FYI.

This story is over 5 years old.

Sepakbola

Kita Sedang Menyaksikan Era Kejayaan Real Madrid Berakhir

Real Madrid digasak skuad muda Ajax di Liga Champions. Sebelumnya, Los Blancos disikat seteru abadinya dua kali dalam enam hari. Kesimpulan: imperium Real Madrid tampaknya segera runtuh.
modric real madrid dikalahkan Ajax dalam Liga Champions
Foto dari Getty Image

Ujung sebuah zaman tak selalu mudah dikenali. Seringkali awal dan akhir dominasi kultural kelompok, atau entitas politik, berhasil diidentifikasi lewat restrospeksi atau bertahun-tahun setelah era itu benar-benar lewat.

Kecenderungan seperti ini jarang dijumpai dalam sepakbola. Di jagat sepakbola, tiap akhir kejayaan suatu klub bisa dilihat dengan mata kepala telanjang. Era dalam sepakbola akan nampak seperti runtuhnya tembok jerman atau reformasi 98 di Indonesia. Pasti kelihatan gamblang. Fenomena ini imbas dari watak permainan sepakbola itu sendiri. Dalam cabang olahraga ini, pemegang status quo harus terus menghadapi penantang-penantang baru tiap minggunya.

Iklan

Kamis lalu (3/6), Stadion Santiago Bernabue jadi arena eksekusi mati sebuah era dalam sepakbola benua Eropa: tamatnya imperium Real Madrid yang dulu pernah dengan pongah dijuluki 'Los Galacticos'.

Real Madrid—juara bertahan kompetisi klub elit benua biru selama lebih dari 1.000 hari, pemenang empat dari lima Liga Champions terakhir—dihancurkan di depan publiknya sendiri dan dibuat tersungkur oleh sekumpulan skuad muda Ajax Amsterdam yang datang hanya berbekal semangat—serta kenekatan—demi mengguratkan luka di kandang Los Galasticos.

Jikapun kita bisa mengesampingkan skor mencolok 4-1, niscaya pertandingan malam itu tetap tercatat dalam buku babon sejarah sepakbola Eropa—bahkan dunia. Pertarungan itu punya segalanya: lagak sengak pemain Madrid, matinya ego bintang-bintang Los Blancos di lapangan hijau, permainan sepakbola menyerang yang memukau, gol-gol brilian, dua kesempatan dikonversi jadi gol (tapi berakhir jadi video viral), momen-momen mencekam saat satu pemain bertahan yan tersisa menghadapi serangan sejumlah pemain lawan serta insiden ngamuk-ngamuk Nacho—bermain menggantikan posisi Sergio Ramos—setelah diganjar kartu merah. Di muka pendukung Madrid dan seluruh pecinta sepakbola di kolong jagat, perangai Nacho tak lebih baik dari seorang tukang bully di sekolah yang malah dibikin nangis sama korbannya sendiri.

Leg kedua laga Ajax kontra Madrid itu seperti berusaha menyiratkan sesuatu yang lebih besar, lebih agung dari sekadar 22 lelaki menggiring bola dari satu sisi ke sisi lapangan lainnya. Apa yang terjadi malam itu sebenarnya sudah ditentukan dalam pertemuan pertama yang didominasi, namun gagal dimenangkan, oleh Ajax.

Iklan

Dalam tujuh menit pertama pertandingan, belum muncul tanda-tanda Ajax akan mempermalukan Real Madrid. Karim Benzema masih leluasa melakukan apa yang biasa dilaukan selama tujuh atau delapan tahun terakhir berlari ke sana-ke mari, mendapatkan kesempatan sepak pojok dan mencoba menghidupkan pendukung Los Blancos yang sudah melihat tim kesayangan mereka tumbang di kandangnya sendiri dua kali dalam enam hari oleh seteru abadinya, Barcelona.

Tiba-tiba, Raphael Varane menanduk bola dari jarak dua meter. Saat itu, Ajax dalam posisi bertahan. Alih-alih mengancam gawang Ajax, bola tandukan Varane hanya membentur mistar gawang. Malam itu, Varane tampak kurang menikmati pertandingan. Saat dia meninggalkan lapangan—dengan berurai air mata karena cedera betis, Ajax terlanjur bermain bak kesetanan dan sudah dua kali menjebol gawang Madrid.

Bagaimana pun kalian memandangnya, dalam 35 menit, jelas sudah malam itu akan jadi malam yang bersejarah. Sayangnya bukan untuk Los Blancos, melainkan sejarah bagi skuad Ajax. Real Madrid di sisi lain sudah babis. Skuad yang selama ini terkatrol prestasinya dengan gol-gol Christiano Ronaldo kini mulai kelihatan bobrok.

Ramos, yang selama ini dianggap sebagai bajingan dari Los Blancos, cuma bisa memperlihatkan pandangan kosong dari bangku penonton lantaran akumulasi kartu kuning yag diterimanya di leg pertama lawan Ajax pertengahan Februari lalu. Tanpa komandonya di lapangan, pemain sekelas Marcelo, Luka Modric, Toni Kroos, Nacho, Dani Carvajal, Benzema, atau Gareth Bale malah jadi beban alih-alih amunisi menghancurkan lawan.

Iklan

Mengenaskan memang Real Madrid saat ini.

Mereka padahal skuad paling lengkap di muka bumi. Los Blancos punya kedalaman skuad yang bikin tim lain iri. Dengan pemain inti serta cadangan sama bagusnya, terlihat sekali bagaimana Madrid tidak kesulitan menyeimbangkan kebutuhan La Liga dengan Liga Champions. Itulah sebabnya, Los Blancos sukses memenangkan Piala Champions nyaris tiap tahun dalam lima tahun terakhir.

Nah, yang bikin kekalahan kamis lalu pedih bagi Madrid adalah fakta mereka dipecundangi oleh Ajax yang diisii oleh skuad muda. Anak-anak Ajax itu bahkan kurang pengalaman. Penjaga gawang Andre Onana baru berusia 22 tahun. Bek kanan Noussair Mazraoui, midfielders Frenkie de Jong, Donny van de Beek dan Dani de Wit seperti striker Kasper Dolberg lebih muda satu tahun dari Onana. Dua yang disebut dimasukan pada babak kedua untuk memperbesar keunggulan Ajax. Striker mereka, David Neres—yang mencetak gol kedua yang krusial—baru berulang tahun selang empat hari sebelum pertandingan malam itu.

Sedangkan, Matthijs de Ligt, yang berperan sebagai kapten dan menampilkan perpaduan antara kecerdasaan, kekuatan, kegigihan, serta ketenangan di lapangan hijau, bahkan baru berusia 19 tahun.

Bintang malam jahanam bagi Madrid itu—seperti juga pada leg pertama Ajax vs Madrid lalu—ialah Dušan Tadić, pemain spesialis peran false 9 berusia 30 tahun tepat setahun lalu genap bermain tiga bulan tanpa sekalipun gol atau assist. Todic, kamis lalu, seperti menjejak tiap jengkal Santiago Barnebeu, sembari memamerkan teknik menggiring bola bernama Marseille roulette, yang ironisnya dipopulerkann oleh pelatin yang mengantar Los Blancos tiga kali menjuarai Liga Champions.

Iklan

Aksi itu pula yang membantu Neres mencetak gol. Tak lama setelah pertandingan lewat satu jam, Tadic mencetak gol lewat sebuah tendangan bebas dari sisi kanan gawang. Goal itulah yang memastikan Ajax melenggang ke babak selanjutnya. Bonusnya, Tadic diganjar rating permainan sempurna (alias skor 10/10) oleh majalah L’Equipe. Sebagai catatan, majalah tersebut hingga kini cuma pernah memberikan nilai sempurna sepuluh kali sejak mereka meranking performa tiap pemain sepakbola pada dekade ‘80an.

Mungkin, performa Tadic—pemain yang 12 bulan lalu terseok-seok bersama Southampon—lah yang paling menyiratkan semangat berapi-api skuad muda Ajax malam kamis lalu, sebuah malam yang pantas dicatat dalam sejarah sepakbola dunia.

Sebuah malam yang menandai akhir kejayaan Real Madrid. Di saat yang sama, kita mendapat sedikit bayangan seperti apa era baru yang sedang menghampiri sepakbola Eropa.

@hydallcodeen

Artikel ini pertama kali tayang di VICE UK.