Artikel ini pertama kali tayang di Motherboard.
Pada Senin (15/5) pagi waktu New York, VICE Media LLC resmi mengajukan permohonan pernyataan pailit menggunakan Undang-Undang Kepailitan Amerika Serikat Bab 11. Dengan berlakunya UU tersebut, VICE bisa tetap beroperasi selama berlangsungnya proses lelang untuk menyelesaikan pembayaran utang. Fortress Investment Group dan Soros Fund Management selaku investor sudah sepakat menjadi kreditur untuk menutupi semua aset senilai 225 juta dolar AS (setara Rp3,3 triliun) di bawah pengawasan pengadilan New York. Perusahaan akan diakuisisi kreditur jika tak tercapai kesepakatan dengan calon pembeli baru dalam kurun 2-3 bulan ke depan.
Videos by VICE
Perlu diketahui, istilah pailit berbeda dengan bangkrut. Suatu perusahaan dikatakan pailit bila tidak mampu membayar utang-utangnya kepada kreditur (pemberi pinjaman) secara tepat waktu. Menurut berkas permohonan yang dipelajari staf rubrik Motherboard, VICE Media LLC termasuk dalam 31 perseroan terbatas yang wajib membayar utang sebesar $474,6 juta (Rp7,06 triliun) kepada Fortress.
Kabar ini diumumkan VICE setelah perusahaan ini menutup VICE World News (VWN) dan program televisi VICE News Tonight pada akhir April lalu. Lebih dari 100 karyawan VICE di berbagai negara kehilangan pekerjaannya akibat penutupan tersebut.
“Terhitung hari ini, VICE Media Group siap menjual aset perusahaan kepada konsorsium pemberi pinjaman,” demikian bunyi pernyataan resmi perusahaan pada 15 Mei 2023.
Pasalnya, VICE Media LLC yang dulu bernilai $7,5 miliar (setara Rp111,5 triliun), mendapat pinjaman sebesar $250 juta (Rp3,7 triliun) dari para investornya, yaitu Fortress dan Soros Fund Management.
Dalam berkas permohonan, VICE dinyatakan “telah mempertimbangkan untuk melakukan penawaran ‘stalking horse’ selama proses penjualan aset dan prosedur lelang terkait.” Stalking horse adalah kondisi saat perusahaan sudah menemukan calon pembeli sebelum mengajukan permohonan pailit.
“VICE diharapkan mampu memperkuat posisinya selama melewati proses penjualan yang diawasi pengadilan, sehingga bisa terus menjadi sumber pemberitaan yang kredibel dan tepercaya bagi kawula muda,” kata CEO VICE, Hozefa Lokhandwala dan Bruce Dixon, dalam pernyataan resmi mereka.
“VICE akan mempunyai pemilik baru dengan struktur permodalan yang disederhanakan. Dengan demikian, perusahaan bisa beroperasi tanpa liabilitas yang membebani kami selama ini. Kami berharap proses penjualannya bisa selesai dalam kurun 2-3 bulan ke depan.”
VICE bisa berkembang selama beberapa tahun terakhir berkat investasi besar-besaran yang dilakukan perusahaan. Pada 2017, VICE memperluas tawaran VICE TV serta melakukan ekspansi ke pasar internasional dengan dana yang digelontorkan oleh perusahaan ekuitas swasta TPG. Selain TPG, ada beberapa perusahaan lain yang berinvestasi pada VICE, termasuk A&E Networks, Disney, dan Fox.
Tapi menurut Frank Pometti, yang ditunjuk sebagai Chief Restructuring Officer VICE, karena investasi ini jugalah VICE nyaris gulung tikar. “VICE memanfaatkan pendanaan eksternal semaksimal mungkin guna mempercepat pertumbuhan bisnisnya, tapi keputusan ini menyebabkan penggunaan pinjaman [leverage] terlampau tinggi hingga utang menumpuk,” demikian penjelasan tertulis Pometti dalam berkas permohonan.
Pometti lebih lanjut menjelaskan, perusahaan pernah menjajaki go public melalui merger dalam upaya mengatasi masalah finansial pada 2021, namun rencananya mandek.
Diketahui pula ada dua faktor utama yang semakin menekan kondisi keuangan perusahaan. VICE bekerja sama dengan perusahaan Yunani, Antenna, untuk mendirikan program VICE World News. Dalam kesepakatan, VICE seharusnya menerima pembayaran triwulan senilai $34 juta (Rp505 miliar) dari mitra ini pada awal 2023. Tapi alih-alih membayar, Antenna mengakhiri kontrak kerja samanya.
VICE meraup pendapatan $134 juta (Rp1,99 triliun) pada 2022 berkat kesepakatan ini. Akibat hilangnya pemasukan dari VWN, perusahaan terpaksa mencari pinjaman lain supaya bisa tetap beroperasi.
“Putusnya kerja sama dengan VWN berdampak besar bagi VICE secara keseluruhan,” terang Pometti dalam permohonannya. Perusahaan berulang kali memecat karyawan untuk memangkas pengeluaran.
Situasi semakin rumit awal Mei ini. VICE diwajibkan membayar utang sebesar $9,9 juta (Rp147 miliar) kepada WiPro. Pometti membeberkan, perusahaan konsultan teknologi informasi ini menyebabkan sejumlah rekening VICE dibekukan sementara sehingga “mematikan sebagian besar likuiditas Debitur”.
Tak hanya itu saja, VICE masih harus membayar kekurangan $20 juta (Rp297 miliar) kepada pendiri Pulse Films usai mengakuisisi rumah produksi tersebut pada 2022. VICE wajib membayar $3,8 juta (Rp56,6 miliar) untuk layanan produksi pihak ketiga bersama CNN. Perusahaan bahkan belum melunasi ongkos pakai sejumlah layanan perangkat lunak, seperti Workday, Adobe, Ranker, Getty Images, Amazon Web Services, Piano Software, Salesforce, Wolftech, Asana, dan Oracle. VICE juga menunggak tagihan utilitas yang disediakan ConEdison sebesar $539.732 (Rp8,04 miliar).
Jared Ellias, guru besar Harvard Law School yang mendalami kebangkrutan perusahaan, menyebut permohonan pailit VICE tampaknya akan cepat diproses lantaran sudah ada calon pembeli. Opininya disampaikan sesuai informasi yang tersedia.
“Dugaan saya VICE akan masuk tahap lelang dalam beberapa minggu ke depan. Perusahaan akan punya pemilik baru, dan penjualannya bisa cepat dilakukan,” ujarnya. “Prosesnya jarang sekali berlangsung lebih dari dua bulan.”
Sejumlah media melaporkan potensi VICE Media dijual secara terpisah, mengingat perusahaan menaungi berbagai divisi, seperti VICE, VICE News, VICE TV, VICE Studios, Pulse Films, dan majalah fesyen i-D. VICE juga mengelola agensi periklanan bernama Virtue. Bahkan pada 2019, VICE membeli saham Refinery29, media digital yang mengangkat berita seputar perempuan, senilai $400 juta (Rp5,9 triliun).
Nantinya, dewan eksekutif perusahaan beserta pengadilan yang akan memutuskan langkah selanjutnya. “Debitur berutang dengan jaminan fidusia untuk memaksimalkan nilai perusahaan. Bisa saja debitur melelang perusahaan secara keseluruhan, atau menjualnya secara terpisah,” Ellias menerangkan. “Seandainya debitur mempertimbangkan penjualan keseluruhan sebagai pilihan terbaik, maka akan sulit bagi sekelompok pembeli untuk mengambil bagiannya masing-masing.”
Terbentuk pada 1994, VICE Media memulai kiprahnya sebagai majalah anak muda yang berbasis di Montreal, Kanada. Perusahaan media ini terus berkembang hingga memiliki saluran televisinya sendiri, dan memperluas cakupan pemberitaannya ke berbagai sektor, dari teknologi (Motherboard) sampai kuliner (MUNCHIES). VICE kemudian membuka 35 kantor cabang di seluruh dunia, termasuk Indonesia yang merupakan cabang terbesar di Asia. Namun, gelombang restrukturisasi kerap menghantui VICE selama tiga tahun terakhir, terutama setelah Nancy Dubuc menjabat CEO pada 2018. Kepemimpinan Dubuc diwarnai berbagai masalah manajemen, yang mengakibatkan PHK massal.
Catatan: Pemred rubrik Motherboard Jason Koebler menulis artikel ini berdasarkan data dan informasi yang dapat diakses oleh publik. Laporannya terbit tanpa pantauan dari dewan eksekutif VICE Media Group.