Μουσική

Wahai Kaum Puritan, Hipster Bukan Penyebab Musik Hip Hop Jadi Seperti Sekarang

Saya selalu terhibur membaca artikel di Internet yang isinya marah-marah, karena musisi hip hop kekinian dianggap gagal menjaga marwah dan kesucian nilai genre ini. Dari berbagai tulisan macam itu, satu artikel secara khusus menarik perhatian saya. Tulisan ini menarik karena selain menggerutu dan mengeluhkan mutu musik hip hop masa kini, si penulisnya mengkambinghitamkan satu golongan sebagai pemicu semua dekadensi tersebut: kaum hipster.

Tulisan itu awalnya agak menjanjikan, membahas pentingnya rapper muda lebih banyak lagi mengangkat topik rasisme dan konflik antar kelas (tentu saja ini argumen yang bagus, siapa mau membantah?!). Tapi, setelah beberapa paragraf, yang terjadi kemudian penulis itu memaksakan utopianya sendiri. Dalam bayanganya, KRS-One akhir dekade 80’an sudah nyaris berhasil melakukan revolusi sosial di Amerika Serikat, andai lembaga intelijen macam NSA dan CIA tidak mencekoki anak muda dengan hip hop sampah, yang kini berkembang biak jadi crunk atau trap.

Videos by VICE

Saya menyukai orang yang kelewat percaya diri, sehingga merasa berhak menentukan siapa saja yang boleh menggemari atau mengapresiasi hip hop. Sebenarnya artikel yang saya tautkan di atas itu nyebelin karena lebay dan berbelit-belit. Enggak terlalu layak juga kita bedah. Tapi ada satu istilah yang mengganggu banget buat saya. Ya itu tadi, pemakaian istilah ‘hipster’ sebagai biang kerok kemerosotan mutu hip hop di AS dan berbagai negara lain saat ini. Kenapa saya sampai sebal dan memutuskan menulis esai tandingan kayak gini? Karena hipster itu enggak ada di dunia nyata coy. Spesies macam apa sih hipster itu?

Mari kita bicara konteks Amerika saja deh. Benarkah pernah ada mahluk dengan ciri-ciri seperti hipster di Negeri Paman Sam? Menurut saya, satu dekade lalu, kira-kira awal 2000-an, kayaknya pernah ada yang semodel gituan. Itupun juga cuma mirip doang. Beberapa penanda utama biasanya mereka pakai baju-baju second American Apparel, terus minum bir PBR, naik sepeda Fixie ke mana-mana, dan musik yang mereka sukai adalah semua rilisan band Interpol.

Coba lihat sekitarmu sekarang, emang masih ada bocah kayak gini? Enggak lah. American Apparel cuma jadi brand clothing biasa, tak beda dari Uniqlo atau Zara. Kemudian PBR sekarang dikenal sebagai bir murahan. Fixie pun masih ada, tapi cuma jadi satu dari sekian mazhab gaya sepedaan. Semua merek tadi pernah dianggap cult, dianggap budaya perlawanan, tapi ya sekarang sudah lumayan arus utama.

Buat saya, labelisasi ‘hipster’ sebetulnya adalah konstruksi fiktif aja sih. Ada orang yang, atas alasan apapun, butuh kambing hitam. “Woy, kira-kira siapa yang cocok kita maki-maki? Gimana kalau Hipster aja? Oke mari menyalahkan hipster.” Begitulah cara pikirnya. Hipster tuh sekarang bahkan sudah jadi target kompilasi bejibun stereotipe. Dituding vegan dan benci pemakan daging lah, cuma mau minum craft beer, atau dalam konteks Indonesia, biasanya pemakaian istilah ‘hipster’ untuk melabeli manusia yang seliweran di Museum MACAN, biasa mampir belanja di Santa, terus malamnya nongkrong di Mondo.


Tonton wawancara VICE bersama Ramengvrl yang pernah galau ketika hendak meninggalkan dunia korporat demi rap:


Balik lagi ke artikel yang memuja kesucian hip hop di atas, hipster dipersalahkan karena mereka sebetulnya tidak paham akar budaya genre ini. Hipster, oleh si penulis artikel, dimaki-maki karena sok menulis soal hip hop serta datang ke festival musik macam Coachella untuk menonton musisi hip hop.

Saya membayangkan cara pikir si penulis artikel di atas kayak gini: “Rap tuh musik yang seharusnya A-B-C-D sampai Z, tapi sekarang dirusak oleh gerombolan hipster yang demen permakultur, ngomongnya penuh code switching, dan sekarang lebih suka kaset pita daripada vinyl. Dasar hipster anjing!”

Makin kita marah-marah sama hipster, masalahnya, semakin kita tidak punya definisi yang konkret sebetulnya hipster tuh apaan. Coba aja deh tanya sama orang yang sering menunjukkan ketidaksukaan terhadap hipster, apa sih definisinya?

Yang lebih lucu lagi, orang dengan ciri-ciri yang saya singgung di atas ikutan membenci hipster. Kan berabe tuh. Pernah lho, saya ketemu seniman tato naik sepeda fixie, di tengah obrolan dia bilang benci banget karena sekarang di New York banyak hipster. Begitu juga lelaki kulit putih yang saya temui di Brooklyn. Dia bilang sekarang banyak hipster di kawasan stasiun kereta bawah tanah. Saya jelas hipster (karena menulis buat VICE) dan setelah baca-baca keluhan orang, saya ikutan membenci hipster. Hipster anjing lah pokoknya.

Tapi, untuk kasus Amerika Serikat, setelah saya lacak ternyata hipster adalah labelisasi yang kelewat luas untuk ‘bocah kulit putih tajir’. Karena tajir dan punya akses, mereka dianggap suka mengapropriasi (alias menjajal) berbagai subkultur yang sebetulnya mereka enggak relate atau punya akar di dalamnya. Setelah dipikir-pikir lagi, ternyata labelisasi hipster berkaitan sama bias kelas dan warna kulit. (Kalau di Indonesia, mengingat hipster identik dengan bocah-bocah Jakarta Selatan, maka sentimen yang dibangun sebetulnya terkait ketimpangan sosial dan privilese kelas).

Si penulis artikel itu akhirnya memang tidak sadar kalau biasnya berpengaruh cukup besar dalam membangun argumennya. Dia memang menuliskannya hipster, tapi yang dia maksud merusak hip hop adalah para jurnalis musik kulit putih yang kerja di SPIN, Gawker, Fader, dan Pitchfork. Padahal, buat peminat jurnalisme musik, tiap-tiap media tadi punya ciri khas berbeda. Pilihan musik tiap editor kerasa tidak sama. Satu-satunya persamaan adalah semuanya adalah situs musik. Lantas, kenapa media-media itu yang dianggap sebagai ‘hipster’? Kan aneh. Apa maksudnya yang diserang jurnalis kulit putihnya?

Intinya, saya bisa hipkoprit juga sih. Dulu saya pernah menulis beberapa opini soal siapa yang sebaiknya tidak menulis soal rap. Tapi konteksnya saya tidak sedang menyalahkan golongan tertentu, lebih-lebih hipster. Siapapun yang berniat menulis soal hip hop sebaiknya punya pengetahuan dasar soal subkultur ini. Dari mana kau berasal tidak terlalu penting. Selama kamu serius melakukan riset dan digging, kau pasti akan kompeten untuk menulis hip hop. Contohnya saja blog Southern Hospitality, penulisnya tinggal di London tapi dia bisa menulis apa saja tren terbaru di kancah hip hop Amerika Serikat tanpa terkendala jarak.

Begitulah. Saya sedang menulis iklan layanan masyarakat. Kalau memang kamu pernah marah-marah sama hipster, coba pikir lagi deh. Ingat-ingat dulu, kalian sebetulnya marah atau sebal secara spesifik sama siapa? Kalau yang kamu benci itu orang kulit putih dari kelas sosial tertentu, tentukan sikap. Kalian sebel karena warna kulitnya atau karena kelas sosial dan kekayaannya yang bisa memberi banyak akses? Kan lebih enak kalau kita marah secara tepat sasaran.

Kalau emang kalian sebel sama bocah yang demen nongkrong di Kemang atau Cipete karena mereka tajir dengan ngandelin trust fund ortunya, ya gapapa. Itu hak kalian. Tapi jangan dicampur-campur jadi “semua salah hipster”. Hipster adalah istilah yang sekarang sudah kehilangan maknanya. Slang yang udah ga dipakai lagi karena trennya lewat. Jangan jadi pengecut dengan tidak lugas menunjuk sosok yang jadi penyebab kekesalanmu.

Kalau kamu benci rapper yang kumur-kumur, punya tato di wajah, dan demen pakai celana pendek ketat, ya gapapa. Sebut aja begitu. Kecam mereka dan ingatkan publik kalau album rap terbaik masih Illmatic. Seriusan. Tapi, sekali lagi, jangan kambinghitamkan hipster. Sebab manusia macam itu tidak ada di dunia nyata.


Skinny Friedman adalah penulis lepas, DJ paruh waktu, serta penyayang kucing yang tinggal di Brooklyn. Dia bisa kalian ajak ngobrol lewat akun Twitter @skinny412.

Artikel ini pertama kali tayang di Noisey