FYI.

This story is over 5 years old.

Hukum Indonesia

Andai Abu Bakar Ba'asyir Bebas Karena 'Kemanusiaan', Negara Wajib Peduli Napi Lansia Lainnya

Sejauh ini ada 4.408 narapidana lanjut usia di berbagai lapas. Beleid anyar Menkumham harus adil pada mereka, jika tak mau sikap plin-plan soal Ba'asyir dianggap manuver politik belaka.
Abu Bakar Ba'asyir, terpidana terorisme dan pendiri Jamaah Islamiyah
Abu Bakar Ba'asyir saat menjalani pengadilan atas dugaan terorisme di Cilacap. Foto oleh Darren Whiteside/Reuters

Kondisi kesehatan Abu Bakar Ba'asyir, ustaz yang kerap tersangkut dan dianggap bagian dari jaringan teror di Tanah Air, menurun setahun terakhir. Dia sudah 81 tahun, jelas wajar bila mulai sakit-sakitan. Berjarak 574 kilometer dari tempat Ba'asyir ditahan, ada Ruben Peta Sambo. Dia narapidana pembunuhan berencana berusia 77 tahun yang kini ditahan di Lembaga Pemasyarakatan Lowokwaru, Kota Malang, Jawa Timur. Seperti Ba'asyir, panca indera Ruben menurun jauh. Dia berulang kali harus dirujuk ke fasilitas medis dalam lapas.

Iklan

Tapi sepekan belakangan, nyaris semua media membicarakan Ba'asyir yang bersiap bebas, sementara Ruben tak dikenal sama sekali. Perbedaan nasib mereka dipicu kebijakan negara, dan karena itu polemik bermula. Semua akibat kebijakan yang diniatkan atas alasan "kemanusiaan."

Tiga bulan menjelang Pemilu, Presiden Joko Widodo tersandung kontroversi terkait rencana pembebasan narapidana kasus terorisme Abu Bakar Ba’Asyir—yang terakhir kali ditahan karena terbukti membidani gerakan Al-Qaedah di Aceh pada 2010 lalu. Label negatif kadung melekat pada Ba'asyir, sebagai otak di balik kerusuhan Poso, Aceh, hingga Bom Bali.

Pengacara Presiden Yusril Ihza Mahendra, mengaku diminta Jokowi mencari solusi hukum pembebasan Ba'asyir, atas alasan kemanusiaan. Saat dikonfirmasi wartawan pekan lalu, Jokowi pun membenarkan kalau rencana pemberian grasi adalah gagasannya. "Ini kan sisi kemanusiaan, yang juga saya kira untuk semuanya. Kalau ada yang sakit tentu saja kepedulian kita untuk membawa ke rumah sakit untuk disembuhkan," kata Presiden Jokowi pekan lalu, dilansir BBC.

Motif tersebut menyulut kritik, dari semua sisi. Kubu oposisi menilai keputusan Jokowi semata-mata hanya untuk kepentingan politis menarik simpati pemilih dari golongan Islam intoleran. Sementara sebagian pendukung Jokowi, yang menolak segala jenis terorisme, mengecam keras keputusan pemerintah. Belum lagi protes dari korban Bom Bali, serta Australia, yang harus kehilangan 88 warganya karena aksi terorisme di Pulau Dewata.

Iklan

Alasan kemanusiaan pun, seperti disodorkan Jokowi, menurut pengamat hukum bermasalah. Narapidana yang telah menapaki usia senja bukan hanya ustaz yang akrab disapa ABB itu. Hingga akhir Oktober 2018, terdapat 4.408 narapidana lanjut usia yang butuh penangan khusus. Sayangnya, mereka tidak memperoleh pengampunan serupa.

Iftitahsari, Peneliti dari Institute For Criminal Justice Reform menyoroti perbedaan perlakuan bagi tahanan sepuh seperti Ruben, yang telah disinggung sebelumnya. Jika Ba'asyir memperoleh keringanan untuk berobat, kenapa Ruben tidak? Ruben bahkan masih tercatat dalam daftar antrean eksekusi hukuman mati yang telah dinantinya 12 tahun belakangan.

Bagi Iftitahsari, wacana tentang perlakuan terhadap narapidana yang telah berusia lanjut idealnya merujuk standarisasi internasional. "Jika pembebasan ini bisa untuk Abu Bakar Ba’asyir, semestinya applicable buat narapidana berusia lanjut lainnya, dong?” ujarnya saat dihubungi VICE.

Menurut kajian ICJR, pemerintah belum memiliki landasan hukum yang jelas untuk membebaskan narapidana lansia. Makanya pembebasan Abu Bakar Ba’asyir justru dapat menjadi potret diskriminatif. Seakan sadar atas potensi kritikan tersebut, Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly Selasa (22/1) mengesahkan peraturan menteri soal narapidana lansia. Dalam beleid itu, tahanan berusia lanjut akan ditempatkan di lapas berbeda yang manusiawi dan memiliki fasilitas kesehatan memadai.

Iklan

"Inginnya kita dibuat Lapas khusus lansia, inginnya kayak ada sekarang, kita tetapkan satu di Serang," kata Laoly, yang mengelak saat ditanya media apakah peraturan menteri ini dipicu sorotan atas grasi Ba'asyir.

Permenkumham menurut Iftitahsari belum menyelesaikan masalah seputar Ba'asyir. "Ini sebenarnya merupakan momen sekaligus pertaruhan bagi pemerintah. Mula-mula harus ada landasan hukum yang jelas, dan undang-undang yang mengatur masalah ini," kata Iftitahsari.

Setelah banjir kritikan, sikap pemerintah segera berbalik arah. Dari awalnya tegas menyatakan Ba'asyir segera dibebaskan, kini keputusannya diubah menjadi bebas dengan syarat. "Karena persyaratan [taat pada Pancasila] tidak boleh dinegosiasikan. Harus dilaksanakan," kata Moeldoko selaku Kepala Staf Presiden di hadapan media.

Andai ABB dibebaskan lewat grasi, perlu mekanisme pengacara yang mengajukan pengampunan terlebih dahulu. Sedangkan jika pakai prosedur amnesti, mestinya pendiri pondok pesantren Al Mu’min tersebut harus mematuhi apa yang ditawarkan oleh negara. Salah satunya bersedia taat pada Pancasila. Hingga artikel ini dilansir, dan merujuk keterangan Yusril, ulama yang pernah melarikan diri selama 17 tahun pada masa pemerintahan Orde Baru itu tetap ogah meneken ikrar setia pada Pancasila.

Sidney Jones, Pakar dan peneliti dalam urusan terorisme di Asia Tenggara menilai Jokowi main api dengan berupaya membebaskan Ba'asyir. Ia menuding bahwa keputusan Jokowi terkait pembebasan Abu Bakar Ba’asyir tidak lepas dari strategi menggaet pemilih sayap kanan.

Hal senada juga dilontarkan Yohannes Sulaiman, pakar politik sekaligus dosen di Universitas Jendral Ahmad Yani. Ia menaruh kecurigaan Jokowi terperangkap oleh kepentingan Yuzril Ihza Mahendra—yang selama ini dekat dengan kelompok kanan di Indonesia.

Bagi Yohanes, Jokowi sepertinya sempat kepincut potensi dukungan suara dari kelompok-kelompok Islam konservatif. Atau minimal, mereduksi kebencian umat Islam yang kerap menyasar Jokowi. Namun buat pendukung Presiden dari haluan progresif, kebijakan ini tidak akan disambut baik.

"Kalau misal tujuannya mendongkrak suara, justru keputusan ini sangat negatif. Ada potensi [Jokowi] kehilangan suara-suara dari mereka yang moderat. Tampak bahwa presiden terlalu membungkuk pada kelompok mayoritas," kata Yohannes kepada VICE. "Jadi apa bedanya presiden dengan oposisi, jika mereka sama-sama patuh pada intoleran."