Internet

Makin Banyak Konten di TikTok Ciptakan Ketakutan Tak Masuk Akal Bagi Penontonnya

Konten memanfaatkan rasa takut mulai agak berlebihan di TikTok, dari soal resesi sampai isu pelecehan CCTV. Penonton bisa berpikir dunia sekarang benar-benar tidak aman.
KC
Queens, US
Tren konten tips perlindungan diri di TikTok memicu ketakutan berlebihan
Kolase oleh Cathryn Virginia

Setiap kali buka TikTok, saya biasanya akan disambut video kucing, komedi singkat dan cuplikan anime di laman For You. Tapi belakangan ini, saya memperhatikan sebuah genre baru yang lumayan ramai di platform tersebut, yang sayangnya kurang menyenangkan untuk ditonton. Mayoritas kontennya tentang menghindari bahaya, seperti memastikan tidak ada kamera pengintai di kamar hotel atau mengenali tanda-tanda penjahat kelamin.

Iklan

Peminat video semacam ini cukup besar di kalangan anak muda Amerika Serikat, sampai-sampai beberapa pengguna TikTok membuat akun khusus berbagi tips dan trik melindungi diri dari segala ancaman. Namun, tak jarang sarannya terdengar membingungkan.

Saya pribadi sulit menemukan di mana letak bahayanya, dan hubungan tindakan tertentu dengan risiko diculik untuk dijadikan budak seks. Contohnya video-video ciptaan @Telaboy314, yang mencoret colokan listrik dengan spidol saat menginap di Airbnb. Dia bilang dia paranoid, tapi tidak memberi tahu hal yang membuatnya takut dan apa yang akan ditemukan jika melakukan itu.

“Semuanya berawal dari video diriku memeriksa cermin. Saya kira videonya tidak akan viral,” tutur pemuda itu. “Pas saya cek tahu-tahu sudah ditonton lima juta kali. Saya pernah viral di YouTube sebelumnya, tapi tidak memanfaatkan kesempatan itu. Jadi saya berprinsip, kalau suatu saat viral lagi, saya takkan menyia-nyiakan peluang.”

Video bertagar #safetytips telah mengumpulkan lebih dari dua miliar tayangan di TikTok, sedangkan #safetytipsforwomen telah ditonton lebih dari 90 juta kali. Seperti yang sudah saya sebutkan di atas, sebagian besar saran yang diberikan tidak masuk akal sama sekali. Oke, saya masih bisa mengerti jika videonya memperingatkan kita untuk mencari kamera tersembunyi di toilet. Faktanya, banyak orang nakal memasang kamera tersembunyi untuk melecehkan perempuan, baik di fasilitas umum maupun tempat tertutup seperti kamar hotel. Permasalahannya adalah kebanyakan video di TikTok memberikan saran-saran aneh, seperti memeriksa cermin ala @Telaboy314. Dia mengatakan, kita harus memastikan cermin di kamar hotel satu arah atau bukan. Memangnya kalau satu arah kenapa? Itu menandakan apa? Apa yang akan terjadi? Dia tidak pernah menjelaskannya.

Iklan

Pengguna TikTok lain mengklaim jika kamu melihat benda asing di kaca depan mobil (padahal sebelumnya tidak ada), maka itu artinya seseorang hendak menculikmu. Bahwa kamu akan dijadikan korban perbudakan seks. Yang tidak mereka sadari adalah kasus penculikan dan perdagangan seks untuk dijadikan budak seks sangat kompleks dan tidak sesimpel itu. Bagiku, contoh ini lebih terlihat seperti tindakan orang iseng. Namun, kemunculan video-video tersebut secara tanpa sadar akan menimbulkan ketakutan yang tidak semestinya.

Ada orang yang menikmati konten mengerikan, meski mereka takut-takut saat menontonnya. Menurut Medical News Today, hal ini bisa terjadi karena tanda-tanda fisik yang muncul saat mengalami ketakutan, seperti jantung berdebar, akan melepaskan gelombang kenikmatan dalam tubuh. Saat menyaksikan konten seram, ketakutan yang kita rasakan terkendali. Kita takut melihatnya, tapi sadar diri kita tidak dalam bahaya.

Awal Oktober lalu, seleb TikTok @JanelleandKate, yang terkenal bikin konten prank, mengunggah kompilasi video tentang tanda-tanda kamu menjadi sasaran penculik. Katanya, kamu harus segera mencari perlindungan jika melihat uang terselip di kaca depan mobil, tas tergeletak di kolong mobil, atau posisi troli mendadak berubah. Katanya, ada penjahat bersembunyi di dekatmu dan mereka siap menculik kamu. Dari pembawaannya saja sudah mirip konten prank yang konyol, tapi nyatanya video tersebut telah mengumpulkan 1,8 juta suka. Beberapa bahkan berkomentar skenario semacam itu memang menjadi ketakutan terbesar mereka. Tapi menariknya, ketika video itu diunggah ke Instagram, platform tersebut menandai video sebagai “informasi palsu”.

Iklan

Megan Cutter, direktur Hotline Nasional Perdagangan Orang di Amerika Serikat, sudah berulang kali menyaksikan rumor seputar cara pelaku perdagangan orang menargetkan korbannya. “Banyak video hoaks yang bermunculan di tahun pertama pandemi,” terangnya. “Dalam kasus perdagangan orang, niat mereka baik, tapi mereka keliru soal mekanismenya.” 

Laporan yang diterbitkan Polaris Project pada 2020 menunjukkan, pelaku perdagangan orang kerap sudah mengenal baik korban—39 persen pasangan, 42 persen anggota keluarga. Tidak ada data yang menunjukkan penculikannya dilakukan orang asing yang belum pernah kita temui sebelumnya.

Cutter menyebut meski banyak skenario dalam video menggambarkan situasi berbahaya, kita akan mengaburkan realitas isu perdagangan seks apabila memperlakukan setiap interaksi dengan orang asing sebagai tanda bahaya hanya karena kita merasa kurang nyaman.

“Dengan menganggap kasus perdagangan orang terjadi secara random, kita mengabaikan kerentanan yang terlibat di dalamnya,” kata Cutter. Ada sejumlah masalah sistemik yang membuat orang rentan menjadi korban perdagangan seks, seperti tunawisma, penyalahgunaan zat-zat terlarang, orientasi seksual dan ras. “Tips viral di TikTok tidak benar-benar membantu orang menjadi lebih aman.”

Lantas, mengapa video sejenis ini makin banyak beredar di TikTok? Menurut Jeff Hancock, direktur Social Media Lab di Stanford University yang mendalami aksi penipuan, ini ada kaitannya dengan persepsi kita tentang kebenaran di media sosial. Cara kita menentukan mana informasi yang benar dan palsu berbeda-beda tergantung platformnya. Itulah sebabnya hoaks mudah tersebar luas di medsos.

“TikTok didesain agar kita bisa berinteraksi dengan orang tanpa berhubungan langsung di dunia nyata,” ujarnya. “Misalkan kita berdua punya hubungan di dunia nyata dan kamu mengetahui saya telah berbohong, hal ini akan merusak reputasiku. Tapi di TikTok, reputasi saya akan aman dan hubungan tidak akan rusak karena kita tidak pernah bertemu langsung.”

Selain itu, membuat kebohongan tentang hal yang terjadi sehari-hari lebih mudah dipercaya daripada topik-topik serius, karena kita tidak gampang curiga dengan apa yang kita konsumsi di medsos. “Saya harus waspada saat membicarakan politik di internet,” Hancock melanjutkan. “Tapi saat saya membuka TikTok untuk mencari katakanlah tips melindungi diri, saya akan langsung percaya karena itu terlihat seperti hal yang mungkin terjadi pada semua orang.”

Pada akhirnya, memanfaatkan rasa takut sebagai konten akan menciptakan paranoia yang lebih parah, sehingga orang-orang akan berpikir dunia ini benar-benar tidak aman. Terlepas dari niatnya yang baik, disinformasi yang mengandalkan ketakutan akan semakin membuat kita jatuh ke dalam jurang “attention economy”. Perhatian kita menjadi semacam komoditas bagi segelintir orang.