Bisnis binatu selama ini tidak pernah dibayangkan bakal terkait upaya menyelamatkan nyawa seseorang. Nyatanya, di Jakarta, seorang pengusaha laundry menempuh takdir baru, menghasilkan ventilator yang bisa menolong nyawa orang di tengah pandemi corona yang menerpa Indonesia.
Anton Agusta, bersama dua kawannya Khaidir Khaliq dan Akbar Saputra, kini berpacu dengan waktu membuat purwarupa ventilator portable. Andai berhasil, kelak purwarupanya bakal mereka bagi ke siapapun yang mampu memproduksinya massal. Sejak awal April 2020, ketiganya terus menyempurnakan alat bantu pernapasan sederhana bertipe noninvasif—tanpa pipa perlu masuk hingga dalam paru-paru—untuk pasien yang kondisi kesehatannya belum terlampau kritis.
Videos by VICE
“Kami cuma ingin pandemi ini cepat selesai,” kata Agusta pada VICE. “Coba lihat. Berapa banyak bisnis yang terpaksa tutup karena wabah ini?”
Ide membuat ventilator itu muncul saat Agusta mengikuti berita seputar penularan Covid-19 di Indonesia. Hampir setiap negara melaporkan kekurangan ventilator untuk merawat pasien. Agusta dan kawan-kawannya tergerak. Mereka lantas bergabung dengan sebuah forum di internet untuk berdiskusi soal pembuatan ventilator.
Agusta dan kawan-kawannya tengah mengembangkan purwarupa kedua saat ini, di bengkel kerja kawasan Grogol Selatan, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan. Purwarupa pertama telah diuji coba di Balai Pengamanan Fasilitas Kesehatan (BPFK) dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) pada pertengahan April lalu.
“Hasilnya kurang memuaskan,” kata Khaidir. “Torsi mesinnya masih kurang.”
Tak patah arang, mereka bertiga kembali masuk bengkel buat menyempurnakan alat itu. Mesin buatan mereka berbentuk mirip CPU, dengan bungkus berbahan baja tahan karat. Rotasi mesin digerakkan oleh power supply berdaya 10 ampere dan dinamo mobil. Daya rotasi yang dihasilkan kemudian memompa dan mengalirkan oksigen ke pasien.
Ketika WHO mengumumkan adanya virus corona jenis baru yang menyebar dari kota Wuhan, di Provinsi Hubei, Tiongkok pada awal 2020, pemerintah Indonesia masih merespons kabar tersebut dengan santai. Beberapa menteri bahkan melempar guyonan-guyonan “cringe”, yang terkesan meremehkan risiko wabah. Selang dua bulan setelah pengumuman WHO tersebut, pandemi corona resmi hadir di Tanah Air, menguak berbagai ketidaksiapan sistem kesehatan di Indonesia.
Di Indonesia, rata-rata rumah sakit cuma punya satu tempat tidur per 1.000 orang, menurut data WHO. Lalu hanya ada empat dokter per 10.000 orang. Belum lagi sejumlah masalah lain seperti kurangnya tes yang agresif untuk orang maupun pasien dalam pengawasan, diperparah pula komunikasi antara pemerintah pusat dan daerah yang silang sengkarut.
Pada 3 April lalu, Menteri BUMN Erick Thohir mengatakan jejaring rumah sakit BUMN di Indonesia mampu menangani 10.000 pasien Covid-19. Namun, dari sekian rumah sakit tersebut, hanya ada 100 ventilator untuk membantu pasien dalam kondisi moderat dan parah.
Dalam pernyataan terpisah, Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto mengatakan Indonesia baru punya 8.432 ventilator, tersebar di 2.867 rumah sakit seluruh Indonesia. Padahal setidaknya Indonesia butuh 20.000 ventilator untuk menghadapi puncak pandemi. Karena jumlahnya amat minim, sampai-sampai Wakil Menteri BUMN Budi Gunadi mencuit ke pendiri Tesla Elon Musk meminta bantuan ventilator. Pekan lalu, pemerintah Indonesia juga dikabarkan bakal membeli ventilator dari AS, meski belum ada detail lebih lanjut mengenai teknisnya.
Ventilator bukan alat kesehatan yang murah. Satu unit ventilator buatan Hamilton Medical asal Swiss dibanderol Rp600 juta. Tapi banyak pihak merasa pemerintah tidak bisa pasrah dan mengandalkan bantuan asing. Saat ini berbagai elemen masyarakat dan organisasi pemerintah yang berinisiatif untuk urunan atau malah membuat ventilator.
Agusta termasuk yang percaya ventilator murah harus kita bikin sendiri. Dia pengusaha mesin laundry yang cukup sukses. Agusta lulusan STM jurusan teknik logam. Dia menghabiskan waktu 10 tahun sebagai supir pribadi sebelum memberanikan diri membuka usaha binatu di sebuah rumah kontrakan.
Pada 2010 Agusta membuat gebrakan dengan menciptakan konversi mesin pengering laundry menggunakan gas yang dapat menghemat listrik dari yang awalnya 2200 watt menjadi hanya 100 watt. Mesin pengering buatannya laris manis.
Bisnisnya kian berkembang, dari yang awalnya cuma menempati teras rumah berukuran 2×6 meter, kini berada di atas lahan hampir satu hektare. Dua tahun belakangan Agusta fokus mengkonversi mesin cuci agar dapat menggunakan koin yang dipasarkan ke seluruh Indonesia.
Agusta tak punya latar belakang pendidikan teknik. Semua hasil karyanya dibikin hanya berdasarkan tutorial di internet.
“Setiap malam setelah bekerja dulu selalu buka-buka internet, dari Google, YouTube,” ujarnya.
Tapi cerita sukses itu terpaksa ambruk di hadapan pandemi. “Omzet [bisnis laundry] kami turun hingga 90 persen lebih,” kata Agusta saat ditemui di bengkelnya. “Kami terpaksa merumahkan 30 karyawan. Kini cuma lima yang masih bekerja.”
Tumpukan mesin cuci yang masih terbungkus rapi menjulang di bengkelnya. Cuma ada satu karyawan sibuk dengan las listriknya hari itu. Agusta bilang sepanjang April ini dia belum menerima pesanan baru. Tak sedikit pula pelanggan yang membatalkan pesanan karena resesi ekonomi.
Pada pertengahan Maret, Agusta bersama Asosiasi Pengusaha Laundry Indonesia (APLI) berinisiatif membuat 1.000 bilik dekontaminasi portabel yang niatnya didistribusikan ke seluruh Indonesia. Agusta telah mengirim 200-an bilik ke seluruh Indonesia. Tapi belakangan proyek tersebut mandek setelah WHO melarang penggunaan bilik dekontaminasi sebab dikhawatirkan menjadi tempat bersarang virus.
Dia lantas terpikir untuk membuat ventilator DIY yang terjangkau. Dia yakin, jika berhasil, ventilator buatannya, dengan desain portabel dan ringkas dibawa, dapat menolong banyak rumah sakit. Namun, sebelum impian itu terwujud, ada halangan yang harus dia hadapi selain waktu. Mesin yang dia bikin harus bisa bekerja sama baiknya seperti ventilator ratusan juta.
Siang itu, ketika VICE berkunjung ke bengkel, Agusta, Khaidir, dan Akbar berusaha memecahkan masalah rotasi itu: bagaimana caranya agar alat itu dapat mengatur kecepatan rotasi tanpa berpengaruh terhadap kadar oksigen yang disalurkan. Sebab, setiap orang memiliki kebutuhan kadar oksigen berbeda; tergantung pada berat badan dan tingkat keparahan penyakitnya.Sejauh ini mereka telah mengeluarkan duit lebih dari Rp50 juta buat menyusun purwarupa ventilator portable itu.
Ketika virus corona menyerang, dan dalam kondisi tertentu dapat menyebabkan gagal pernapasan, ventilator adalah alat bantu kesehatan paling esensial. Namun penggunaan ventilator masih memicu perdebatan di kalangan medis. Di AS, beberapa fasilitas kesehatan mulai meninggalkan penggunaan ventilator, sebab angka kematian pasien dengan ventilator tercatat lebih tinggi – memicu kekhawatiran bahwa penggunaan ventilator justru berakibat fatal.
“Kita tahu penggunaan ventilator tidak sepenuhnya aman.” kata Dr. Eddy Fan dari Toronto General Hospital dilansir TIME. “Salah satu temuan paling penting beberapa dekade belakangan adalah ventilator dapat memperparah kondisi paru-paru – jadi kita harus berhati-hati dalam pemakaiannya.”
Cara terbaik, kata Fan, adalah dengan meminimalisir penggunaan ventilator. Salah satunya adalah dengan cara meletakkan pasien secara tengkurap agar mengurangi tekanan pada paru-paru.
Walaupun masih jadi perdebatan, ventilator tetap menjadi alat bantu yang penting daripada tidak ada sama sekali. Memproduksi ventilator kini menjadi semacam perlombaan bagi banyak pihak. Tercatat PT Pindad dan PT DI bersama sejumlah universitas dan perusahaan otomotif tengah mengembangkan ventilator. Kabarnya Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil telah memesan ventilator buatan dua perusahaan pelat merah tersebut.
Ditanya apakah proyek ini merupakan usahanya mencari kesempatan dalam kesempitan karena bisnis utamanya lesu, Agusta menampik. Dia bersedia membagi cetak biru desain ventilator ini, jika pemerintah berminat. Mereka tak berniat memproduksi sendiri mesin itu secara massal.
“Sebab kami sadar bengkel ini tentu tak layak jika memproduksi alat kesehatan,” tutur Agusta. Dia juga membagi rahasia jika harga pokok produksi mesin itu cuma di bawah Rp10 juta.
“Ini proyek kemanusiaan,” kata Agusta. “Jangan sampai ketika korban sudah ribuan, pemerintah baru kalang kabut.”