media sosial

Kalian Ngerasa Feed Instagram Makin Ga Enak Dilihat? Ternyata Ini Alasannya

Model sekelas Cara Delevingne pun jadi suka nyampah di Instagram. Ternyata ada penjelasan kenapa feed para pengguna nampak berantakan.
Daisy Jones
London, GB
Foto sepiring mi dan kantong plastik dari Instagram penulis. Foto: Daisy Jones
Foto sepiring mi dan kantong plastik dari Instagram penulis. Foto: Daisy Jones

Feed Instagram kita dulu dipenuhi selfie estetik di museum, pemandangan matahari terbenam, atau secangkir teh menemani buku yang halamannya terbuka. Tak ada tempat bagi foto nge-blur atau selfie dengan senyum KTP yang filternya “alay”. 

Tapi anehnya, belakangan ini, banyak artis dan selebgram yang sengaja membuat konten mereka sejelek mungkin. Beberapa temanmu bahkan ikut memposting foto-foto yang tidak menarik sama sekali. Tumpukan sampah, makanan jatuh di jalanan dan shitpost mendadak ngetren. Aktris The Crown Emma Corrin, misalnya, tampak berpose konyol di salah satu slide fotonya. Selain itu, Cara Delevingne mengunggah foto peta mobil beresolusi rendah.

Iklan

Jane Macfarlane, penata seni untuk agensi kreatif The Digital Fairy, berpendapat gaya “anti-estetik” ini merupakan perkembangan alami dari “photo dump”, tren berbagi serangkaian foto yang mengabadikan kehidupan sehari-hari selama pandemi.

“Photo dump mengabadikan momen-momen berantakan atau apa adanya dalam hidup kita, hal-hal yang kita kurang hargai sebelum pandemi,” ujarnya. “Sejak pandemi, photo dump menjadi anti-estetik, dipenuhi meme dan tangkapan layar.”

Pertanyaannya, mengapa pengguna Instagram senang dianggap aneh sekarang? Kenapa mereka tak lagi memedulikan bagus tidaknya feed di media sosial?

MacFarlane menduga ini bukan “tren” semata, melainkan pertanda cara kita menggunakan internet telah berevolusi. Anak muda, khususnya, tampak lebih menghargai keaslian daripada memoles keberadaan online sesempurna mungkin.

“Orang terbiasa dengan platform seperti TikTok, yang gaya kontennya lebih mentah dan individualistis,” terangnya. “Estetika Insta yang dulu menguasai hidup kita sudah tidak relevan, sedangkan konten anti-estetik berantakan memberikan sensasi menolak *feed goals* tradisional.”

Mark Bage, CEO agensi Not Studio, mengamini bahwa konten jelek ini mengisyaratkan keinginan seseorang untuk lebih individual dan autentik. “Anti-estetik yang disengaja menunjukkan referensi berlapis, guyonan dan semangat anarkis yang sulit dipalsukan,” Bage memberi tahu VICE. “Tapi citra bisnis atau personal kamu aman dari tukang plagiat atau asimilasi.”

Iklan

Namun, sulit untuk menyangkal bahwa gaya anti-estetik bukan termasuk estetika yang dipertimbangkan dengan cermat. Banyak postingan semacam ini terlihat aneh, tidak masuk akal atau tidak menarik — tapi kita tidak benar-benar bisa menyebutnya jelek. Alih-alih foto dagu terlipat, yang kita lihat justru orang-orang atraktif yang makeup-nya tidak kentara. Seseorang mungkin mengunggah selfie cermin yang di-zoom, tapi pakaian mereka tetap modis. Bagi MacFarlane, anti-estetik menjadi cara baru memamerkan “hidup gue tetap keren dan menarik meski gue terlihat aneh dan tanpa filter.”

Perlu diingat konten anti-estetik tak cuma ditemukan di Instagram, tetapi juga platform lainnya. MacFarlane mengatakan, kita bisa menyaksikan keburukan rupa di mana saja, dari sandal Crocs sampai “makeup kantong mata” di TikTok.

“Mengadopsi apa yang dulunya dianggap jelek kini bisa membuat kita merasa seperti membangkang dan tampil apa adanya,” imbuhnya. “Dengan teknologi, kita terus mencari cara yang lebih lo-fi (berkualitas rendah) untuk menangkap konten: Orang-orang kembali menggunakan kamera depan mereka, memperbesar foto semaksimal mungkin dan bahkan membeli kamera digital murahan untuk menurunkan kualitas konten mereka.”

Software engineer Dylan Holden-Sim sering shitpost dan berbagi meme di Instagram-nya. Lelaki 22 tahun itu berujar, meskipun estetikanya disengaja, ini tetap berlawanan dengan konten yang dipoles di masa lalu.

Iklan

Akan tetapi, menurutnya, “anti-posting masih berada dalam kerangka transaksional penggunaan Instagram — aku masih memperhatikan berapa banyak orang yang menyukai shitpost-ku. Bagi para anti-poster, Instagram masih berperan sebagai CV sosial ditambah label ‘GUE BUKAN NORMIE’.”

J Whitehead, 26 tahun, jarang mengunggah selfie. Perempuan yang berprofesi sebagai penguji video game itu lebih tertarik memposting sampah berserakan, burung di asbak atau kentang goreng yang jatuh ke jalanan. “Feed yang terkurasi dengan sempurna dan apik terasa palsu,” tuturnya. “Menerima dan menyoroti keburukan dunia menciptakan keaslian.”

Dia sengaja mencari hal-hal aneh untuk diunggah ke internet. Menurutnya, ini jauh lebih seru daripada memilih palet warna yang sempurna dengan cermat. “Saya rasa saya terpikat dengan upaya yang minimal,” J mengutarakan. “Ada lebih banyak waktu untuk hadir di dunia. Keinginan menikmati dunia inilah yang ditampilkan dalam feed-ku.”

Terlepas apa alasan “feed jelek” bisa populer, Bage melihat fenomena ini sebagai pemandangan segar, yang mana “orang-orang kreatif merangkul keburukan sebagai bentuk budaya tandingan dan tempat berkembang biaknya ide-ide baru di ruang yang semakin homogen.”

Jadi kira-kira begitu. Feed putih bersih atau serba hijau sudah basi. Sekarang waktunya kamu memamerkan sisi terjelekmu, kayak makan belepotan (tapi tetap cakep) misalnya?

@daisythejones