Viralnya Meme Setnov Bisa Menyulut Gerakan Antikorupsi Massif (Mudah-Mudahan)

Inilah drama tiada akhir, dan hal-hal yang bikin kita sebal dari politikus kontroversial multi-skandal dekade ini: Setya Novanto!

Sepekan ini masyarakat Indonesia ramai memperbincangkan Setya Novanto. Tidak pernah dengar namanya? Mustahil! Beberapa bulan terakhir nama Novanto jadi buah bibir terkait ‘kesaktiannya’ dari status tersangka mega korupsi e-KTP. Novanto yang kerap lolos dari jeratan hukum dianggap sakti, dan warga dunia maya coba melawannya. Terutama setelah Hakim Cepi Iskandar mengabulkan sidang praperadilan atas penetapannya sebagai tersangka.

Lalu, hmmm… ya namanya juga Indonesia, kayak engga tau aja kalau Indonesia diberkahi oleh warganet yang paling kreatif sejagad raya. Daripada capek-capek nyari tahu apakah Papa Setnov sakit beneran atau pura-pura, warganet memilih merespon foto dengan meme dan twit-twit banyol yang bejibun banyaknya. Selain beredarnya meme, warganet pun melawan dengan hashtag #ThePowerofSetyaNovanto yang sukses beberapa hari bertengger di puncak trending topic nasional.

Videos by VICE

Dalam hashtag tersebut, kebanyakan pengguna Internet membuat serangkaian meme atau twit satire yang jenaka sekaligus menyindir. Pengamat sosial media Nukman Luthfie berpendapat bahwa ekspresi satire warganet adalah bentuk kekecewaan warganet terhadap penegakan kasus Novanto. “Setnov kan terbukti ‘sakti’ sampai hari ini selalu lolos. Sehingga publik hanya bisa mengungkapkan kekecewaan dengan twit jenaka,” kata Nukman. “Sebetulnya kalau kita dalami betul, twit tersebut adalah bentuk kekecewaan mendalam.”

Kekesalan warga bisa dipahami. Lolosnya Novanto dari jerat hukum bikin semua masyarakat Indonesia kesal bukan main. Soalnya, politikus satu ini selalu lolos dari jerat hukum! Mulai dari kasus lawas seperti perkara hak tagih piutang Bank Bali; kasus yang agak kurang terkenal seperti perkara limbah di Pulau Galang; kasus high profile Papa Minta Saham yang turut menyeret nama Presiden Jokowi; sampai kasus korupsi dengan angka penyelewengan super gigantik sampai Rp2 triliun lebih. Setya Novanto selalu lolos!

Yang membuat kasus ini menarik adalah manuver Setnov jelang putusan Praperadilan. Sebelum putusan jatuh, Novanto ceritanya hidup di antara berbagai tekanan. Bagaimana tidak? KPK terus melayangkan panggilan. Pada saat yang sama banyak orang mendesak dia turun dari jabatan sebagai Ketua Umum Partai Golkar. Di sisi lain, sidang praperadilan belum kelar-kelar. Walhasil, saking tertekannya Novanto, dia ceritanya jatuh sakit. Cian.

Konon, Novanto menderita beberapa penyakit seperti jantung, stroke, vertigo, gula darah, dan gangguan ginjal. Masyarakat pun jadi makin skeptis atas kondisi Novanto. Pasalnya, alasan sakit tuh klasik banget bagi para koruptor yang ingin mangkir diperiksa aparat. Novanto pun jadi sasaran perundungan sejagad internet. Untuk menepis kecurigaan khalayak, Setnov memviralkan sebuah foto yang menampilkan ia sedang terbaring lemah di kasur Rumah Sakit. Bukannya berhasil meyakinkan, foto itu malah jadi senjata makan tuan. Foto Novanto yang terbaring di rumah sakit sambil dipasangi alat-alat kedokteran tersebut dianggap janggal sehingga muncul pertanyaan apakah Setnov benar-benar sakit atau pura-pura sakit?

Marah karena Setnov itu satu hal. Tapi apakah meme bisa memicu kesadaran yang lebih besar pada masyarakat, khususnya anak muda, untuk melawan praktik korup di negara kita?

Peneliti Bidang Hukum Indonesia Corruption Watch (ICW), Lalola Easter, meyakini meme itu punya dampak. Seremeh-remehnya meme dan trending topic yang dibuat masyarakat internet sebagai bentuk reaksi dan kritik sosial yang harus dipantau serius. “Candaan-candaan kayak gitu rupanya cukup mengganggu politisi. Minimal mereka harus nyiapin klarifikasi lah,” kata Lalola. “Setelah meme Setnov di rumah sakit jadi viral, Golkar kemarin sampai bikin pernyataan.”

Lalola menyatakan, suka tidak suka, wacana publik era ini ditentukan juga lewat meme yang viral dan hashtag yang menjadi trending di media sosial, dengan demikian, sebuah isu bisa terus bergulir dan dibicarakan publik. “Jadi seremeh-remehnya meme, kalau kontennya bisa dikapitalisasi baik, bisa jadi senjata menarik buat menggerakkan perlawanan. Dalam hal ini perlawananan terhadap koruptor.”

Pengajar Komunikasi di Universitas Multimedia Nusantara, R. Kristiawan berpendapat ada beberapa alasan Kasus Setya Novanto jadi sasaran berondong peluru warganet. “Karena dia ini wakil rakyat, selain itu masyarakat geram karena Novanto orang yang banyak dalih,” katanya kepada Vice Indonesia.

Meskipun kekuatan massa di media sosial besar, Kristiawan ragu bahwa pasukan online akan punya dampak untuk mengubah suatu kebijakan. Menurutnya, gerakan perlawanan di internet lewat media sosial atau petisi online memang penting, tapi pergerakan di dunia maya harus sejalan dengan reaksi nyata dalam bentuk aksi. “Kita bersyukur ada gerakan online. Keduanya (online dan offline) penting dan selalu melengkapi” kata Kristiawan.

Hal senada diungkapkan oleh Lola. Keramaian di dunia maya juga harus tercermin di dunia nyata. “Mentang-mentang di internet udah rame, trus kita jadi nyinyir sama orang yang turun ke jalan. Engga kayak gitu maksudnya. Kita enggak boleh nyinyir kalau ada orang turun ke jalan protes ini protes itu. Ini masalahnya kasus korupsi di Indonesia udah separah ini, jadi kita harus coba segala cara untuk melawan.”

Masalahnya apakah sekadar aksi dan turun ke jalan cukup?

Atau, sebelum masuk ke pertanyaan itu, mending jawab dulu pertanyaan ini:

Apakah ada orang yang mau turun ke jalan mendukung gerakan melawan korupsi? Jawabannya tentu ada. Tapi berapa besar? Sebesar aksi 411 & 212 dan kawan-kawan kah?

Menurut Lalola, mendorong banyak orang untuk turun ke jalan mendukung gerakan antikorupsi sekarang-sekarang ini adalah sesuatu yang sangat sulit dilakukan. “Polanya sudah banyak berubah kalau dibanding dengan zaman dulu,” katanya. Ia menyebut beberapa poin yang membuat aksi-aksi jalanan kurang laku di era sekarang.

Poin-poin yang pesimis itu kami rangkum dan jabarkan sebagai berikut:

Tak ada identifikasi musuh bersama

Sesudah reformasi 1998, situasi nasional banyak berubah. Kalau dulu ada sosok mantan Presiden Suharto yang dijadikan musuh bersama oleh pergerakan.Suharto menjadi personifikasi rezim otoriter. Suharto tumbang, maka tumbang pula rezim yang represif. Orang-orang yang berbeda golongan dan latar belakang punya alasan untuk bersatu karena adanya musuh bersama

“Sekarang sosok musuh bersama itu enggak ada,” kata Lalola. “Bentuk represi di era sekarang tak lagi segamblang dulu. Kalau dulu musuhnya jelas, sekarang tidak begitu.” ia menambahkan. Konsekuensinya, di masa sekarang tak mudah membuat orang bersatu dan maju bersama.

Aksi dan turun ke jalan dipandang tidak lagi efektif

Keberadaan internet juga mengubah pola pergerakan. Dalam konteks membangun gerakan, internet bak pedang bermata dua. Di satu sisi ia memudahkan pertemuan antar simpul dan jaringan. Di sisi lain, ia membuat orang-orang malas melakukan aksi nyata.

“Banyak yang beranggapan media sosial lebih berpengaruh daripada aksi-aksi lain. Itu menimbulkan preseden buruk, dengan ngeklik-ngeklik orang merasa udah ikut dalam gerakan, padahal enggak seperti itu,” katanya. “Bagaimanapun juga media sosial adalah alat. Salah besar menganggap berhasil memakai alat sebagai suatu pencapaian.”

Kerja-kerja offline perlu dilakukan. Ikut berdiskusi, berdebat, membangun wacana, menetapkan target-target gerakan, dan berjejaring perlu dilakukan. “Dengan terlibat, kita jadi tahu fenomena yang sedang terjadi,” kata Lalola.

Kalau sudah ada niat beraksi turun ke jalan, sebaiknya aksi itu tak dilakukan setengah-setengah. Sebab kalau nanggung, imbasnya buruk bahkan buat peserta aksi itu sendiri. Aksi sebaiknya punya target. “Minimal minta audiensi lah,” kata Lalola. Kalau sekadar aksi-aksi saja, bisa jadi kurang efektif. “Kalau sedikit yang datang, kemungkinan diliput media juga kecil karena nilai beritanya kurang.”

Kelompok masyarakat madani tidak melakukan pengorganisasian di level akar rumput

Kelemahan pergerakan kelompok-kelompok civil society pada umumnya adalah mereka alpa melakukan pengorganisasian di level masyarakat atau mahasiswa. Organisasi-organisasi pengawal isu antikorupsi atau penegakan Hak Azasi Manusia lebih fokus pada advokasi kebijakan ketimbang membangun basis massa yang kuat.

Inilah hal utama yang membedakan gerakan antikorupsi atau penegakan HAM dengan kelompok-kelompok yang setahun lalu menginisiasi aksi 411, 212, dan kawan-kawan. Cara kerja mereka berbeda. “Menurut saya, aksi 411 dan 212 bisa sebesar itu karena mereka menjalankan kerja-kerja offline dengan sangat baik. Mereka punya banyak grup sel yang bekerja lewat kelompok-kelompok pengajian dan majelis Taklim, jadi ketika di online ramai, kerja offline-nya langsung cepat menyusul,” kata Lalola.

Poin ini, kata Lola, juga jadi otokritik bagi organisasi-organisasi masyarakat madani secara umum. “Isu antikorupsi ini enggak punya basis massa. Kalaupun ada, enggak diorganisir dengan baik.”

Untuk menambal segala kekurangan ini, menurut Lola salah satu hal yang perlu dilakukan adalah menggeser atau memperluas fokus kerja. Adalah hal yang tak tepat mengarahkan fokus kerja hanya pada perubahan di level legislastif dan eksekutif. Bagaimanapun juga kekuatan perubahan ada di tangan warga.

“Membangun kesadaran masyarakat itu penting,” kata Lola. “Sehingga kalau suatu hari ada yang haknya terlanggar, warga tidak tinggal diam apalagi cuma ngomong: ‘yah emang negara kan kayak gitu’.”