Walau Sel Mewah Berulang Kali Terkuak, Ide Membuang Koruptor ke Pulau Terpencil Bukan Solusi

Kapan sebuah penjara tak lagi berfungsi sebagai penjara? Berkaca pada kasus yang terkuak di Indonesia sepekan belakangan, situasi tragis itu muncul ketika narapidananya bisa leluasa memegang kunci sel masing-masing. Atau leluasa berpindah ke sel palsu, ketika digelar inspeksi mendadak. Temuan Setya Novanto dan Nazaruddin, dua koruptor ternama, pindah ke sel lain saat didatangi kru acara televisi Mata Najwa, menjadi tamparan keras bagi Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia yang dipermalukan berulang kali dua pekan belakangan.

Lapas Sukamiskin, penjara khusus narapidana korupsi di Bandung, Jawa Barat, terutama jadi sorotan media karena terbukti menyediakan fasilitas mewah bagi napi-napi berkantung tebal yang mencederai rasa keadilan. Berkat fasilitas wah ini, para napi bak sedang pindah tempat tidur saja alih-alih menjalani masa hukuman. Ingat, praktik di Sukamiskin bukan barang baru. Narapidana kakap macam Artalyta Suryani, Freddy Budiman, atau Gayus Tambunan sebelumnya sudah kepergok membayar puluhan hingga ratusan juta agar hidup di sel mewah sejenis.

Videos by VICE

Tentu kita tidak bisa lupa, semua sorotan ini terkuak berkat operasi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang mendapati dua napi pidana korupsi Fahmi Darmansyah dan Andri Rahmat hidup dalam sel tahanan yang lebih menyerupai isi apartemen mewah. Masing-masing sel yang ditempati keduanya dilengkapi dengan TV layar datar, sebuah alat pemanas air, sebuah microwave dan pendingin ruangan yang barangkali dinyalakan jika suhu dalam sel tengah panas-panasnya. Bahkan di negara yang terkenal korup seperti Indonesia (sampai saat ini, Indonesia hanya mendapat skor 37 dari 100 poin bila mengacu skala negara bersih korupsi yang dirilis lembaga Transperency International), temuan penyidik KPK ini masih tetap mengejutkan publik.

Mengacu pada temuan KPK, asal-muasal sel mewah di Sukamiskin adalah sebagai berikut: para napi korupsi yang mendambakan kehidupan dalam penjara yang mentereng tinggal mengirim “hadiah” mahal—bentuknya bisa uang tunai, mobil atau bareng lainnya—untuk mendapatkan segala macam barang-barang mewah dalam sel mereka.

Kendati nyaris setengah penduduk Indonesia tak tertarik membicakan politik, mereka tak sepenuhnya buta dengan korupsi yang terang-terangan dilakukan oleh pejabat negara. Ada semacam rasa kurang percaya yang mereka tunjukan melalui sentimen “pelaku korupsi masih bisa jadi pejabat dan hidup lebih nyaman dibanding narapinda lain.”

Sentimen inilah yang menyebabkan pemberitaan temuan terbaru KPK di lapas Sukamiskin tak terlalu mengejutkan—meski tetap menghibur dan sensasional. Fahmi Darmansyah, yang menjalani hukuman karena terbukti bersalah dalam kasus penyuapan pejabat Bakamla, bersama napi lainnya Andri Rahmat membayar uang sebesar Rp60 juta dan menghadiahkan dua mobil mahal kepada kepala lapas Sukamiskin, Wahid Husein. Hadiah-hadiah yang royal digelontorkan oleh Fahmi dan Andri adalah tiket bagi gaya hidup mewah yang tetap bisa mereka nikmati di hotel prodeo.

Penangkapan Husen dan fakta-fakta baru dari Sukamiskin memicu kegeraman penduduk Indonesia. Namun, sejatinya, narasi tentang kehidupan penjara yang dilakoni napi korupsi bukan berita baru sama sekali. Malah, narasi tersebut sudah jadi rahasia umum sampai-sampai wakil ketua KPK Saut Situmorang blak-blakn menyebut biaya “renovasi sel” umumnya berkisar antara Rp200-500 juta. Tidak jauh beda dari masa ulah ugal-ugalan napi macam Artalyta atau Gayus mengejutkan publik nyaris 10 tahun lalu.

Wiranto, selaku Menteri Koordinator Bidang Hukum, Politik, dan Keamanan, lantas melempar ulang ide lama, yakni menyiapkan penjara khusus koruptor di pulau terpencil. Publik harus ingat, gagasan macam itu terkesan populis tapi bukan solusi tepat. Berikut alasannya.


Tonton dokumenter VICE mengenai kompetisi pertarungan di penjara Thailand untuk mengurangi masa tahanan napi:


Mari kita ingat kisah Hutomo Mandala Putra (Tommy Soeharto) pada 2002. Tommy dihukum atas kasus pembunuhan hakim Kartasasmita, dan dia menjalani hukumannya di Nusakambangan. Penjara ini terkenal dilengkapi keamanan tingkat tinggi, tapi aturan ini tidak berlaku bagi Keluarga Cendana. Sel penjaranya memiliki fasilitas lengkap, mulai dari televisi layar datar, dapur, kamar mandi dengan shower, sampai sofa. Dia bahkan boleh menggunakan ponsel dan laptop. Istri dan anak Tommy bebas mengunjunginya kapan saja mereka mau. Ruang besuknya dilengkapi sofa berbentuk L, bufet, lemari es, dan masih banyak lagi perabot mewah lainnya.

Kasus Tommy sudah cukup membuktikan kalau napi masih bisa dapat pelayanan mewah di daerah terpencil? Tidak peduli betapa terpencil daerahnya, kalau tidak ada niatan memperbaiki sistemnya, maka selamanya akan tetap korup juga.

Kasus Freddy Budiman, seorang gembong narkoba yang dieskusi mati pada 2016, juga menunjukkan kalau masalah terbesar ada pada relasi napi-sipir yang diperantarai uang. Tak cuma dapat fasilitas sel yang melimpah, Budiman juga dibuatkan sebuah‘ Bilik Asmara,’ tempat dirinya menggunakan obat-obatan dan bercinta

dengan mantan kekasihnya, model Vanny Rossyane. Takjauh berbeda dengan gembong narkoba legendaris Pablo Escobar, Budiman dengan leluasa mengelola bisnis haramnya dari dalam sel penjara hingga berhasil menyelundupkan dua juta pil ekstasi dari Tiongkok dan Belanda.

Arswendo Atmowiloto, penulis yang pernah merasakan kehidupan penjara di Cipinang, membenarkan keberadaan bilik asrama yang dimanfaatkan napi macam Budiman. “Begitu kebutuhan seksnya ada, dan dia punya duit ya jadi… Bukan rahasia kalau tempatnya tertutup begitu, orang di situ 24 jam” katanya.

Atau ingat kasus Gayus Tambunan? Meskipun sel penjaranya tidak mewah, tapi kasusnya menyoroti betapa bobroknya pengawasan penjara di Indonesia. Tambunan dipidana karena kasus penyuapan, pencucian uang, dan tindak pidana lainnya yang membuatnya disebut mafia pajak pada 2010. Dia seharusnya mendekam di Rutan Mako Brimob, Depok, tapi foto yang beredar menampilkan Tambunan sedang asyik menonton pertandingan tenis di Bali. Penyamarannya yang payah membuatnya mudah dikenali. Setelah pihak berwenang mengonfirmasikan bahwa pria di foto tersebut memang Tambunan, barulah terungkap kalau ini bukan kali pertamanya dia “bebas” dari penjara. Sebelumnya, dia pernah menyuap Kepala LP agar dia bisa keluar setiap beberapa minggu sekali. Kepala LP yang dihuni Gayus berhasil disuap dalam jumlah besar, mulai dari Rp10-Rp114 juta.

Artinya, langkah pertama bila pemerintah ingin membenahi lapas adalah jujur. Lebih tepatnya, jujur mengakui kalau penjara di Tanah Air diatur oleh uang. Jika Kemenkumham terus berdalih ini semua adalah perilaku korup orang per orang, maka di masa mendatang kasus sel mewah bakal kembali terkuak.

Muhammad Syafii, anggota DPR, mengklaim bahwa bisnis penyediaan fasilitas mewah di penjara sudah pasti berlangsung secara sistematis dan melibatkan sejumlah pejabat di lingkungan Kementerian Hukum dan HAM.

“Membangun lapas dengan kapasitas seperti hotel itu bukan pekerjaan satu hari dan bukan satu orang,” ungkapnya. “Jadi tidak mungkin tidak diketahui Menkumham atau Dirjen Lapas.” Syafii juga mengaku bahwa masalah ini sudah berulangkali dibahas di DPR, namun tak pernah ada upaya untuk mengevaluasi sistem penjara di Indonesia. Dengan begitu, produk hukum akan lebih berdampak mengubah situasi di lapas dibanding penjara terpencil atau sekadar bikin sidak rutin yang lebih tepat disebut respons tambal sulam.

Kita tidak boleh lupa pada kesaksian Sigit Priambodo dipenjara selama 16 bulan di Bandung karena menyebarkan konten pornografi. Dalam blog pribadinya mantannapi.com, dia menulis pengalamannya selama di penjara.

Tulisan berjudul “Pengalaman 500 Hari Hidup di Penjara” membeberkan penyuapan skala kecil yang biasa terjadi di penjara. “Ditahanan saya tahu bahwa uang adalah raja. Saya tahu banyak pungutan-pungutan liar yang dilakukan,” tulisnya. “Tiap hari ada jatah preman ke Polisi yang jaga dengan besaran ratusan ribu rupiah per hari agar kita diberi kebebasan. Sel akan dibuka, ada air panas, alat komunikasi seperti HP juga tidak dirazia dan penjual makanan dari luar juga boleh masuk.”

Sri Puguh Budi Utami, Direktur Jenderal Pemasyarakatan, berjanji bahwa kasus Sukamiskin menjadi yang terakhir. Dia akan mengundurkan diri kalau tidak ada perubahan. Dia telah merencanakan proses ‘evaluasi dan revitalisasi’ yang akan dilaksanakan baik di dalam maupun di luar LP, walau belum menjelaskan detail seperti apa realisasinya.

Kesaksian Sigit menunjukkan bila situasi pengelolaan lapas dulu hingga sekarang tak banyak berubah. Mengatur peredaran uang yang mengikat sipir dan narapidana, serta tidak lagi menoleransi pemisahan narapidana korupsi ke sel-sel berbeda, adalah awal yang lebih masuk akal. Membuang koruptor ke pulau terpencil justru bukan solusi.