Arisan di TV Sosialita Berubah dari Sarana Pamer jadi Ajang Bully
Kolase foto dan ilustrasi oleh Ilyas Rivani.

FYI.

This story is over 5 years old.

Televisi

Arisan di TV Sosialita Berubah dari Sarana Pamer jadi Ajang Bully

Sudah dandan cantik-cantik, sama netizen malah dibilang mirip kuntilanak. Kami berusaha memahami alasan TV Indonesia memproduksi acara macam ini.

Usai menyewa sebuah ruangan privat di restoran kawasan Senopati, anggota perkumpulan arisan yang mereka sebut "Mami Mami Narsis" datang mengenakan pakaian glamor yang menarik perhatian siapapun. Hari itu peserta arisan memilih hanfu sebagai tema arisan. Hanfu adalah pakaian adat Cina pada abad dari dinasti lampau, lengkap dengan riasan dan tatanan rambut super cetar sebagai dresscode. Satu per satu anggota memasuki restoran layaknya melakoni fashion show.

Iklan

“Hari ini seru sih, kita bakal banyak games, kita udah panggil MC juga nanti hadiahnya bagi-bagi angpau sama makan dan minum wine,” kata Julia kepada anggota grup arisan lainnya.

Kira-kira itulah bayangan hal yang akan dilakukan perkumpulan arisan ini. Selama 30 menit, tayangan yang disiarkan salah satu stasiun televisi swasta milik konglomerat Harry Tanoesoedibjo tersebut, merekam “keseruan” dan momen haha-hihi orang-orang berpenampilan kaya yang anggotanya didominasi perempuan. Kegiatannya ya tak jauh dari arisan, makan-makan, sambil foto-foto dengan pakaian terbaik mereka.

Dwi Yanti, seorang pebisnis sekaligus salah satu anggota arisan hari itu mantap berpose dalam sesi foto sambil menenteng Hermes Birkin warna biru. Iya, tas yang yang untuk mendapatkannya saja minimal harus masuk daftar tunggu selama setahun atau bolak-balik markas Hermes di 24 rue du Faubord Saint-Honore dan merogoh ratusan juta rupiah. "Aku make up sama Teja, semua udah dari dia semua. Sepatu kebetulan aku pakai Loubo (merujuk pada merk sepatu yang terkenal dengan sol merahnya itu, Loubotin), bag-nya pakai Hermes."

Itu baru sesi pakaian apa yang dikenakan, sesi lainnya di program Social Club ini menampilkan empat anggota yang sepertinya diatur sedemikian rupa dalam pose berjejer dan kemudian diminta mengobrol di depan kamera. Jauh dari natural. Mereka berdiri di depan kamera sambil ngomongin kostum masing-masing.

Iklan

"Akhirnya jadi juga ya pesta pesta tema emperor. Kamu dari dinasti mana?" ujar salah satu anggota kepada yang lainnya.

"Aku dinasti Ming deh kayaknya," jawab yang lainnya.

“Kalau aku sih Minangkabau,” yang langsung diserbu tawa jaim dari yang lainnya.

Acara semacam ini ramai di televisi, setidaknya di media MNC saja ada beberapa program yang membahas soal kegiatan kelompok yang biasanya dilabeli “sosialita”. Dulu TV One pernah punya program Socialite yang pernah memicu kontroversi karena menampilkan acara amal sosialita settingan. Di youtube, ada juga kanal khusus yang membahas khusus tentang kehidupan para sosialita seperti Sosialita Socialite, Sosialita TV, atau Jakarta Socialite. Tak jarang para penontonnya dibikin geleng-geleng kepala, dan bertanya-tanya “berapa sih penghasilan mereka?”

Yanti Mulyanti, 38, seorang guru di Bogor cukup sering menonton acara tema kumpul-kumpul sosialita lewat televisi kabel. Dirinya tentu saja bukan bagian dari kelompok sosialita, tapi entah zat adiktif apa yang membuatnya sebagai kelas menengah ketagihan ingin tahu kegiatan senang-senang orang kaya.

“Suka pengen tahu aja. Penasaran sama gaya mereka pakai bajunya merk apa, perhiasannya apa, dandanannya yang cetar. Terus kadang gue suka mikir mereka kerjanya apaan ya?” ujar Yanti kepada VICE. “Aku sih lebih ke yaudahlah ya emang enggak akan kebeli juga gaya hidup begitu jadi ya kadang aku senyam-senyum aja lihat kelakuan orang kaya.”

Iklan

Mendengar yang Yanti katakan bikin aku bertanya-tanya, untuk siapakah program tersebut ditayangkan? Untuk para kelas menengah bawah sehingga mereka bisa bebas bermimpi menjadi kaya dan konsumtif, kemudian kembali pada realita dan sepuas hati menertawakan tak masuk akalnya tingkah polah orang kaya? Atau justru tayangan tersebut dibuat oleh konglomerat [media] untuk memenuhi hasrat eksistensi dan narsisisme kelompok elite lingkaran mereka sendiri?

Yovantra Arief dari lembaga peneliti lembaga pemantau media Remotivi menyebut tayangan tersebut sepertinya memang ditujukan untuk kaum kelas atas. Terbukti dari kanal penayangannya yang hanya bisa diakses lewat TV kabel. Namun tentunya tidak menutup kemungkinan bagi kalangan menengah dan bawah turut menyaksikannya. Yovantra justru tertarik pada kolom komentar acara sosialita yang diunggah di youtube. Komentar yang ada justru didominasi oleh kritik dan kesan bahwa penonton bukanlah sasaran utama program tersebut.

“Aspek yang menarik justru banyak orang yang komentar, yang justru malah memperlihatkan kesenjangan atau kecemburuan sosial,” ujar Yovantra kepada VICE. “Yang justru akan muncul adalah kecemburuan dan bahkan kebencian terhadap orang-orang tersebut,” katanya. Tengok saja komentar-komentar netizen yang ada di kolom tanggapan di bawah video. Cum segelintir saja yang kasih komentar serius. Sisanya kalau bukan mem-bully ya menghakimi.

Yovantra juga mengkhawatirkan kemasan program yang secara konsisten menampilkan citra orang kaya berasal dari golongan ras, agama, atau bahkan dari gender tertentu. Hal ini bisa melanggengkan sentimen negatif suatu kelompok.

Iklan

"Kadang ada sentimen tertentu dalam komentar, misalnya ‘orang-orangnya kebanyakan enggak pakai kerudung," ujarnya. "Mungkin yang bikin enggak menyangka akan ada yang komentar seperti itu, tapi karena ditaruh di YouTube, semua orang jadi bisa nonton, termasuk mereka yang di luar target pasar. Itu bisa jadi memperburuk."

Bisa dibayangkan, dalam satu unggahan video saja ada beragam komentar dengan tendensi misoginis, rasis, dan pelabelan identitas agama tertentu. Bahaya ini ditengarai juga oleh Sosiolog dari Universitas Padjadjaran, Yusar Muljadji.

Gambaran perempuan dalam program-program sosialita yang menampilkan dua sisi mata uang yang berlawanan. Di satu sisi perempuan bisa digambarkan sebagai sosok berdaya, mampu berbisnis dan sukses dalam karir dan keluarganya. Namun di sisi lain, tayangan ini memperkuat prasangka bahwa hanya perempuanlah yang doyan menghamburkan uang dalam acara hura-hura dan belanja barang adibusana.

Lebih jauh ia menyebut bahwa citra perempuan dalam tayangan ini sedang dipertaruhkan. "Harus diakui bahwa perempuan pada umumnya adalah objek dari konsumerisme kapitalistik mutakhir," kata Yusar ketika dihubungi VICE.

Ya, kalau buat kita sih, sebelum bermimpi terlalu jauh berfoto menenteng tas Birkin Hermes buaya putih dan berfoto di dalam jet pribadi menuju Las Vegas… ada baiknya kita segera kembali pada kenyataan untuk kemudian kita tertawakan diri sendiri…

Ngapain sih gue nonton acara ginian?