VA asal Kabupaten Garut, Jawa Barat, dihadapkan pada situasi sulit sejak belum akhil balig. Ia mesti menikahi suami dengan perilaku seksual menyimpang di umur 16 tahun, lantas merelakan kegiatan seksualnya direkam dan disebar tanpa persetujuan.
Ketika melapor ke polisi karena video seksnya viral, VA malah dijadikan tersangka atas dalih menjadi “pemeran utama” video tersebut. VA adalah korban teranyar buruknya pemahaman hukum Indonesia terhadap aksi pornografi terhadap anak-anak.
Videos by VICE
Kasus video seks ini terungkap Agustus 2019. Dalam video, tampak dua orang lelaki berhubungan seks dengan seorang perempuan. Setelah diusut polisi, diketahui bahwa pemeran perempuan dijual suaminya sendiri dan dipaksa berhubungan seksual dengan sejumlah pria. Adegan ranjang itu kemudian direkam dan diperdagangkan, juga oleh si suami.
Video itu kemudian tersebar, membuat VA melapor ke polisi. Namun, polisi justru menangkapnya karena dianggap sebagai pelaku. Empat orang kemudian dijadikan tersangka. Mereka adalah VA, yang baru berusia 19 tahun ketika tertangkap, kemudian W, AD, serta suami VA yang berinisial R. Namun, penyidikan kepada R tak dilanjutkan karena yang bersangkutan meninggal pada September 2019.
Pada sidang putusan April 2020, korban perekaman video pornografi yang viral dengan judul “Vina Garut” itu dihukum tiga tahun penjara dan denda Rp1 miliar. VA dianggap pengadilan terbukti melanggar UU Pornografi. Hukumannya lebih berat dari dua pelaku lelaki lain dalam kasus yang sama. Dua pelaku lain, AD dan W, hanya diganjar penjara 2 tahun 9 bulan dan denda Rp1 miliar.
Setelah VA menerima vonis bersalah dari PN Garut, ia sempat banding ke Pengadilan Tinggi Bandung, namun kalah. Kasasi ke Mahkamah Konstitusi ini adalah usaha kesekian mencari keadilan.
Dalam permohonan kasasi, VA menyatakan ia bukan pelaku, melainkan korban. “Bahwa pemohon adalah korban eksploitasi seksual dan perdagangan orang yang dilakukan oleh almarhum suami sirinya,” demikian pernyataan dalam permohonan kasasi, dikutip dari situs MK.
VA menceritakan dirinya dinikahi R secara siri pada 2015, saat ia masih berusia 15 tahun. Tanpa terduga, sang suami ternyata sosok bejat dengan perilaku seksual menyimpang. VA dipaksa berhubungan seksual setiap hari meskipun sedang menstruasi. Kekerasan psikis juga kerap ia terima. Puncaknya, sepanjang 2017-2018 ia dijual suaminya sendiri ke lelaki hidung belang. Tak berhenti di sana, R merekam adegan seks VA dan pembeli, laku menjual videonya di internet dengan banderol Rp50 ribu.
VA menilai pasal yang disangkakan padanya bermasalah. “Bahwa pemohon adalah korban eksploitasi seksual dan perdagangan orang yang dilakukan oleh almarhum suami sirinya,” kata VA dalam permohonan yang dilansir di situs MK, sekaligus memberikan kuasa kepada Yayasan Hukum Lokataru untuk mendampinginya.
Video seks yang dijadikan dasar dakwaan kepada VA dibuat pada 2017. Artinya, saat itu korban masih berusia 17 tahun alias masih berusia anak. Saat itu, sang suami mengajak empat orang pria menyetubuhi VA, dengan tarif Rp500 ribu.
“Alih-alih pelaporannya diterima dan mendapat perlindungan dari perbuatan orang lain yang merugikan dirinya, pemohon malah dijadikan pelaku lalu ditangkap Polres Garut. Sehingga hal ini bertentangan dengan UUD 1945 Pasal 28D ayat 1 dan Pasal 28G ayat 1,” ujar gugatan yang ditulis VA, dilansir Detik.
Oleh karenanya, VA mengajukan permohonan kepada MK agar Pasal 8 UU No. 44.2008 tentang Pornografi dihapus. Pasal ini berbunyi: “Setiap orang yang dengan sengaja atau atas persetujuan dirinya menjadi objek atau model yang mengandung muatan pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp5.000,000,00 (lia miliar rupiah).”
Dalam sidang putusan sebelumnya, Ketua Majelis Hakim Hasanudin menyatakan VA divonis bersalah secara sah, sebab terbukti turut serta dalam objek pornografi. Proses pengadilan tidak menjawab aspek terpenting kasus ini, yakni apakah VA sengaja ikutan atau dipaksa ikutan dalam video tersebut. Gugatan VA ini akan bergulir selanjutnya menanti proses penomoran perkara oleh MK.
Komisioner Komnas Perempuan Thaufiek Zulbahary sedari awal menyampaikan pandangan kalau VA memenuhi kriteria sebagai korban tindak pidana perdagangan orang. “Prosesnya yang saya lihat itu ada proses mengajak ya, itu termasuk perekrutan. Yang kedua, di unsur cara sudah terjadi penyalahgunaan kekuasaan atau pemanfaatan posisi rentan VA,” kata Thaufiek kepada Tirto, pada Agustus 2019 lalu.
Eksploitasi seksual dan pariwisata seks anak adalah masalah laten di Indonesia. Lisa Moore dari The Asian Post mencatat ada 100 ribu anak dan perempuan diperdagangkan setiap tahun di Indonesia. Garut adalah salah satu zona merah dalam isu ini.
“Contoh di Garut, tim kami malam ditawarkan, mau anak SD, SMP, atau SMA. Itu yang menawarkan orang setempat. Apakah suruhan hotel atau inisiatif. Jadi [awalnya] niatnya wisata, tapi ditawari anak-anak untuk kebutuhan seks sehingga wisatawan tadi terpengaruh,” kata Ahmad Sofian, Koordinator Nasional End Child Prostitution, Child Pornography and Trafficking of Children for Sexual Purposes (ECPAT) Indonesia pada 2017.