Sebanyak 27 ribu rumah di 10 kabupaten dan kota Kalimantan Selatan (Kalsel) terendam banjir setelah Sungai Barito meluap karena tak sanggup menampung curah hujan tinggi 10 hari berturut-turut. Total area terendam seluas 181 ribu hektare terendam atau 4 persen luas Kalsel. Per 16 Januari, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat 112.709 jiwa terpaksa mengungsi.
Presiden Joko Widodo menyebutnya sebagai banjir terparah di Kalsel dalam 50 tahun terakhir, sembari menggarisbawahi curah hujan tinggi biang keladinya. Pernyataan ini membuat keributan banjir yang biasa berporos di Jakarta terpantau pindah ke Kalsel.
Videos by VICE
“Curah hujan yang sangat tinggi hampir 10 hari berturut-turut sehingga daya tampung Sungai Barito yang biasanya menampung 230 juta meter kubik, sekarang ini masuk air sebesar 2,1 miliar kubik air,” kata Jokowi saat meninjau lokasi banjir, dilansir Republika.
Pernyataan ini dianggap organisasi lingkungan insensitif. Jokowi dianggap mengesampingkan faktor lain yang menyebabkan semua air hujan tumpah ke sungai: daerah serapan air makin berkurang akibat alih fungsi lahan. Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Nasional Nur Hidayati menyebut, menyalahkan hujan tanpa melihat faktor lain akan menimbulkan pemahaman publik yang salah.
Banjir bandang ini membuat deforestasi skala masif di Kalimantan kembali disorot. Enggak usah jauh-jauh lihat data peneliti luar negeri, Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) melaporkan emang ada alih fungsi lahan yang signifikan antara 2010-2020. Misalnya luas hutan primer di Kalsel berkurang 13 ribu hektare, hutan sekunder berkurang 116 ribu hektare, sawah berkurang 146 ribu hektare, dan semak belukar berkurang 47 ribu hektare.
Sebaliknya, area perkebunan bertambah 219 ribu hektare dalam 10 tahun terakhir. Secara spesifik, LAPAN menyebut kini ada 650 ribu hektare perkebunan di sepanjang daerah aliran sungai (DAS) Barito.
Dari data ini, Nur Hidayati menjelaskan dampaknya: tanpa hutan, daya serap tanah terhadap air hujan semakin berkurang. Hal ini membuat aliran air permukaan semakin besar. Aliran yang besar menggerus tanah untuk ikut masuk ke sungai, menyebabkan sedimentasi. Sedimentasi bikin daya tampung sungai berkurang, berkontribusi langsung pada banjir.
“Jadi, posisi pemerintah yang hanya menyalahkan hujan tanpa melihat kerusakan hutan, yang notabene merupakan akibat dari pemberian izin-izin eksploitasi hutan oleh pemerintah sendiri, akan terlihat sebagai upaya untuk menghindarkan diri pemerintah dari kesalahannya. Bencana banjir bukan takdir, bukan kehendak alam, dan bisa dicegah,” kata Nur Hidayati kepada VICE.
Walhi meminta pemerintah menyelesaikan akar masalah lewat beberapa cara. Pertama, memanggil perusahaan industri ekstraktif, apalagi yang diduga ilegal, yang dinilai berkontribusi pada banjir. Kedua, mengevaluasi kebijakan pemberian izin usaha dengan menghitung ulang daya dukung dan daya tampung wilayah.
“Kalau operasi industri tersebut sudah melewati daya dukung, ya mesti dikurangi luas wilayah eksploitasinya, dan tidak memberikan izin baru,” tambah Nur Hidayati. Ketiga, meningkatkan kapasitas warga dalam kesiapsiagaan menghadapi risiko bencana.
Kritik lebih keras datang dari Direktur Eksekutif Walhi Kalsel Kisworo Dwi Cahyono, “Ya kalau hanya sekadar menyalahkan curah hujan, mending enggak usah ke sini [Kalsel]. Jadi kalau hanya menyalahkan curah hujan, sangat kecewa saya. Seharusnya Jokowi ke sini bukan hanya sekadar menyalahkan hujan dan sungai,” kata Kisworo kepada Jawa Pos.
Kisworo juga menuturkan saat ini 50 persen lahan Kalsel beralih fungsi menjadi tambang (33 persen) dan perkebunan sawit (17 persen). Senada dengan Nur Hidayati, Ia mendesak pemerintah mengevaluasi secara menyeluruh izin-izin yang dikeluarkan, sebab alih fungsi lahan menyebabkan degradasi hutan, menjadikan banjir sebagai salah satu dampaknya.
Menanggapi bencana, Sekretaris Daerah Kalsel Roy Rizali Anwar mengaku pihaknya akan mengevaluasi penggunaan lahan di Kalsel. “Kami akan kaji secara komprehensif apa penyebabnya sehingga tidak terulang. Karena yang terdampak sangat luas hampir 2,6 juta hektare. Kita kaji dari sisi penggunaan lahan, aliran sungai, pemukiman,” kata Roy kepada BBC News Indonesia. Sampai artikel ini dilansir, korban meninggal akibat banjir Kalsel mencapai 16 orang, dengan lebih dari 100 ribu warga terpaksa mengungsi.