Wig Alis Adalah Pertanda Ada Yang Salah Sama Tren Mengutak-Atik Wajah

Ada beberapa orang yang bisa bersikap ekstrem, misalnya berikrar, “gue enggak akan bisa keluar rumah kalau belum benerin alis!” Alis adalah koentji, titik!

Tak percaya? Lihat saja tren produk make up yang membantu konsumen ‘membenahi’ alisnya. Mulai dari pensil alis, pomade alis, gel alis, hingga metode semi permanen dan permanen macam sulam alis, tato alis, microblading, terakhir wig alis! Bayangin coba. WIG ALIS. Kenapa bisa ada produk kayak gini???!!!

Ternyata niatnya mulia. Wig alis ini pertama kali dibuat untuk penderita kanker yang menjalani kemoterapi dan mengalami hambatan tumbuh kembang rambut. Metodenya dengan cara injeksi jaringan rambut ke kulit dan membiarkan jaringan bulu alis tumbuh sendiri.

Videos by VICE

Masalahnya, lama-lama penggemar make up ikutan pakai wig alis ini. Muncul jenis wig alis yang dibuat pakai teknik tempel biasa dan dibuat dari rambut asli manusia. Mirip seperti cara pakai bulu mata palsu. Hasilnya? Aneh banget!

Lebih mirip kayak nempelin tiap helai pom-pom ke muka. Beberapa beauty vlogger yang bikin review wig alis sampai mengaku kesulitan mengeluarkan ekspresi asli wajah. Harganya memang murah cuma ya kaku parah, dan ribetnya enggak kalah sama gambar alis sendiri. Perlu digunting dulu, terus ditempel, dan setelahnya itu lem bisa mencerabut alis asli kita hingga ke akarnya. Beauty vlogger, Natalie Alzate dalam akun youtube-nya menyebut eyebrows wig ini, “cringy”!

Menarique! Kalau beauty vlogger aja agak eneg, kenapa sampai ada yang bikin ya? Atau, akan lebih baik jika kita bertanya sama kawan yang memang demen banget utak-atik alis. Karisa Rahmaputri beberapa kali pernah melakukan perawatan alis. Mulai dari sulam alis, therading, dan waxing rutin dilakukannya. Bagin Karisa, alis penting buat dioprek, karena bagian tersebut sangat berpengaruh terhadap bentuk wajah. Ia mengaku perawatan yang dijalaninya selama ini cukup memuaskan. Ia menjalani perawatan sebulan sekali. Sulam alis seharga Rp3,5 juta dia lakoni 2011, sementara threading atau waxing senilai Rp200 ribu tiap kali perawatan.

“Adiktif sih enggak, cuma cocok-cocokan aja. Ada orang yang udah disulam tapi enggak cocok makanya dia pindah ke microblading,” kata Karisa kepada VICE. Lantas, tertarik enggak nyobain wig alis? “Kalau perlu dan akan membuat alis lebih bagus, iya [coba wig alis]. Cuma sampai sekarang ngerasa udah cukup sih, kalau terlalu dimacem-macemin serem juga takutnya enggak cocok.”

Oke, kalau orang yang demen utak-atik alis aja enggak terlalu tertarik, ini wig sebetulnya dibuat untuk siapa???!!!

Obsesi terhadap alis ini sebenarnya enggak baru. Tren alis setidaknya berkembang lebih pesat dibanding sekarang dengan bantuan sosial media seperti youtube dan instagram. Di youtube, kurang lebih ada hampir 3 juta video dengan kata kunci “eyebrows”. Itu baru yang dalam bahasa Inggris. Dalam bahasa lainnya? Enggak keitung. Sementara itu di instagram ada sekitar hampir 9,9 juta hashtag dengan kata kunci sama. Belum lagi turunannya seperti #eyebrowsonfleek, #eyebrowtutorial, #eyebrowthreading, dan #eyebrowclass.

Salah satu metode yang paling radikal sekaligus paling jadul adalah cabut bulu alis. Konon, alis di wajah perlu dicabut agar makin rapi. Sewaktu saya kecil, asisten rumah tangga saya dulu pernah bilang, “Nanti kalau nikah, alis perempuan mah pasti dicabutin sama yang rias,” Praktis hal itu cukup traumatis, sehingga saya yang saat itu masih 10 tahun pernah lantang bilang pada ibu saya bahwa saya tidak mau menikah. Ya alasannya sesederhana tidak mau cukur alis. Kalau nyesel gimana?

Suka enggak suka, utak-atik alis populer karena faktor kepercayaan juga berpengaruh. Setidaknya di Indonesia. Di Jawa, ada kepercayaan kalau alis kita berjauhan, jodohnya jauh juga. Setelah aku rajin gambar alis tiga tahun terakhir, kok jodoh enggak nampak juga?! Fix persoalan mitos soal jodoh perempuan lagi-lagi coba dikait-kaitkan dengan standar kecantikan alis kita.

Setelah cabut alis, muncul metode sulam alis dan tato alis. Metode ini naik daun di Indonesia setidaknya lima tahun lalu dan perlu komitmen tinggi. Tentunya dengan risiko kesehatan tertentu seperti penggunaan tinta dengan kandungan berbahaya. Lebih suremnya, semua ini gara-gara tren yang dimulai dari Hollywood (seperti semua tren make up lainnya sih). Sekarang Cara Delevigne sedang di puncak popularitas dan berbondong-bondong massa ikut serta niru alisnya. Besok-besok alis nyambung ala Frida Kahlo mungkin jadi idola. Eh tahun berikutnya, alis segaris macam Marlene Dietrich mendunia. Kalau begini ceritanya enggak salah mitos alis dikaitkan sama jodoh, sama-sama keras komitmennya!

Belum lagi microblading, oke agak susah ini nyebutnya. Konon metode ini menghasilkan bentuk alis fantastis. Agak sakit sih katanya. Cuma hasil dari metode ini bikin alis kita terlihat nyata dalam tiap helai bulunya. Perawatannya relatif sederhana, hanya perlu touch up. Tapi harganya enggak santai, bisa mencapai sekitar Rp8 juta sekali perawatan. Coba deh tiap tahun harus treatment, mendingan ditabung buat DP rumah.

Soal alis ini emang problematik sih. Di satu sisi ketika ngikutin tren (termasuk yang absurd kayak wig alis) kesannya kita mengamini konstruksi kecantikan tertentu serta menguntungkan produsen yang emang nyari untung doang dari eksploitasi kegemaran kita sama make up.

Namun, di sisi lain, harus diakui kalau sukses, muncul kebahagiaan tersendiri. Toh kita ngoprek alis begini bukan buat siapa-siapa, selain diri kita sendiri kan? Semacam perasaan ingin mencoba make up jam satu pagi hanya untuk dihapus kembali, cuci muka, lalu tidur, atau sebaliknya, saat di mana ingin pergi ke luar tanpa menggunakan make up apapun. Kesenangan kadang memang sulit dijelaskan.

Terlepas dari penyebab seseorang memutuskan merombak atau mempertahankan bentuk alis aslinya, kayaknya tambahan teknik enggak diperlukan. Lebih-lebih yang geje kayak wig alis. Sampai kapan kita terus-terusan diombang-ambing di pusaran alis? Cukup sudah. Ampun!