Tech

VICE Menjawab Pertanyaan Paling Sering Muncul di Google Seputar Pemilu Indonesia

VICE Menjawab Pertanyaan Paling Sering Muncul Dari Pencarian Google Seputar Pemilu Indonesia

Pemilihan umum 2019 pada 17 April menyisakan hari buat kita yang tinggal di Indonesia. Rekan-rekan WNI di banyak negara lain sudah duluan mencoblos nih. Gairah calon pemilih datang ke tempat pemungutan suara diyakini mengikuti tren sejak awal reformasi, yakni senantiasa lebih surut dibanding sebelumnya.

Kendati begitu, bagi sebagian calon pemilih, antusiasme masih tinggi kok. Indikatornya sederhana: ada banyak orang berusaha mencari tahu berbagai informasi penting soal pemilu. Caranya dengan bertanya pada ‘mbah Google’.

Videos by VICE

Sempatkanlah memeriksa format autocomplete yang melengkapi kata kunci tertentu. Maka kita bisa melihat apa saja topik kerap dicari orang seputar pemilu presiden ataupun legislatif di negara ini. Misalnya, ketik ‘apa’ ditambah ‘pemilu 2019’, maka bakal keluar sekian kata kunci paling sering muncul di mesin pencari tersebut.

1555074824237-Pemilihan-Umum-2019
Ilustrasi oleh Ilyas Rivani

Patut diingat, Google autocomplete bukan sistem akurat mengukur keingintahuan publik yang sebenarnya. Pada 2016 The Guardian pernah melansir laporan investigatif soal manipulasi Google Autocomplete. Dalam artikel itu, dijelaskan bila kelompok sayap kanan Eropa sering ‘mempermainkan’ prediksi pencarian Google dan membentuk bias pertanyaan seperti ‘Hitler orang baik’ atau ‘Yahudi itu jahat’. Padahal, sejak 2011 Google mengaku tak lagi mengadopsi persoalan sensitif agama dan ras dalam prediksi pencariannya. Artinya, fitur autocomplete masih mungkin diakali.

Setidaknya, kami senang masih ada orang yang mau mencoba mencari tahu sekian informasi penting seputar pemilu. Bukan cuma kata kunci soal puja-puji pasangan nomor satu maupun nomor dua.

Barangkali ada pembaca sekalian tertarik ingin menanyakan hal serupa lewat Google, nih kami bantu duluan. Kalian cukup baca artikel ini, lalu dapatkanlah jawaban atas sekian pertanyaan seputar pemilu, yang sering dicari pengguna Internet Indonesia lewat Google. Sebagian memang informasi penting, tapi ada juga yang polos dan absurd. Bagaimanapun, semuanya mewakili rasa ingin tahu banyak pengguna internet di luar sana.

Beginilah hasilnya:

SIAPAKAH PEMILIH PEMULA DAN PEMILIH MILLENNIAL?

Barangkali yang browsing kayak gini tim sukses kedua capres yang sudah gaek itu. Nyatanya, sulit bagi para pejabat dan para tim kampanyenya membedakan istilah “anak muda” dengan generasi millennial. Bahkan membedakan generasi millenial dan centenial (biasa dijuluki gen Z), politikus di atas 40-an tahun itu belum tentu ngeh. Mendekati pemilu, kata “millennial” makin sukses bikin anak muda sungguhan ngerasa geli sekaligus cringe, karena digunakan serampangan di hampir setiap kampanye, atau di banyak acara yang disponsori pemerintah.

Pemilih pemula dan pemilih millennial jelas berbeda. Buat generasi millennial akhir yang lahir pada tahun 90-an sepertiku, tahun ini ikut pemilu untuk ketiga kalinya. Sementara pemilih pemula adalah mereka yang baru memberikan hak suaranya pertama kali pada 2019.

Walaupun cara memakainya cringe, perhatian politikus pada anak muda sangat wajar. Ada 40 persen pemilih generasi millennial dan generasi Z dari total 192 juta total pemilih terdaftar untuk 2019. Sekitar 5 juta pemilih pemula juga mulai nyoblos tahun ini. Angka fantastis itulah yang bikin semua kubu terobsesi dengan pemilih muda, atau pemilih debutan.

Tapi, ibu dan bapak tim sukses dan elit partai sekalian, plis, pakailah kata ini secara akurat. Tak ada yang lebih menyebalkan dibanding mendengar kata “millennial” ditempel sembarangan ke semua topik pembahasan. Lebih ngeselin karena pemilu tahun ini semua kubu capres saling mengklaim sebagai paling millenial. Belum lagi ada “partai millennial” yang materi iklannya justru dikritik lantaran pakai becandaan bapak-bapak.

KENAPA PEMILU DI INDONESIA SELALU HARI RABU?

1555075148526-Screen-Shot-2019-04-11-at-111956

Pemilu maupun pemilihan kepala daerah di Indonesia selalu berlangsung hari Rabu. Sebagian dari kalian mungkin berpikir ini hal klenik, melibatkan hitungan weton. Ternyata enggak kok. Rabu dipilih karena ada kesadaran dari Komisi Pemilihan Umum, bahwa orang Indonesia doyan banget ngambil hari libur kejepit. Mengambil libur tambahan di antara dua hari libur adalah kebiasaan “lumrah” di Tanah Air.

Bayangkan kalau pemilu diadakan hari Kamis, sementara Sabtunya banyak pegawai libur. Pasti jutaan pemilih yang statusnya PNS atau karyawan swasta akan mengambil libur di Jumat buat jalan-jalan. Bukannya nyoblos, banyak orang akan memilih upload selfie di Instagram.

KPU juga selalu memilih Rabu yang dipastikan tidak berdekatan dengan hari libur nasional di luar Sabtu dan Minggu. Analisis ini disampaikan pengamat politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Wasisto Raharjo Jati. Dia menerangkan alasan logis di balik pemilihan Rabu sebagai hari pencoblosan. Intinya hal tersebut sudah dirancang demi memaksimalkan partisipasi masyarakat.

“Rabu dipilih karena secara psikologis publik tak punya alasan untuk tidak memilih karena itu pas tengah minggu. Asumsinya, hari libur di tengah minggu sibuk itu mendorong partisipasi,” ujar Wasisto.

BAGAIMANA CARA MENGATASI GOLPUT?

Golongan putih, alias mereka yang secara sadar tidak bersedia menggunakan hak pilihnya untuk mendukung calon presiden atau partai manapun, dalam sejarahnya di Indonesia muncul sebagai ekspresi protes dan kekecewaan. Istilah tersebut pertama kali muncul menjelang Pemilu 5 Juli 1971, yakni pada pemilu pertama era Orde Baru. Indonesia masih dikuasai sang diktator Suharto.

Karena sadar Golongan Karya sudah diatur menang, sekian aktivis dan mahasiswa mengajak masyarakat tidak usah memilih sekalian. Penolakan ini terhitung “ekstrem” terhadap manipulasi rezim kala itu.

1555075182871-Screen-Shot-2019-04-10-at-135417

Majalah Ekspres edisi 14 Juni 1971 menrangkan golput saat itu dirancang menjadi gerakan datang ke kotak suara, lalu menusuk kertas putih di sekitar gambar calon-calon yang tertera. Intinya, golput bukan gerakan tidak memilih karena malas ke TPS. Ada landasan politiknya. Para pencetus golput mengnggap tak ada satu calon dari partai manapun di Tanah Air yang bisa dipilih. Bahkan untuk menyebut salah satu calon “the lesser evil” seperti alasan rekan golput sekarang pun enggak bisa.

Dari tahun ke tahun, stigma buat mereka yang golput selalu negatif. Pejabat Orde Baru dulu menjuluki mereka “orang-orang apatis”. Pada pemilu 2019 ini cemoohan buat golput makin banyak lagi. Ada yang menyebut golongan putih sebagai orang-orang bodoh, benalu, parasit, hingga orang psycho-freak.

Balik lagi ke pertanyaan sering muncul di Google itu. Bagaimana cara mengatasi golongan putih? Ya enggak ada lah, kecuali calon pemimpin yang berlaga punya platform kebijakan riil. Golput ideologis selalu dilakukan kelas menengah terdidik. Sikap golput bakal luruh, seandainya kalangan kelas menengah itu percaya politik kotak suara bisa mendatangkan perubahan. Baik itu karena calonnya punya visi memimpin yang jelas, atau akhirnya muncul partai ideologis yang benar-benar bisa memperjuangkan aspirasi mereka.

Jika iklim politik beracun macam sekarang masih dipertahankan, yakni saling olok pendukung lawan dan mencemooh mereka yang tidak puas pada pilihan Jokowi atau Prabowo, jangan tanya bagaimana caranya mengatasi golput. Kenapa? Makin dimusuhi, kelompok golput bakal makin malas mendukung jagoan kalian.

KAPAN PEMILU 2019 DIGELAR?

Hadehh… catat ya, 17 April 2019. Yang tanya info mendasar beginian ke Google tuh betulan mau ikutan ke TPS, atau karena punya rencana ngebablasin cuti liburan panjang sih?

APA ITU DAFTAR PEMILIH KHUSUS?

Salah satu risiko tinggal di Indonesia adalah hidup kita penuh jargon, singkatan, atau akronim teknis. Tentara sama polisi demen tuh menyingkat-nyingkat. Tilang, hankamrata, Puslabfor, Propam, kopkamtib, danramil, dan lain sebagainya. Tragisnya lagi, sekalipun kita tahu kepanjangannya, belum tentu kita paham artinya apa. Inilah masalah dari DPT, alias Daftar Pemilih Khusus.

Begini, ada tiga jenis pemilih di Indonesia yang bisa ikutan pemilu. Jenisnya beda-beda. Ada DPT, Daftar Pemilih Tambahan (DPTb), dan Daftar Pemilih Khusus (DPK).

DPT adalah daftar pemilih berdasar rekapitulasi pemilu sebelumnya yang keberadaan orangnya disesuaikan data kependudukan di Kemendagri. Untuk pemilu 2019, KPU menetapkan ada 187 juta pemilih tetap di dalam maupun luar negeri. Sementara itu, DPTb adalah daftar pemilih yang sudah terdaftar di DPT, tapi ingin pindah tempat pemilihan suara. Alasannya macam-macam. Karena pindah rumah, sedang menjalani perawatan di rumah sakit, mengungsi karena bencana, atau sedang ditahan.

Terakhir, DPK adalah masyarakat yang punya hak pilih tapi belum terdata di DPT. Mereka bisa datang memilih membawa e-KTP, tapi hanya bisa memilih di tempat pencoblosan yang sesuai dengan alamat tinggal yang tertera di e-KTP. Sayangnya, pemilih DPK ini hanya bisa menggunakan hak pilihnya satu jam terakhir sebelum TPS tutup atau selama surat suara masih tersisa.

APA ITU FORMULIR A5?

Buat orang yang sedang tinggal jauh dari alamat di kartu identitas mereka, ini dokumen penting kalau mau tetap bisa nyoblos. Kalian wajib mengurus formulir A5 agar tetap bisa menggunakan hak pilih. Sayangnya, surat ini harus diurus setidaknya sebulan sebelum hari pencoblosan pada 17 April mendatang. Bisa dibilang inilah formulir untuk mengurus Daftar Pemilih Tambahan (DPTb).

KENAPA PEMILU PENTING?

Banyak orang barangkali serentak menjawab: karena pemilu adalah ciri khas sistem politik demokrasi. Ya, semua percaya idealnya demikian. Adanya pemilu jadi salah satu standar adanya keterlibatan rakyat dalam sebuah negara. Makanya aktivis anti Orde Baru mati-matian memperjuangkan bentuk Pemilu yang kita punya sekarang.

Pemilihan langsung, tanpa lagi ada intervensi DPR yang cuma jadi stempel penguasa, jauh lebih demokratis ketimbang masa-masa Golkar berjaya sebelum 1998.

Oke. Tapi apakah pemilu penting buat rakyat Indonesia setelah reformasi? Kenapa buat banyak orang pemilu cuma jadi ajang arisan berantai memilih sosok baru yang ngiler berkuasa lima tahunan?

https://twitter.com/Afutami/status/1114528830327156736


Tirto.id pernah menulis soal terma “pesta demokrasi”, yang di era Orde Baru dipakai sebagai kata ganti “pemilu”. Diktator Suharto—yang sukses berkuasa tiga dekade berkat ketiadaan pemilu sungguhan—menggunakan istilah tersebut saat berpidato pada 1981. Itu momen setahun sebelum “pemilu” ketiga pemerintahannya. Suharto menganggap pelaksanaan “pesta demokrasi” berperan dalam pendewasaan demokrasi sebuah negara. Tentu pidato itu hanyalah demokrasi semu. Ibarat pesta yang ada doorprize-nya, Golkar sudah diatur supaya jadi pemenang terus. Mana bisa pesertanya gembira seperti dalam lazimnya pesta?

Antropolog Schulte Nordholt menilai pemilu Indonesia pada Orde Baru hanya “ritual nasional yang sengaja didesain untuk mereproduksi rezim tanpa menentang kekuasaannya.”

Mari kita berkaca pada kondisi 2019. Apakah Pemilu penting? Mungkin jauh lebih penting buat anak muda yang peduli politik, untuk memastikan sistem pemerintahan kita berubah jadi benar-benar demokratis. Pastikan pemimpin yang terpilih melaksanakan janji kampanyenya. Lalu tidak ragu ikut berpartisipasi menolak aturan atau UU yang bermasalah. Demokrasi jauh lebih sehat ketika kekuasaan selalu dicurigai.

Atau, kalian boleh tidak peduli sama itu semua, cukup fangirling dan fanboying sama capres tertentu, dan yang penting nyoblos. Lalu, apakah pemilu penting? Mungkin. Tergantung pertanyaan lanjutan ini: penting menurut siapa dulu?

BAGAIMANA PEMILU YANG DEMOKRATIS ITU?

Ini salah satu pencarian google yang sering muncul dengan berbagai variannya. Bagaimana sih pemilu yang demokratis itu? Dari kacamata rakyat biasa macam kita, pemungutan suara bisa dianggap demokratis ketika melibatkan seluruh rakyat dewasa melakukan pengawasan.

1555075442234-Screen-Shot-2019-04-09-at-180421

Lembaga pengawas pemilu global, Carter Center, menyatakan adanya lembaga pengawas pemilu punya peranan penting membentuk persepsi mengenai kualitas dan legitimasi proses elektoral. Sementara laman USAID menilai sebuah negara tidak dapat sepenuhnya disebut demokratis, kecuali masyarakat bisa memilih perwakilan mereka lewat pemiihan yang jujur dan adil.

Proses demokratisasi yang ideal butuh waktu yang panjang, memang. Apa Indonesia sudah sampai di sana? Cuma anak muda yang bisa menjawabnya, kelak.

APAKAH PEMILU PRESIDEN 2019 BISA DUA PUTARAN? APAKAH KITA DAPAT LIBUR?

KPU menyatakan pemilihan presiden 2019 dipastikan akan terjadi dalam satu putaran. Alasannya, karena hanya ada dua pasangan calon.

Putaran kedua hanya bisa terjadi jika pasangan calon lebih dari satu orang. KPU menetapkan pasangan calon yang memperoleh suara lebih dari 50 persen, otomatis dinyatakan sebagai pemenang pilpres.

Jadi jangan ngarep ada libur tambahan lagi pas putaran kedua ya!

Arzia adalah staff writer VICE yang rutin menulis soal politik dan hal-hal absurd di sekitarnya. Follow dia di Instagram dan Twitter