Terusir di Tanah Sendiri: Kisah Mereka yang Melawan Privatisasi Surga Wisata Pulau Pari
Suasana Pantai Pasir Perawan, Pulau Pari, kala libur akhir pekan. Semua foto oleh penulis.

FYI.

This story is over 5 years old.

Konflik Lahan

Terusir di Tanah Sendiri: Kisah Mereka yang Melawan Privatisasi Surga Wisata Pulau Pari

Konflik lahan di destinasi unggulan Kepulauan Seribu mulai memakan korban. Warga Pulau Pari bersiap melawan privatisasi yang dibumbui kongkalikong penjualan akta tanah sepihak.

Sabtu, 11 Maret 2017. Subur, 35 tahun, berlari pontang-panting dari Pantai Pasir Perawan menuju warung ibunya dekat dermaga Pulau Pari, Kepulauan Seribu, DKI Jakarta. Subur melintasi deretan homestay yang satu per satu ramai dihuni wisatawan saban akhir pekan. Lelaki kurus berkulit legam yang sehari-hari akrab dipanggil Popeye itu membawa kabar mendesak. “Mak, si Bobi ditangkep!” teriaknya. Terkejut mendengar teriakan anak sulungnya, Wina Sabenah yang sedang ngaso kontan menyahut: “Ditangkep siapa?” Popeye yang masih ngos-ngosan menjawab lesu: “Polisi.”

Iklan

Hari itu pada pukul 2 siang, pengelola Pantai Pasir Perawan, yakni Mustagfirin alias Bobi, Mastono alias Baok, Bahruddin alias Edo—beserta tiga warga yang kebetulan berada di lokasi—ditahan Tim Saber Pungli Polres Kepulauan Seribu. “Semua yang di gerbang (Pantai Pasir Perawan) ditangkap, sampai keponakan saya yang masih SMP ikut ditangkap walau akhirnya dibebaskan,” kata Sabenah, mengingat kembali kejadian Maret tahun lalu. Mereka dituduh melakukan pungutan liar, lantaran mengutip Rp5.000/orang dari tiap pengunjung sebelum masuk area pantai.

Sabenah saat ditemui di warungnya.

Sabenah tak percaya pungli penyebab anaknya dicokok aparat. Ia menduga ada musabab lain di belakang penangkapan Bobi dkk. Dugaannya, insiden hari itu sesungguhnya berkaitan dengan sengketa tanah yang tengah berlangsung di Pari. Sebagian besar tanah di Pulau Pari bukan lagi milik warga, tapi milik perusahaan dan orang-orang berduit yang membeli banyak lahan puluhan tahun lalu. Tiga tahun belakangan, berbekal surat-surat yang diyakini sah, perusahaan mulai unjuk gigi menegaskan pemilik tanah sebenarnya di Pulau Pari.

Pulau Pari bisa didatangi naik kapal dari Pelabuhan Muara Angke, Jakarta Utara. Waktu tempuh menuju pulau seluas 41,3 hektare ini 1,5 jam saja dari pesisir pusat pemerintahan negara ini. Dari sekian banyak destinasi wisata Kepulauan Seribu, Pulau Pari menjadi favorit karena ada Pantai Perawan. Pantai berpasir putih itu dikelilingi barisan hutan bakau, airnya tenang tak bergelombang. Cocok buat berenang-berenang cantik, balap-balapan naik perahu sewaan, atau sekedar leyeh-leyeh di saung sambil bergumam tak percaya betapa pemandangan amboi tersebut hanya berjarak 45 kilometer dari hiruk pikuk ibu kota.

Iklan

Sengketa di Pari, yang kini dihuni 1.000-an warga, belum terlalu berpengaruh pada keramaian kunjungan turis. Mulut dermaga disesaki wisatawan yang berduyun-duyun turun dari kapal. Semua yang mengunjungi Pantai Pasir Perawan hari itu harus terlebih dahulu melewati gerbang pantai yang ditemani spanduk bertuliskan “KAMI WARGA PULAU PARI AKAN MEMPERTAHANKAN TANAH KELAHIRAN KAMI UNTUK GENERASI MASA DEPAN KAMI.” Papan pengumuman itu seakan mengingatkan setiap turis, bila suasana serba woles yang akan mereka rasakan sebetulnya bertolak belakang dengan suasana batin masyarakat Pari hari-hari ini.

Sudah dua tahun lebih berlalu sejak PT Bumi Pari Asri mengklaim kepemilikan atas tanah yang kini ditinggali warga. Sudah dua tahun pula warga Pari diselimuti takut akan kehilangan tempat tinggal, tanah, serta mata pencahariannya sekaligus. Pasalnya, anak usaha dari Bumi Raya Utama Group milik klan konglomerat Adijanto Priosoetanto ini tidak tanggung-tanggung: mengaku sebagai pemilik akta jual beli tanah seluas 23,1 hektare di Pulau Pari, lebih dari separuh luas tanah di sana. Penangkapan Bobi, yang kelak dipenjara atas tuduhan pungli, menandakan fase baru dari sengketa yang kian berlarut-larut ini.

Utusan Bumi Pari Asri pertama menjejakkan kaki di pulau pada 1989. Selama empat tahun berikutnya, perusahaan itu giat memborong tanah. Hasilnya? 110 buah akta jual beli dari ahli waris generasi kedua penghuni Pari sebagai penjual tanah. Dari salinan Rekapitulasi Akta Jual Beli keluaran Kecamatan Kepulauan Seribu Selatan yang dipegang VICE Indonesia, tertulis sejumlah nama anggota keluarga Adijanto Priosoetanto, yakni Swandono Adijanto, Pandjiyono Adijanto, Winoto Adijanto, dan Pintarso Adijanto tercantum sebagai pembeli tanah. Luas tanah tertera dalam akta jual beli bervariasi: dari mulai paling kecil 350 meter persegi hingga yang paling luas 5.000 meter persegi. Semuanya dibeli seharga Rp2.000/meter persegi.

Iklan

Total lahan yang berpindah tangan menurut Rekapitulasi Akta Jual Beli yang dipegang VICE adalah 39,7 hektar, sementara luas keseluruhan Pulau Pari 41,3 hektar. Ada yang dibeli oleh perusahaan, ada pula orang per orang. Klan Adijanto hanya salah satu dari sekian pembeli perorangan lain. Berdasar daftar pemilik tanah terbaru yang kami pegang, tercantum 23,1 hektar yang sebagian di antaranya sudah ditingkatkan statusnya menjadi Sertifikat Hak Milik (SHM). Setidaknya ada 61 sertifikat atas nama perseorangan seluas lahan 14,4 hektare; dan 12 sertifikat atas nama PT Bumi Pari Asri, serta PT Bumi Raya Griya Nusa seluas 2,7 hektare.

Salah satu resor yang sedang dibangun di dekat Pantai Perawan, Pulau Pari.

Pulau Pari adalah satu dari sekian puluh pulau yang terkena dampak gelombang privatisasi kepulauan di utara Jakarta yang terjadi pada masa Orde Baru. LSM Sajogyo Institute mencatat dari total 110 pulau di Kepulauan Seribu, 60 kini dikuasai entitas bisnis, 11 dikuasai penduduk sebagai pulau pemukiman, dan 39 pulau milik Pemda. Modus privatisasi tiap-tiap pulau berbeda satu sama lain. Khusus Pulau Pari, riset Sajogyo Institute mendapati proses pindah kepemilikan berlangsung tak terang. Warga mengaku dikelabui calo-calo tanah yang menjual akta tanah tanpa sepengetahuan mereka. Akibatnya, posisi warga Pari tidak diuntungkan. Secara hukum, mereka tidak punya bukti kuat sebagai pemilik sah dari tanah yang ditempati. Warga bukannya ogah mengurus sertifikat. Mereka bercerita pada 1980 sempat ditawari Badan Pertanahan Nasional untuk mengubah girik mereka menjadi sertifikat hak milik (SHM). Warga pun menyerahkan girik yang dimiliki ke Kelurahan di Pulau Tidung dalam rangka diputihkan. Rupanya proses pemutihan tidak pernah terjadi. Malah, sampai sekarang surat girik warga tak pernah dikembalikan. Mengingat kembali tahun-tahun itu, Sabenah bercerita kalau ia dan banyak warga lainnya tidak tahu persis kapan dan bagaimana transaksi tanah terjadi. “Saya cuma lihat calo mondar-mandir, orang perusahaannya sama sekali enggak lihat,” ungkapnya. Kesaksian serupa disampaikan Rohani, kini 77 tahun. Awal dekade 1980'an itu ia mempercayakan surat pengurusan tanah pada dua petugas kelurahan yang datang ke Pulau Pari. Mereka menawari warga menyerahkan girik tanahnya buat ditingkatkan jadi Sertifikat Hak Milik. Rohani menyerahkan girik tanah atas nama suaminya, Muhaeni bin Saimin. "Saya ngasih sendiri ke orang Kelurahan itu waktu suami saya masih hidup."

Iklan

Kedua petugas itu berjanji apabila surat-suratnya sudah selesai, akan segera dikembalikan ke warga. Nahas, menurut kesaksian Rohani, kedua orang kelurahan tersebut meninggal karena kecelakaan. "Ketika warga akhirnya datang ke kelurahan, katanya masih di Kabupaten" ungkap Rohani. Setelah berulangkali menemui jalan buntu, warga akhirnya menyerah dan girik milik warga sampai sekarang tak tentu rimbanya.

Ditanya soal proses jual beli tanah yang dituding melibatkan kongkalikong perusahaan dan aparat kelurahan demi memuluskan privatisasi, pihak Bumi Pari Asri menolak berkomentar detail. Saat ditemui VICE Indonesia, Ben Yitzhak selaku perwakilan PT Bumi Pari Asri menegaskan proses pembelian telah dilaksanakan sesuai aturan hukum. “Bukan cuma kami (perusahaan) yang membeli tapi ada juga yang perorangan. Jadi tidak benar kalau dibilang Pulau Pari dikuasai perusahaan,” katanya.

Sabenah sempat tidak menyesali sikapnya dulu abai melihat “calo yang mondar-mandir” tersebut. Seusai dibeli, tanah di Pari bisa dibilang dibiarkan begitu saja oleh investor. Selama puluhan tahun, mereka yang beli tanah tak pernah menggunakan lahan. Niat pemodal memanfaatkan tanah muncul belakangan ini, setelah Pulau Pari jadi destinasi wisata yang lumayan terkenal satu dekade terakhir. Sejak itulah gesekan antara warga dengan perusahaan yang mengklaim sebagai pemilik tanah rutin terjadi. Awalnya perwakilan Bumi Pari Asri melakukan pendekatan persuasif, menawarkan kerja sama pengelolaan pariwisata. Plus, warga diming-imingi gaji menggiurkan. “Sekitar Rp7-8 Juta,” kata Edi Mulyono, ketua RT di Pulau Pari, menirukan ucapan utusan perusahaan. Tawaran itu kandas karena warga menilai perusahaan tak ikut berkontribusi dalam perawatan Pantai Perawan.

Iklan

Perusahaan lalu mencoba pendekatan konfrontatif. Mereka mengancam memidanakan warga. Mereka menegaskan tanah yang dihuni warga adalah tanah perusahaan, dan klaim itu dilengkapi dokumen legal. Perusahaan turut menempatkan pos keamanan dan satpam di Pari dalam rangka “menjaga tanah milik perusahaan”. Langkah tersebut tak mendapat sambutan hangat. Dua hari sebelum penangkapan Bobi dkk, ratusan warga Pari menyambangi pos keamanan, menuntut satpam perusahaan angkat kaki dari pulau.

Suasana Pantai Pasir Perawan, pantai publik yang selama ini dikelola swadaya oleh warga.

Meski posisi dari kacamata hukum lemah, warga yang sudah turun temurun hidup di Pari berkukuh tetap bertahan di pulau. Rentetan peristiwa itulah yang mengantar kita ke peristiwa 11 Maret 2017, hari di mana Bobi cs ditangkapi polisi. November 2017 lalu, Pengadilan Negeri Jakarta Utara memvonis Bobi, Baok, dan Edo hukuman 6 bulan penjara. Mereka dinyatakan bersalah melakukan pungli. Bagi Koalisi Selamatkan Pulau Pari (KSPP)—aliansi organisasi masyarakat sipil dan aktivis yang mengadvokasi masyarakat Pari—kriminalisasi serta vonis penjara bagi Bobi dkk erat kaitannya dengan perlawanan masyarakat terhadap upaya privatisasi oleh Bumi Pari Asri. Upaya konfrontatif yang tak berhasil, diyakini sekarang berubah menjadi kriminalisasi. Mengingat jumlah sertifikat di tangan perusahaan masih banyak, bukan mustahil aksi serupa terjadi di kemudian hari. “Kami khawatir ke depannya makin banyak masyarakat yang dikriminalisasi,” kata Edi yang juga anggota KSPP. Strategi yang kini diupayakan KSPP adalah mempertanyakan legalitas proses penerbitan akta dan sertifikat kepemilikan perusahaan ke Kementerian Agraria dan Tata Ruang, Ombudsman, hingga Kantor Staf Presiden. Proses jual beli selama 1990-1991 dipersoalkan antara lain karena hanya melibatkan satu ahli waris. “Kami melihat ada perampokan terstruktur dan sistematis, karena proses jual belinya dilakukan secara sepihak dengan satu ahli waris saja. Ini lalu difasilitasi oleh negara, dalam hal ini kelurahan,” kata Ony Mahardika, aktivis LSM Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) yang berperan sebagai koordinator KSPP.

Iklan

Ombudsman mengamini adanya kejanggalan pada proses peralihan kepemilikan lahan di Pulau Pari. Lembaga pemantau kebijakan publik itu sampai sekarang masih fokus mengumpulkan temuan terkait kasus ini. Alamsyah Saragih, Komisioner Ombudsman, menyatakan kendati penduduk yang tinggal bertahun-tahun di Pulau Pari tidak memiliki bukti kepemilikan lahan, tanahnya tak otomatis bisa dibebaskan semena-mena tanpa “proses administrasi lahan yang berkeadilan”.

Awal 2017, Menteri Agraria dan Tata Ruang Sofyan Djalil bersama Menko Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan berjanji membuka kesempatan luas bagi investasi asing untuk mengelola pulau-pulau kecil di Indonesia. Bagi Luhut, kebijakan tersebut akan “membantu pertumbuhan ekonomi,” serta selaras dengan kepentingan pemerintah untuk menarik lebih banyak wisatawan asing.

'Wisatawan' dan 'Investasi'. Dua kata itu penting diingat lantaran penguasaan pribadi atas pulau seperti Pari seringkali berjalan beriringan dengan niat pemerintah mengkomersialisasi pulau-pulau kecil di sekujur nusantara. Kasus Pulau Pari bukan satu insiden terisolir. Untuk memperoleh gambaran lebih luas, kita perlu menengok rencana proyek Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN) pemerintahan Presiden Joko Widodo.

Dalam rangka menggeber KSPN, pemerintah menetapkan 10 Destinasi Prioritas Pariwisata, salah satunya Kepulauan Seribu. Dari 10 destinasi ini, pemerintah menjanjikan percepatan beragam pembangunan infrastruktur. Kepulauan Seribu turut mendapat janji manis tadi, karena direncanakan sebagai kawasan wisata bahari. Mengacu pada dokumen Pekerjaan Penyusunan Perancangan Pengembangan KSPN Wilayah Kepulauan Seribu, pada 2019 Kepulauan Seribu ditargetkan untuk dikunjungi minimal 1,7 juta wisatawan dan dapat menjaring minimal 5 investor usaha pariwisata.

Untuk mencapainya, KSPN Kepulauan Seribu mengajukan dua strategi: strategi Satu Resor Satu Pulau (One Resort in One Island atau OROI) dan Ekowisata Bahari Berbasis Masyarakat (Eco-community Based Tourism).

Bumi Pari Asri sendiri merencanakan berdirinya destinasi wisata di Pulau Pari yang dapat menampung kedua pendekatan tadi sekaligus. “Kami mau bikin destinasi taraf internasional yang tidak jauh dari Jakarta. Kami mau bikin seperti Malawdewa. Pulau ini 41 hektar, enggak semuanya akan kami kuasai. Jadi nanti akan kami bagi di bawah manajemen kami. Wisatawan yang high class bisa ke resort. Kalau mau lihat yang asri dan tradisional, kita arahkan ke masyarakat. Kita juga ingin meningkatkan taraf hidup teman-teman,” kata Ben Yitzhak. Bumi Pari Asri sekalian berencana membangun fasilitas umum lainnya di Pulau Pari seperti SMA, fasilitas kesehatan, dan sanitasi. “Jadi ada simbiosis mutualisme,” ujar Ben. Menurut perusahaan, inilah sumbangan konkretnya bagi kesejahteraan warga. “Kita enggak sekedar omong kosong. Coba tanya ke KSPP, udah bikin apa mereka?”

Ony Mahardika tak mempercayai janji perusahaan, maupun menganggap negara bisa berlaku adil. Dia melihat niat mulia proyek KSPN belakangan dimanfaatkan perusahaan ataupun pemilik pulau untuk memperoleh melegitimasi privatisasi yang dilakukan lewat jalan sumir. “Dokumen KSPN sarat dengan kepentingan investasi” kata Ony. “Ekowisata bahari pada prinsipnya adalah bagaimana masyarakat bisa menempati wilayah secara sah dan bagaimana tata kelola benar-benar dipegang masyarakat dan dilindungi negara. Itu harusnya yang jadi prioritas (KSPN). Jadi jangan masyarakat sebagai pengelola, tapi kuasanya di pihak lain” kata Ony. “Kalau masih kepentingan swasta ya sama saja bohong,” sambungnya.

Pada malam saat saya berkunjung ke warungnya, Sabenah mengenang saat-saat ia mulai bersekolah di Pulau Pari. Di sela-sela cerita, Sabenah menyambungnya dengan cerita tentang anaknya yang kini tinggal di Jakarta. Putranya khawatir sekaligus keberatan melihat keterlibatan sang bunda yang intens menjadi motor perlawanan warga. Anak Sabenah makin khawatir begitu mendengar kabar sang ibu sampai harus dibawa ke Puskesmas tempo hari. Bagi Sabenah, pilihan melawan privatisasi tak bisa ditawar. Pulau Pari adalah rumahnya, rumah anaknya, rumah orang tuanya. Menjelang rampungnya wawancara, ia mengulang jawaban yang diucapkan kepada anaknya dulu, kenapa akhirnya memilih melawan perusahaan: “Saya lahir di sini. Yang saya pengen adalah untuk bisa mati di sini juga."