Parenting is not for everyone. Kalau memang belum siap punya anak, mending tunda dulu deh, daripada jadi viral lewat cara yang enggak asik kayak Ira Irmawati ini. Dalam video yang mulai tersebar ke mana-mana per Minggu (15/12), Ira tampak sedang teriak-teriak marah kepada anaknya, Shafira, yang menangis ketakutan.
Kalau Anda sudah geram kok seorang ibu tega merekam anaknya dalam kondisi seperti itu, tunggu sampai Anda tahu alasannya: Ira berlama-lama membentak Shafira karena anak SD itu “hanya” dapat ranking tiga di kelas, saat hasil belajarnya dibagikan sekolah.
Videos by VICE
Dari video di atas, Anda akan mendapati bagaimana lengkingan suara Ira sanggup menyaingi sambaran petirnya Gundala. Teriakan itu bikin anaknya gemetar takut. Sembari mempertanyakan bagaimana mungkin anaknya tidak ranking pertama, ia menyiksa Shafira dengan memaksanya menyebutkan nama pemilik ranking pertama sampai keenam di kelasnya.
Video tersebut tersebar di internet dan langsung dapat penghakiman. Merespons cepat, pihak sekolah segera melakukan jumpa pers dan meminta Ira meminta maaf secara terbuka. Setelah nonton, selain alasan “khilaf” yang dipakai sudah klise, saya malah makin kesal ngeliat cara doi minta maaf.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) berpendapat kejadian semacam ini adalah bukti bahwa sistem memberi beban mental ke orang tua dan urgensi untuk program Merdeka Belajar milik Mendikbud semakin kuat. Ye, malah promosi.
“Ini sebenarnya salah satu bentuk atau kondisi stres yang banyak terjadi di masyarakat kita seperti yang tersebut di atas,” Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Masyarakat Kemdikbud Ade Erlangga kepada Detik. “Stres atau tekanan atau pemaksaan yang kurang bermanfaat tidak hanya terjadi (di) guru, tapi juga berdampak pada orang tua yang ingin memperoleh status orang tua yang berhasil atau hebat, bila anaknya memperolah juara kelas dan lain-lain.”
VICE bertanya kepada Intan, ibu tiga orang anak yang rela berkeliling ke sepuluh sekolah sebelum memutuskan sekolah mana yang ia pilih untuk anaknya. Sekarang, ia sudah dua tahun menyekolahkan anak tertuanya di SD Nasional Satu (Nassa) Bekasi yang tidak menerapkan sistem ranking. Menurutnya, sistem ranking di sekolah dasar kurang penting.
“Karena aku sama suami kan penginnya anak sekolah (SD) itu buat seneng aja. Tujuan kita itu, biar happy gara-gara belajar sambil main. Bukan belajar doang, tapi menikmati proses belajarnya (tanpa tuntutan ranking). Aku dan suami yakin setiap anak pasti punya kelebihan dan kelemahan masing-masing. Jadi, kalau dulu kan orang tuaku nge-push aku belajar (salah satunya) biar dapat ranking. Kalau sekarang, aku nge-push anakku belajar supaya dia bisa. Aku nggak mau nargetin anak harus jadi nomor satu,” ujar Intan.
Adi Gunawan dalam bukunya Apakah IQ Anak Bisa Ditingkatkan? menjelaskan dampak buruk sistem ranking dalam sekolah. Menurutnya, dikutip dari Tirto, saat sebuah kelas terdiri dari 40 anak, maka semakin rendah rankingnya berarti semakin bodoh anak itu. Anak berpikir secara linier dan cenderung akan menerima kenyataan bahwa ia bodoh karena berada di ranking bawah. Merasa bodoh kemudian tak jarang membuat motivasi belajar menurun.
Sedangkan, siswa di peringkat atas mendapat beban mental karena takut rankingnya turun. Ada beberapa kasus yang diamati Adi bahwa beban mental ini lantas membuat kondisi psikis siswa terpuruk dan kondisi tubuhnya menurun.
Jadi, apakah ini saatnya menuntut pemerintah untuk memusnahkan sistem ranking yang toxic dari dunia pendidikan Indonesia?