Kami Bertanya ke Lansia, Apakah 2020 Tahun Terkelam Pernah Dialami Orang Indonesia?

VICE Bertanya ke Lansia, Apakah 2020 Tahun Terkelam Pernah Dialami Orang Indonesia

Bagi kita anak muda yang pernah mencicipi pendidikan sejarah masa Suharto, mudah untuk berpikiran masa lalu negara kita baik-baik saja. Aku, 29 tahun, dulu menganggap masa pra-Kemerdekaan dan era Sukarno sebagai periode ala lagu “Maju Tak Gentar”: berjuang dan menang.

Pemuda di masa itu kubayangkan sebagai segerombolan pemberani yang akan selalu bisa menundukkan apa pun yang mereka lawan. Serupa kisah hitam-putih, orang Indonesia adalah pihak yang benar yang berhasil mengalahkan penjajah kulit putih jahat.

Videos by VICE

Bayangan soal era Suharto lebih menggembirakan. Kuingat lamat-lamat, itulah masa kita berdikari pangan berkat swasembada beras. Negara juga makmur, kaya raya karena harga minyak bumi meroket. Pembangunan di sana-sini serta nuansa serbatertib menjadikan “stabilitas” ciri terkuat periode ini. Tak heran, belakangan jargon “Piye? Penak jamanku tho” bisa muncul.

Sad but true, semua gambaran itu segera diobrak-abrik ketika kita makin dewasa dan mulai mendapat informasi bagaimana kacaunya situasi negara dari masa ke masa lewat produk budaya seperti buku, film, dan lagu. Gambaran tanam paksa tak bisa lebih mengerikan dari Max Havelaar, baik dari novel maupun filmnya.

Aneksasi Jepang pada 1942 segera membuat hati porak-poranda manakala kamu membaca memoar Indonesia Dalem Api dan Bara. Lalu tontonlah film Lewat Djam Malam untuk tahu bagaimana revolusi memakan anak kandungnya. Bahkan kumpulan cerpen seceria Keajaiban di Pasar Senen sesungguhnya dengan vulgar memberi gambaran kesulitan ekonomi begitu mencekik di sepuluh tahun pertama negara ini berdiri.

Kini kita memang lebih mudah mencari tahu penderitaan macam apa yang dialami kakek-nenek dan ayah-ibu kita dari berbagai penelitian dan reportase penyintas. Atau kalau merasa buku terlalu “berat”, simak saja diskografi Iwan Fals dan musisi sezamannya. Kurasa cuma psikopat yang hatinya tak berantakan saat menyimak “Sore Tugu Pancoran”. Aku jadi ingat tulisan yang pernah kubaca, konon hanya orang tak berdaya yang merasa kasihan jika melihat ketidakadilan. Kalau emang muak, harusnya kita marah.

Bagaimanapun, pengetahuan itu tidak menubuh. Kita tak mengalaminya. Anak muda tak bisa disalahkan jika mereka kemudian memaki, 2020 adalah tahun paling mencekik, gimana-gimaan ini pengalaman pertama kita.

Walau demikian aku tetap saja penasaran bagaimana kalau dulu dan sekarang dibandingkan? Apakah 20202 memang masa terkelam yang pernah bangsa ini rasakan? Bagaimana pengalaman para lansia berusia di atas 60 tahun yang sudah makan asam garam kehidupan?

Aku memutuskan bertanya kepada tiga orang yang mungkin bisa menjawabnya. Mereka adalah Iman Suligi, 70 tahun, pegiat literasi di Jember, Jawa Timur. Kedua adalah Rahmat Basuki, 62 tahun, pernah menjadi kepala desa dan kini menetap di Purwokerto, Jawa Tengah. Terakhir Enny H., 63 tahun, pensiunan PNS yang berdomisili di Bandung.

Bagi Iman, sebenarnya masalah yang pernah dialami bersama di masa lalu tak kurang mencekiknya dari problem 2020. Ia, misalnya, ingat ketika kebijakan ekonomi sanering yang memotong nilai mata uang (pertama kali tahun ’50, diulang pada ’59) dan redenominasi (‘65) dilakukan. Ekonomi akar rumput benar-benar terpuruk karena semua tabungan berkurang drastis nilainya. Namun, ia menilai faktor ketergantungan konsumsi kita membuat kesulitan sepanjang 2020 lebih ekstrem.

“Tahun ‘59, ‘65, dan ’70-an adalah masa yang menurut saya berat,” kata Iman Suligi kepada VICE, “tapi tidak terasa seberat sekarang. Itu karena sekarang kita punya lebih banyak kebutuhan yang dulu tidak pernah saya rasakan.”

“Misalnya, dulu kita makan ya apa adanya. Walaupun nasi dulu agak susah, tapi masih ada bulgur. Apalagi keluarga saya waktu itu sambil bertani, jadi bisa mencukupi kebutuhan kami sehari-hari. Tidak mewah memang karena kebutuhan yang lain seperti garam dijatah itu. Sekarang kan banyak pilihan, dulu enggak. Adanya hanya itu ya sudah, kita gunakan itu. Kemudian tahun ‘60-‘65, memang tahun politis, ada pemberontakan, itu memang agak mengerikan. Tetapi karena waktu itu saya masih anak-anak ya, enggak terlalu merasakan.”

“Dulu kita mencuci pakaian cukup pakai sabun, sekarang butuh So Klin, butuh softener, dan sebagainya. Jadi produk tambahan itu membuat kebutuhan kita makin kompleks,” ia berkata lagi. “Kami di keluarga itu untuk snack enggak usah beli sehingga uang jajanan itu ya… secukupnya. Ibu di rumah bisa membuat produk makanan untuk anak-anak dari bahan-bahan yang ada, misal singkong dibuat gethuk, buat nagasari. Jadi ya kebutuhan-kebutuhan tambahan yang tidak terlalu mendasar itu yang membuat orang konsumtif, di samping semua sudah tersedia dan dengan mudah bisa dibeli. Orang malas membuat sendiri.”

“Intinya begini, waktu itu memang sulit, tetapi kebutuhan kita tidak terlalu banyak dan kita bisa menyiasati dengan apa yang ada.”

Seingat Iman, inilah pertama kali ia menyaksikan sebuah pandemi yang begitu meluas. “Dulu emang ada vaksinasi kotipa [kolera, tifus, dan paratifus] dan cacar, lalu ada malaria, tapi lupa itu karena ada wabah apa enggak. Tapi kan enggak sempat ada lockdown seperti ini,” terang Iman. “Saya mengalami beberapa kali vaksinasi secara massal, tapi tidak ada isolasi seperti [saat wabah Covid-19] ini.”

Rahmat Basuki sependapat dengan Iman: 2020 asli surem banget. “Masalah kehidupan di 2020 ini memang banyak sekali, terutama karena virus corona, ini sangat mempengaruhi bukan hanya negara Indonesia, juga negara-negara lain sedunia.”

Menurutnya, kesulitan di masa lalu umumnya di sekitar problem ekonomi. Selain tak semua sektor terpukul, masyarakat juga masih bisa mencari hiburan. Paling enggak, orang masih bisa memperoleh kesenangan untuk sejenak lupa pada kesulitan. Eskapisme serupa yang absen dari 2020.

“Dari tahun-tahun yang dulu, yang sebelum 2020, masa resesi misalnya, itu juga masalah. Tapi setidaknya masyarakat masih dapat hiburan, masih bisa menikmati wisata, masih dapat bepergian. Sekarang untuk ketemu keluarga aja takut. Untuk ketemu saja jadi masalah, apalagi kumpul-kumpul.”

Gara-gara tak bisa bergerak, bertemu manusia lain dengan leluasa, masalah psikologis akibat pandemi 2020 membuat suasana jauh lebih menekan.

“Kita terhalang untuk beraktivitas sehingga ada memunculkan problem psikologis misalnya stres, kemudian penyakit, bahkan yang fatal sampai mengakibatkan kematian,” kata Iman. “Terus, kalau dulu kalau masalahnya sebatas fisik, kesulitan ekonomi dan macem-macem itu masih bisa diatasi dengan banyak hal. Kita masih banyak kegiatan untuk bisa melupakan kesulitan itu. Tapi pada saat ini ada unsur psikologis yang membuat ‘penderitaan’ kita lebih besar ketimbang dulu.”

Pandangan Eny berbeda 180 derajat. Masa Sukarno dan Suharto tuh jauh lebih horor ketimbang hari ini, utamanya karena persoalan ekonomi dan ancaman keamanan. Ia menuturkan kisah panjang yang rinci untuk menggambarkan horor itu.

“Zaman Orde Lama, sebelum pecah PKI, karena semua orang harus antre buat kebutuhan pokok. Beras, minyak, semua harus antre buat dapat jatah. Beras untuk tentara [ayah Eny seorang tentara] seperlimanya diganti jagung. Ya, saya sih enggak kelaparan ya, tapi di sekeliling orang hidup susah banget. Ada teman sekelas yang paling miskin biasa datang buat minta makan. Kalau di kelas suka ditanya guru, ‘Kenapa bayarannya [SPP] segini?’ Ya, dia jawab aja karena ibunya cuma kasih segitu. Tapi guru enggak marah. Saya masih kecil waktu itu, jadi nggak ngerti juga, tapi yang saya lihat ya semua orang susah. Kalau mau makan sama telur, sebutir telur harus cukup buat bertiga, jadi digoreng dicampur kol.”

“Pokoknya dekat-dekat zaman PKI [pembantaian 1965] benar-benar susah. Sempat ada jam malam, saya inget waktu kecil mau makan bubur kacang aja ngumpet di kolong pake damar karena takut kelihatan sama patroli. Di sekolah dikasih jatah susu tiap hari Sabtu, bantuan dari PBB. Zaman Suharto juga dikasih bantuan dari PBB [untuk anak sekolah], tapi bantuannya alat-alat buat prakarya.”

“Pas kejadian PKI itu pas kemarau panjang. Saya masih kecil, tapi yang saya inget cuma di radio tiap pagi ada lagu ‘Genjer-Genjer’, terus katanya di kota rumah Kang Memen [kantor PKI di kota Eny] gentengnya dibuka, dilempar-lempar, berkas-berkas dilempar ke jalan. Terus seinget saya, Kolonel Untung ini awalnya dielu-elukan disebut pahlawan, tapi dalam hitungan hari dia ditangkap. Terus katanya Bapak mau kena juga [ditarget oleh PKI], saya pernah lihat ada pisau lipat melengkung gitu, katanya itu pisau pencukil mata. Tapi ya saya enggak tahu karena itu kan masih kecil, dan siapa tahu apa yang bener di balik omongan orang-orang.”

“Tahun ‘69, Suharto belom jadi presiden, berita masih nyebut dia pejabat presiden, sempat ada wabah koreng. Semua orang kena koreng, termasuk saya. Salep mahal dari dokter enggak ngaruh, sembuhnya [diobati pakai] sama mahoni.”

“Zaman Orde Baru itu mulai kerasa kalau si bapak susah [miskin] karena tentara gajinya kecil, sementara mulai banyak pengusaha, pemborong-pemborong. Saya ngalamin tuh pas iuran sekolah ditentukan dari slip gaji orang tua, iuran saya lebih besar dari temen-temen saya yang anak pengusaha itu karena mereka kan bisa seenak-enaknya aja ngaku penghasilan mereka berapa sama sekolah, sementara gaji bapak kan jelas berapa-berapanya. Kerasa banget karena ngejar pembangunan itu, ada orang yang bisa maju, dan orang-orang lain tersingkir. Mulai ada jurang antara orang kaya dan orang miskin. Mulai kelihatan lah. Orang mulai pengen punya barang-barang, dan dari barang-barang yang dipunya jelas bedanya.”

Walau hidup begitu sulit, kata Eny semangat gotong royong tetap kuat. “Tapi ya di zaman susah kayak dulu, orang saling bantu. Bikin rumah kalo ada yang dapat bantuan [biasanya didata, orang yang enggak punya rumah terus dapat bantuan], nanti tetangga-tetangganya bantu bikin enggak dibayar. Guru ngaji nggak mungut bayaran, dan kalo ada peringatan hari besar Islam mau syukuran, ya dia keluar uang sendiri. Anak yatim yang sekelas sama saya nggak punya baju, ibu-ibu bareng-bareng bikinin dia baju.”

“Orang kaya di Ciamis itu bisa dihitung: pengusaha bis, sama orang-orang yang punya usaha rumahan batik dan tenun. Usaha-usaha ini digalakan sama Sukarno, makanya tiap kota punya koperasi batik. Zaman Suharto usaha-usaha ini hancur. Habis karena ada pabrik batik printing. Hanggar-hanggar tutup, orang-orang nganggur. Enggak tahu deh mereka beralih usaha apa karena saya waktu itu masih kecil. Tapi saya inget karena pas itu saya ngaji di bekas hanggar.”

“Tahun ‘78 saya udah mahasiswa, zaman NKK [Normalisasi Kehidupan Kampus, kebijakan mematikan aktivis mahasiswa]. Saya dianter sama Bapak ke kampus aja dicegat. Kampus dikepung, aktivis ditangkapin. Bapak udah pensiun tapi masih seger, sampe dikira intel sama aktivis-aktivis waktu nyariin saya ke kampus.”

“Waktu anak pertama lahir [tahun 1983], itu lagi krisis, bareng sama Petrus. Ada tuh lagunya Chrisye, ‘Resesi’. Rhoma Irama juga bikin lagu, ‘Resesi Dunia’. Krisis itu enggak begitu kerasa [buat saya], [karena] enggak lama.” Masa krisis itu tak begitu dirasakan sebagaimana krisis 1997, menurut Eny karena media tak leluasa memberitakan dan kebebasan berbicara dibatasi.

Walau mereka berbeda pendapat, kurasa satu hal bisa kita pelajari: kesulitan hidup dalam skala massal seperti pandemi dan efek berantainya di 2020 ini bukanlah yang pertama dan sudah pasti tak akan jadi yang terakhir. Tuturan para orang tua yang sudah hidup lebih lama juga bikin kita tahu, banyak masalah hidup bersama yang datangnya karena ulah manusia.

Dulu penjajahan, kemudian perebutan kuasa, penindasan antara sesama orang sebangsa. Ketika pandemi ini dimulai, para ahli mengingatkan, ulah manusia yang terus merusak alam dan menghabisi keragaman hayati adalah penyebab virus dari hewan bermutasi dan menjangkiti manusia.

Resolusi itu umumnya omong kosong, tapi jika ada komitmen 2021 yang perlu kita buat, kurasa isinya cukup satu: kita harus belajar berbuat baik. Ini bukan hanya soal berbuat baik kepada diri sendiri atau kepada sesama manusia, tapi juga semua makhluk hidup lain dan alam semesta. Kepada hutanairudara; kepada harimau dan buaya dan ular; kepada apa pun. 

Untuk bisa melakukan semua itu, ada tips kecil dari Iman dan Rahmat yang mudah-mudahan bisa jadi bekal survival untuk bertahan di 2021. Iman mengingatkan anak muda untuk terus kreatif agar tidak ketergantungan konsumsi, serta menajamkan empati kepada sesama. Dari Rahmat pesannya simpel tapi nampol: tetap semangat hidup! Soalnya kalau udah loyo dulu, nanti efeknya ke mana-mana. Aku enggak bisa enggak sepakat sih sama nasihat Pak RT-ku ini.