Entertainment

Upaya Zine ‘Buah’ Menyatukan Diaspora Indonesia

Teta Alim, pendiri Buah Zine

Buah adalah zine daring menjelajahi persilangan identitas yang dialami oleh orang-orang Indonesia di luar negeri. Zine ini dimulai oleh Teta Alim, penulis 26 tahun yang saat ini tinggal di Washington D.C, Amerika Serikat. Buah mengajak kita memahami perjuangan internal dan eksternal yang diaspora Indonesia alami di mana pun mereka berada.

Subjek-subjek yang muncul di majalah Teta mewujudkan semangat kebhinekaan. Topik wawancaranya menjangkau banyak sektor. Narasumbernya sering menantang persepsi arus utama soal apa artinya menjadi orang Indonesia di era serba politik identitas nasionalis ini. Satu hal pasti yang sama-sama dimiliki adalah perasaan saling terhubung dengan warisan budaya mereka.

Videos by VICE

VICE meminta Teta menceritakan bagaimana petualangan pribadinya sebagai orang Indonesia yang tinggal di AS membuatnya tergerak untuk menelurkan Buah dan menjelaskan persilangan identitas yang digali dalam majalah ini.

VICE: Hai, Teta! Terima kasih sudah mau ngobrol denganku. Mulai dari yang gampang saja ya. Di mana kamu lahir dan di manakah yang kamu anggap sebagai rumah?
Teta Alim:
Pertanyaan gitu mah susah atuh! [tertawa]

Aku lahir di Jakarta, tapi keluargaku pindah ke AS waktu aku masih enam bulan. Kami pindah ke Ithaca, New York. Aku tinggal di sana sampai aku 18 tahun. Agak sulit menentukan mana yang aku sebut rumah. Aku pengin bilang Jakarta karena keluarga besarku semuanya tinggal di sana, kecuali orang tua dan kakak laki-lakiku, tapi aku besar di Ithaca.

Bagaimana rasanya tumbuh sebagai orang Indonesia di Ithaca?
Ayahku dulu kuliah di Cornell ketika kami pertama kali pindah. Universitas ini memiliki prodi studi Indonesia. Kalau kamu tahu soal Cornell Paper yang diterbitkan pada 1960-an lalu, Benedict Anderson juga kuliah di sana. Bukan hal aneh kalau bertemu orang Indonesia di Ithaca. Ada komunitas pelajar Indonesia juga di sana, tapi kebanyakan dari mereka pulang ke Indonesia setelah lulus. Pada akhirnya, cuma keluargaku yang tetap berada di Ithaca. Waktu SD dulu, banyak temanku yang orang Indonesia. Tapi lama-lama mereka menghilang ketika aku masuk SMP dan SMA.

Dari semua pengalaman wawancaramu untuk zine, bagaimana diaspora Indonesia yang tinggal di luar negeri memandang identitasnya?
Sangat menarik karena biasanya tergantung pada bagaimana mereka dibesarkan dan bagaimana keluarga mereka memperlakukannya. Faktor terbesarnya yaitu alasan mereka pindah ke negara lain. Mereka yang pindah saat kerusuhan ‘98 alasannya akan berbeda dari mereka yang pindah karena orang tua melanjutkan pendidikan. Orang yang hubungannya kurang baik dengan orang tua mungkin enggak akan tertarik pada aspek itu sendiri. Enggak ada salahnya juga kalau seperti itu.

Aku sering memperhatikan kalau orang-orang biasanya mencari tahu sendiri [sejarahnya], atau maksa orang tua untuk menceritakannya. Generasi yang lebih tua mungkin agak risih atau enggak terbiasa membahasnya. Untungnya, keluargaku cukup terbuka dan enggak menghindar dari sejarah dan isu-isu di masa lalu.

Jadi menurutmu Buah itu zine kayak apa sih?
Buah Zine adalah wadah bagi orang-orang yang ingin lebih memahami sejarahnya di mana pun mereka berada. Aku merasa enggak pernah berhenti belajar soal asal-usulku. Banyak yang belum kuketahui (latar belakangku Jawa, Gayo, dan Sunda). Aku paham soal Jawa dan Sumatra, tapi enggak terlalu mengerti soal Kalimantan atau Sulawesi. Sejarah Indonesia enggak ada habisnya untuk dibahas. Dalam hal kolonialisme, ada begitu banyak hal pelik yang belum dibahas. Banyak isu di masa lalu yang perlu dihadapi sebelum kita menentukan masa depan.

Di negara kita sekarang sedang marak semangat nasionalisme dan pembentukan “identitas” nasional. Apa opinimu mengenai ide ini sebagai seseorang yang udah pernah tinggal di luar negeri dan dibesarkan dengan identitas kebudayaan berbeda?
Jadi, alasan aku lebih memilih istilah “warisan Indonesia” dan bukan “orang Indonesia” itu karena aku ingin memisahkan diriku dari istilah yang terkait dengan perbatasan negara dan identitas yang tertera di paspor. Kita kan menyerap perbatasan ini dari zaman kolonial, padahal sebenarnya mereka enggak masuk akal pada masa kini.

Aku jelas bangga banget sama keturunanku karena itu asal-usulku dan sumber banyak nilai yang aku anut.. Tapi aku juga kurang tertarik sama retorika nasionalis—misalnya istilah “pribumi.” Isilah itu sangat problematis dan dapat dilacak ke hirarki rasial pada zaman kolonial.

Ini menarik karena Indonesia kerap koar-koar soal keberagamannya, tapi jarang mewujudkan ideal tersebut. Nyatanya menjadi anggota agama minoritas atau etnis minoritas enggak gampang. Dengan Buah, aku pengin menunjukkan bahwa keberagaman itu bukan hanya di permukaan, tapi merupakan realita dalam sebuah negara yang saking beragamnya, definisi “kebudayaan Indonesia” jatuh di luar kriteria Jawa.

Seperti apa perjalanan pribadimu sebagai orang Indonesia yang tinggal di AS mempengaruhi ide soal Buah dan persilangan identitas yang diwakili dalam konten zine ini?
Perjalanan hidupku pasti telah mempengaruhi Buah. Aku selalu berusaha untuk enggak berfokus hanya pada AS. Aku melakukan wawancara dengan orang Indonesia yang pernah tinggal di Inggris, Hong Kong, dan Australia, yang memberiku perspektif-perspektif berbeda tentang besar di luar negeri. Sebelum aku menciptakan Buah, aku enggak melihat ada wadah untuk membahas warisan Indonesia di luar Indonesia dan aku menunggu seseorang yang akan membuatnya. Waktu aku lihat masih belum ada apa-apa, yaudah aku yang buat.

Kayak yang aku tadi bilang, aku keturunan Jawa dan Sumatra, dan aku dibesarkan sebagai orang Islam, jadi bagiku penting banget memberi suara kepada orang dengan agama berbeda atau bahkan orang yang enggak beragama. Bagiku juga penting untuk meluangkan tempat untuk anggota komunitas LGBT untuk menegaskan adanya orang Indonesia yang gay, dan konsep ini tuh enggak revolusioner, tak peduli apa yang dikatakan pemerintah. Kalau kamu orang Indonesia yang gay, aku ingin kamu tahu kamu bukan satu-satunya. Ada komunitas dan kamu enggak perlu merasa sendirian.

Interseksionalitas adalah elemen sentral dalam zine-mu yang membedakannya dari publikasi lain tentang diaspora Indonesia. Bagaimana kamu mengakurkan pengalaman-pengalaman orang Indonesia LGBT yang tinggal di luar negeri dengan persepsi umum seperti apa orang Indonesia seharusnya, terutama dari sisi agama?
Aku masih menganggap diriku sebagai orang Islam, dan agamaku enggak pernah menghalangi pergertianku bahwa manusia itu beragam. Aku berterimakasih kepada ayahku karena mengajariku Islam yang inklusif. Aneh sih, karena Islam pada dasarnya udah inklusif, tapi realitanya Islam biasanya enggak dipraktekkan kayak gitu. Waktu aku pertama kali mulai mempelajari Qur’an, bagian tentang keadilan paling penting buatku, jadi aku sedih melihat percakapan yang hanya tentang “dia boleh punya berapa istri?” Nafsunya dikontrol, dong. Emang pertanyaan ini pentingnya apa? Seharusnya kita bertanya bagaimana kita bisa membantu orang lain atau enggak menyakiti orang lain. Aku mempelajari Islam dari sisi keadilan dan merawat komunitas, dan komunitas itu biasanya jauh lebih luas daripada yang kamu sangka.

Aku pernah ditanya beberapa laki-laki apakah mereka boleh berbicara di majalahku karena aku mewawancarai banyak perempuan dan orang non-biner. Aku bukannya mau batas-batasin, tapi aku memang dekatnya sama perempuan dan orang non-biner. Kalau ada lebih banyak laki-laki yang tertarik, bagus dong! Aku pengin mendengar perspektif mereka karena akhir-akhir ini aku sering memikirkan arti kejantanan dari sudut pandang Indonesia.

Apa rencanamu untuk Buah di masa mendatang?
Sejujurnya, aku ingin mengunjungi tempat dimana ada komunitas diaspora Indonesia yang besar, kayak Suriname Belanda, Afrika Selatan, dan Belanda, karena tempat-tempat itu merupakan bagian dari sejarah kita yang jarang didiskusikan. Aku pengin belajar lebih banyak tentang komunitas-komunitas ini dan menyusun pengalamanku sehingga gampang diakses.

Yang aku sadari melalui wawancara yang kulakukan adalah bahwa warisan Indonesia sangat terhubung dengan kemampuan berbicara bahasa Indonesia, tapi ada banyak orang keturunan Indonesia yang enggak bisa Bahasa Indonesia. Aku ingin Buah menjadi situs dua bahasa; aku ingin bisa menerjemahkan wawancara yang dilakukan dalam Bahasa Inggris ke Bahasa Indonesia dan sebaliknya agar dapat diakses lebih banyak orang.

Kalian bisa membaca beberapa contoh artikel dan wawancara di Buah lewat tautan berikut:

Buah akan dijual di Bandung Zine Fest pada 24 November. Versi online dari zine ini bisa kalian baca di sini .

Hubungi Teta lewat Instagram atau situs pribadinya.