Dan Ozzi, kritikus musik andalan Noisey yang sempat dijuluki sebagai Lester Bangs masa kini, menulis esai menggelitik. Merujuk tulisannya itu, Ozzi mengemukan tesis yang dijamin segera bikin kuping banyak orang panas: musik rock sudah modar. Singgasananya sekarang dibagi dua oleh hip-hop dan EDM. Saya setuju dan mengamini nyaris semua poin yang disampaikan dengan genial sama Ozzi. Hanya saja, ada satu masalah minor dari tulisan itu: argumennya tak berlaku secara global. Ada beberapa argumen Ozzi yang langsung kandas kalau diaplikasikan untuk kondisi Indonesia.
Di Indonesia misalnya, pamor rock masih cukup sehat di kalangan anak muda, walau memang perlahan “dirongrong” dua genre, tapi bukan hip-hop dan EDM seperti kata Ozi. Di blantika musik Indonesia, yang siap menjungkalkan rock adalah hip-hop dan folk. Genre yang disebut belakangan kerap jadi korban guyonan basi sebagai musiknya mereka yang doyan menikmati senja, sembari menyeduh kopi, dan bernyanyi diiringi gitar kopong di pinggir pantai.
Videos by VICE
“Folk” bahkan jauh lebih besar penetrasinya di ruang publik. Sekeras apapun kami mengabarkan bahwa hip-hop lokal—terutama yang di ranah indie—sedang asyik banget, mustahil mendengarkan single Pangalo, Insthinc, apalagi Krowbar diputar di mini market. Beda kasusnya sama folk. Kuping kalian minimal pernah sekali mendengarkan single “Zona Nyaman“-nya Fourtwnty di toko serba-ada atau dalam taksi online. Lalu, jangan lupa, tahun lalu publik sempat susah banget keluar dari cengkraman single Payung Teduh “Akad“. Tak heran bila pergelaran tahunan Folk Music Festival kembali digelar untuk keempat kalinya pada 2018 di Kota Batu, dan terus mengundang antusiasme publik. Acara tahun lalu saja dihadiri lebih dari 5 ribu penonton.
Cuma, rasanya ada hal yang lupa disinggung saat kita membicarakan genre yang meroket popularitasnya ini. Dalam kasus folk, pertanyaannya lumayan mendasar banget: apakah folk sekadar genre musik yang ditandai dengan komposisi minimalis, lirik liris dan genjrengan akustik? Bila definisinya seperti ini, boleh dong saya bertanya lebih usil lagi. Kenapa jatilan, tarling, atau koplo tidak ikut dianggap ‘folk’, bila folk itu dasarnya musik rakyat?
Supaya tidak pusing sendirian, lebih baik saya ngobrol bersama tiga musisi Indonesia yang semuanya menelurkan album bernuansa folk kental beberapa tahun terakhir. Saya meminta ketiganya berbagi definisi tentang apa itu musik folk, bagaimana seharusnya folk dimaknai publik Tanah Air, serta prediksi lanskap blantika folk lokal lima tahun ke depan.
Simak hasil wawancara singkat kami di bawah ini:
Harlan Boer (ex-Cmon Lennon, Ex-The Upstairs, Chaotic Mama, Solois)
VICE: Halo bung. Elo menganggap album-album solo Harlan Boer sebagai album folk?
Harlan Boer: Bukan, tapi bisa ada lagu bernuansa folk di dalamnya. Misalnya lagu “Kebanyakan Ngaso.” Gue sendiri awalnya memilih membuat dan merekam karya-karya itu dengan sangat mempertimbangkan kepraktisannya. Dengan begitu, kalau gue ingin merekam lagu baru, [prosesnya] jadi mudah. Dan instrumen utama yang mendukung buat gue adalah gitar akustik, karena gue bukan musisi yang mahir mengatur sound saat membuat lagu ataupun rekaman. Nah jika musik gue dianggap folk, gue enggak apa-apa. Gue akan spesifik menyebutnya indie-folk.
Menurut elo folk itu definisinya kayak gimana? Apa yang membuat sebuah lagu dikategoriasi sebagai musik folk?
Ini susah juga sebetulnya [tertawa]. Gue memaknai lagu folk yang umum dikenali sekarang sebagai lagu “rakyat.” Ada nyanyiannya. Dimainkan dengan instrumen pengiring akustik, umumnya alat musik petik akustik.
Kenapa alat musik akustik? Sepanjang dekade 1960’an, dalam kondisi sosial-politik tertentu di Amerika Serikat, muncul gelombang musisi yang tampil dengan alat musik akustik. Mereka lebih ingin bertutur mengenai kondisi saat itu. Dan itu yang kemudian menjadi seperti standar baru seperti apa musik yang dinamakan folk. Maksudnya, rakyat dalam arti bisa juga sebuah komunitas. Volume dan variasi komunalnya bisa bermacam-macam. Tapi bukan berarti tidak bisa jadi sangat personal juga.
Kalau ukurannya “lagu rakyat”, bisakah jathilan, tarling, dan musik lokal lainnya disebut folk?
Menurut gue bisa, tergantung dimainkannya gimana. Maksud gue, kalau misalnya dimainkan dengan, katakanlah, campuran untuk jazz atau industrial atau apa aja dan rasa musik tambahan itu terdengar lebih dominan, bisa jadi kita tidak menyebut itu folk. Mungkin kita akan melihat hasil akhirnya sebagai musik eksperimental atau avantgarde. Kadang kan tergantung bunyinya juga.
Terakhir nih, menurut elo dalam lima tahun ke depan, lanskap musik folk lokal bakal gimana?
Masih ada musisi baru bermunculan. Yang sudah eksis juga banyak dan akan terus bertahan. Tapi, festival besar mungkin tidak terlalu sering terjadi, karena bagaimanapun pendanaannya juga lumayan.
Haikal Azizi (Sigmun, Bin Idris)
VICE: Elo merasa menjadi bagian dari musisi folk sesudah melepas album solo?
Haikal Azizi: Gue pribadi enggak merasa begitu sih, karena album self titled kemarin buat gue sih enggak terlalu folk ya. Intensinya lebih pop walau ada beberapa track yang folk juga. Album Anjing Tua kemarin itu baru folk. Mengkotak-kotakkan diri di genre tertentu menurut gue sih nanti malah bikin susah geraknya.
Elo sendiri mendeskripsikan musik folk seperti apa?
Menurut gue, genre ini susah dijabarkan sih batasan-batasannya karena enggak cukup ditinjau dari elemen tonal atau auralnya saja. Tapi ada kaitannya dengan [kondisi] sosial kultural juga. Kayak blues khususnya, delta blues kan bisa masuk ke folk juga. Enggak menjawab ya? [Tertawa].
Santai. Kalau kita runcingkan pertanyaannya: definisi folk yang lazim dipakai orang masih berbau amerika banget enggak sih?
Lumayan, tapi yang lebih enggak enak lagi sebenarnya akhir-akhir ini kadang cuma karena mainnya pake gitar akustik langsung dicap folk. Padahal genre ini bisa luas banget.
Bisa digambarkan seluas apa?
Misalnya begini, gue merasa dangdut koplo walaupun eksekusinya elektronik tapi bisa masuk ke dalam kategori folk juga. Begitu juga musik-musik tradisi yang seringkali dimasukin ke world music menurut gue sih itu folk juga.
Musik kuda lumping juga folk dong?
Bisa jadi!
Jadi, apa saja yang menurut elo jadi penentu sebuah musik dianggap folk atau tidak?
Apa ya? Gue jadi bingung [tertawa]. Yang kebayang di kepala gue sekarang sih [folk itu] simpel, relatable. Tapi musik pop juga bisa jadi gitu.
Menurut elo, dalam lima tahun ke depan, kancah folk lokal akan seperti apa?
Ke depan kayanya tren folk lokal akan berakhir. Tapi setelah itu, yang tersisa [di kancah lokal] tinggal pemain-pemain yang true saja, macam Tigapagi, Iksan Skuter, atau Arireda.
Galih Nugraha Su (Deugalih, Deugalih and Folks, Janggut Naga)
VICE: Musik yang dimainkan Deugalih termasuk folk atau bukan?
Galih Su: Sebagian iya. Sisanya, lagu rock yang dibikin serius. Aransmennya niat dan pakai gitar kopong. Deugalih sendiri dikutuk enggak bisa lepas dari grunge. Yang pintar main musik itu teman-teman gue di band. Mereka yang bisa menjawab keinginan Galih memasukan unsur jazz dan irish pada musik. Makanya, [untuk bagian ini] elo bisa bilang itu folk.
Lantas elo memaknai musik folk itu seperti apa?
Hari-hari ini folk itu didefenisikan sebagai musik akustik, minimalis, mudah didengar, harga produksi rekamannya murah, dan pas dengan era sekarang yang enggak menuntut musisi punya album konseptual. Pokoknya, segala kriteria buat Spotify bikin playlist.
Padahal, Folk itu buat gue genre paling luas. Elo bisa main pake jazz, metal, blues rock, punk macem celtic punk, techno, industrial, eksperimental dan lain sebagainya. Syaratnya jadi folk itu cuma satu: musik masyarakat. Alias musik identitas satu kelompok masyarakat. Maka folk ya mestinya membumi dan mestinya mampu jadi musik tanpa kelas.
Jadi, elo menduga ada sedikit salah kaprah soal definisi folk saat ini?
Ada pergeseran makna aja. Sekarang, segala musik yang minimalis, akustik, dengan mudah disebut folk padahal progresi kordnya pop. Liriknya masih bisa diandalkan lah. Ada Sisir Tanah, Jason Ranti, Iksan Skuter, Sombanusa. Cuma posisi mereka jadi unik aja sekarang: anomali dari kancah folk itu sendiri. Di mata gue, penyebutan folk sekarang buat mempermudah jualan dan menentukan pasar aja sih.
Kalau elo bilang folk itu musik masyarakat, setujukah dangdut koplo disebut folk juga?
Koplo itu sah jadi musik folk secara definisi. Soalnya, dia juga punya banyak referensi dalam satu aransemen lagunya: speech, bahasa slang, kelokalan, temanya membumi seperti perceraian, putus sekolah, selingkuh, dan sebagainya. Plus ada mix genre juga. Jadi, koplo itu folk sekaligus sah disebut cutting edge.
Terakhir nih Gal, menurut elo dalam lima tahun ke depan folk di Indonesia bakal seperti apa kira-kira?
Spekulasi gue sih aman. Folk tetap ada. Tapi kalau ada kebaruan itu keajaiban sih. Kayak lahirnya Jason Ranti. Kebebasan berekspresi dalam musik menuruti algoritma serta referensi situs agregator dalam industri musik digital. Alias, ekspresinya malah enggak sebebas 10 tahun lalu.
Kalau kalian tertarik ingin mendiskusikan definisi musik folk lebih mendalam, sebaiknya sempatkan mampir ke Folk Music Festival 2018, yang digelar di Kawasan Kusuma Agrowisata, Kota Batu, Jawa Timur. Acaranya digelar 3-5 Agustus 2018. Ada obrolan soal musik folk dari timur Indonesia, pentas musisi folk ternama macam Jason Ranti, Tigapagi, Pusakata, serta diramaikan pula musisi lintas genre macam Danilla, Mondo Gascaro, hingga Fourtwnty. Berbagai topik soal kebudayaan juga ada di sini. Kalian bisa nonton pertunjukan boneka, diskusi literasi, serta membahas bisnis media digital bareng VICE di lokasi acara.
Info lebih lengkap, silakan klik situs resminya atau mampir ke akun instagram Folk Music Festival.