti background choir dan berbagai lapis melodi synth turut meramaikan seiring lagu mencapai klimaks.
“Pemilihan nadanya standar ERK, tapi progresi chordnya beda, dan udah ada kehadiran synth dengan bunyi yang beda dari synth di Sinestesia,” jelas Cholll soal single tersebut.
Perlawanan Kecil, Perubahan Besar
Dikenal atas penulisan lirik yang kuat—kadang lugas, kadang puitis—dan kontekstual sesuai suasana sosial-politik atau bahkan situasi personal yang sedang relevan, membuat lagu-lagu Efek Rumah Kaca memiliki urgensi yang berbeda dari lagu pop lainnya. Tidak banyak artis berhasil membuat ribuan penonton dengan senang hati meneriakkan lirik tentang pelanggaran HAM atau kritik terhadap industri musik, tapi ERK adalah salah satunya.
Lirik penuh kegelisahan masih ditemukan di Rimpang, dengan konteks Indonesia pasca-pandemi Covid-19 dan pasca-demo besar penolakan revisi UU KPK dan RUU KUHP di 2019. Ketika ruang untuk mengkritik kekuasaan semakin terbatas, banyak orang menggunakan berbagai cara dan medium kreatif untuk ‘melawan’ dan ini, menurut Cholil adalah sesuatu yang layak didukung dan dipertahankan.
“Gue ngeliat sejujurnya situasi Indonesia, dari penanggulangan pandemi sampe demokrasi dan kebebasan berpendapat, itu kacau. Banyak represi dan persekusi orang-orang,” keluh Cholil, “Tapi kita selalu mencari jalan untuk melakukan perlawanan secara kecil-kecil, misalnya menggunakan lelucon, sarkasme macam komentar netizen ‘bismillah, komisaris’ sebagai bentuk rasa jijik kita buat orang-orang yang menjilat pemerintah.”
“Itu perlawanan, tapi gue merasa kurang ter-capture. Ada banyak yang seperti ini, kayak mural, budaya meme, jokes stand up comedian. Mereka gak kasat mata seperti perlawanan ibu-ibu petani Kendeng, tapi mereka tulus dan sebetulnya benih-benih yang menjanjikan,” lanjut Cholil.
Terinspirasi buku A Thousand Plateaus: Capitalism and Schizophrenia karya filsuf Prancis Gilles Deleuze dan psikoanalis Félix Guattari, Cholil meminjam pemikiran bahwa seperti tumbuhan batang—atau rimpang—yang menjalar di bawah tanah, perlawanan-perlawanan kecil yang terkesan acak dan tanpa hierarki ini menyebar diam-diam.
Biarpun Rimpang penuh dengan renungan bahkan kritik sosial, lagu yang menjadi tema sentral album ini, “Rimpang”, justru terdengar penuh harapan dan menjadi sebuah pengingat tidak ada upaya-upaya kecil yang terbuang percuma.
Nomor “Bersemi Sekebun” mengutarakan semangat yang sama namun dalam konteks yang lebih spesifik dan kelam: mereka-mereka yang ‘kalah’ ketika berhadapan dengan kekerasan dan senapan aparat pemerintah, dalam konteks demonstrasi atau ‘insiden’ lainnya. Part spoken word yang diisi oleh MC sekaligus aktivis asal Bandung, Morgue “Ucok” Vanguard, membuat pesan yang berusaha disampaikan semakin kuat:
“Tak semua seruan harus dilantangkan / Serupa 98 di depan Kodam / Dibisikkan dalam geliat temaram, yang bersenyawa dengan otam, menitipkan marwah bara pada kalam-kalam / Dalam diam menyumbang logam bagi godam / Dalam sunyi berdansa dan menanam.”
Pentingnya memupuk harapan
Bertambahnya umur kerap disertai makin banyaknya pengalaman getir pahit kehidupan. Bagi Efek Rumah Kaca, terus punya harapan hanyalah satu-satunya solusi untuk memanifestasi perubahan, menuju situasi yang lebih baik.
“Enggak ada lagi yang bisa kita lakukan selain punya harapan. Dari harapan itu kita berusaha mengubah sesuatu yang tidak terberi pada kita,” ujar Cholil, “Harapan itu emang elannya untuk kita bergerak, tinggal gimana kita menjalankan biar api-api harapan ini terus menyala dalam situasi kehidupan kita masing-masing.”
Harapan ini jugalah yang membuat ERK berhasil melalui berbagai tantangan yang dihadapi selama pembuatan Rimpang.
“Gue pindah-pindah [Jakarta – New York], itu kan situasi yang edan buat gue pribadi. Istri gue harus gini, gue harus melakukan itu, mengedepankan banyak hal. Ya udah gue gak kuliah tapi nemenin istri dan anak gue tumbuh, kalau ada waktu bikin lagu jarak jauh. Itu kan siasat agar semuanya bisa berjalan,” tutur Cholil. “Belum lagi temen-temen lain yang mungkin lagi asik ngeband, mungkin bandnya bisa menghasilkan, tiba-tiba harus berhenti. Itu mengguncang psikis kita juga.”
Rimpang menjadi saksi perjalanan dan evolusi Efek Rumah Kaca selama beberapa tahun belakangan. Di tengah semua kegelisahan dan kekisruhan yang dialami personel, ada kesadaran kolektif soal pentingnya memegang teguh harapan, dan tidak jatuh ke dalam lubang keputusasaan. Harapan-harapan ini nantinya bisa menumbuhkan harapan bagi orang lain.
“Kebaikan bisa mengakar, menular, kayak amoeba, membelah diri. Dan itu harus disebarkan,” ujar Poppie.
Yudhistira Agato adalah jurnalis lepas yang bermukim di Jakarta, fokus mengamati kancah musik Indonesia. Laporannya bisa dibaca di VICE, the Jakarta Post, serta NME. Follow dia di Twitter