FYI.

This story is over 5 years old.

Konflik Karena TV

Boikot Sinetron Makin Marak Dalam Konflik Internasional

Masih ingat seruan boikot 'Upin-Ipin' waktu Indonesia panas sama Malaysia? Sekarang giliran opera sabun buatan Turki diboikot TV Saudi. Kayaknya memboikot serial lebih gampang daripada menolak barang impor lainnya.
Keluarga di Jeddah sedang asyik menyaksikan opera sabun 'Noor' produksi Turki. TV Saudi baru saja memboikot acara dari Turki. Foto oleh Susan Baaghil/Reuters.

Andai saja Indonesia pernah berkonflik sama Meksiko, bisa jadi kita tak punya memori soal berbagai drama telenovela 90-an yang kesohor itu. Kita tak akan kenal Dulce Maria dari serial Carita de Angel, Maria Mercedes yang legendaris, atau mengikuti cinta monyet Anna dan Pedro dalam Amigos. Berkaca dari yang dialami Turki sepekan belakangan, ternyata tayangan televisi bisa terpengaruh ketegangan politik internasional. Sinetron atau acara televisi sejenis, walau kesannya gitu-gitu doang, bisa jadi pion konflik antar negara lho.

Iklan

Acara televisi Turki, yang sempat populer di Indonesia dua tahun lalu, pekan ini dilarang tayang pengelola TV Saudi. Stasiun televisi dikelola Kerajaan Arab, MBC, mendadak melarang penayangan serial drama Turki. Padahal drama Turki yang disulihsuara ke bahasa Arab tersebut tegolong laris di Negeri Petro Dollar tersebut. Sampai-sampai sukses mengangkat kunjungan turis asing dari Timur Tengah ke Turki.

“Kami akan mencoba mengganti tayangan drama seri Turki dengan drama-drama Arab berkualitas yang mengandung nilai-nilai tradisi setempat,” ujar juru bicara MBC Mazen Hayek saat diwawancarai kantor berita Agence France-Presse.

Saat diwawancarai media lokal, Putra Mahkota Saudi Pangeran Mohammed bin Salman bin Abdulaziz mengatakan bahwa Turki, Iran, dan grup-grup Islam radikal lainnya membentuk formasi “Trio Kekuatan Jahat." Ankara disebut hendak membentuk sistem pemerintahan berbasis kekhalifahan. Usut punya usut, alasan sebenarnya adalah Pemerintah Turki, menurut Saudi, masih saja memberi dukungan bagi penguasa Qatar. Padahal kita tahu, Qatar sejak tahun lalu diboikot habis-habisan oleh mayoritas negara di wilayah teluk seperti Arab Saudi, Bahrain, Uni Emirat Arab, dan Mesir. Qatar dianggap memberi dukungan dana bagi Ikhwanul Muslimin dan milisi lain yang masuk kategori organisasi teror versi Saudi. Sekarang Turki ikut kena getahnya.

Ternyata nasib Cinta di Musim Ceri dari Turki yang kini diboikot Saudi, tidak beda jauh dari nasib serial Boys Before Flowers ataupun My Love from the Star yang jadi komoditas televisi unggulan Korea Selatan.

Iklan

Drama hingga kosmetik Korea Selatan sempat dilarang di Cina dua tahun lalu, lantaran masalah politik internasional. Pemerintah Cina merespons kebijakan Seoul yang mengizinkan Amerika Serikat menempatkan rudal berjenis Terminal High Altitude Area Defense (THAAD) di wilayahnya pada Juli 2016 lalu. Tiongkok mengkritik keras keputusan tersebut. Alhasil "hallyu", sebutan untuk berbagai jenis budaya pop Korsel, dilarang masuk ke negeri Tirai Bambu. Boikot resmi baru berakhir setahun sesudahnya.

Apakah memang boikot-memboikot produk industri hiburan dan budaya populer sekarang makin populer?

Rupanya dari dulu pun sudah ngetren, walaupun sekarang makin sering dipakai karena efektif sebagai simbol. Pakar Hubungan Internasional dari Universitas Padjadjaran, Teuku Rezasyah menyatakan pelarangan atau boikot produk industri hiburan dijalankan sejak lama. Indonesia misalnya, di bawah pemerintahan Soekarno yang anti budaya Barat, melarang musisi Tanah Air memainkan musik rock yang dijuluki "ngak-ngek-ngok."

Musik rock dianggap bertentangan dengan budaya lokal. Hal ini menyebabkan anggota grup band legendaris Koes Plus masuk bui selama empat bulan di Penjara Glodok. Tidak cuma Koes Plus lho. Saat Indonesia dan Malaysia memanas akibat konflik perbatasan laut pada 2010, anggota DPR sempat mengusulkan boikot serial kartun populer Upin-Ipin buatan Negeri Jiran

Rezasyah menjelaskan definisi boikot atau pelarangan sangat luas, mencakup boikot langsung dan tidak langsung. Dalam konteks industri hiburan, boikot tidak selalu terang-terangan seperti yang dilakukan Saudi atas Turki, atau Cina atas Korea Selatan. Contoh yang paling mudah ditemukan adalah keharusan sulih suara acara televisi berbahasa asing, pembatasan izin edar di waktu-waktu tertentu, sebagai bentuk boikot tidak langsung terhadap produk industri hiburan negara asing.

Iklan

“Negara biasanya mikir-mikir. Kalau dia terang-terangan melakukan boikot, maka akan menjadi reciprocal. Pihak lawan juga akan melakukan hal yang sama. Masing-masing negara akan pintar-pintaran agar boikot dilakukan, tetapi tidak formil,” ungkap Rezasyah kepada VICE. “Sekarang negara-negara yang lebih pintar tidak akan mengumumkan itu, alih-alih mereka menggunakan kebijakan di belakang layar yang tujuannya sama.”

Jadi, pada intinya hampir semua negara di dunia melakukan boikot terhadap produk industri hiburan negara asing baik langsung maupun tidak langsung. Harus diakui boikot industri hiburan adalah cara yang paling mudah dan tak terasa secara langsung.

“Industri hiburan punya dimensi psikologis yang bisa masuk ke alam bawah sadar para konsumen. Dimensi ini jangka panjang menyangkut softpower negara tersebut. Strategis sekali cara ini, walaupun dari segi ekonomi tidak menjanjikan,” ungkap Rezasyah.

Pengamat Budaya Pop dari Pabrikultur, Hikmat Darmawan membenarkan bila di masa mendatang, serial TV akan lebih rentan diboikot. Dulu negara-negara berfokus pada boikot komoditas tertentu seperti pangan, semenjak berkembangnya era teknologi dan televisi, boikot industri hiburan bisa dibilang setara dengan boikot kebutuhan primer.

“[Boikot industri hiburan] sebagai pernyataan politik bagus,” ujar Hikmat ketika dihubungi VICE. “Enak, relatif lebih mudah dilakukan… selain itu punya nilai simbolik yang mudah dibangun misalnya patriotisme.”

Menurut Hikmat, dalam ekonomi konsumsi semangat patriotisme kolektif seperti ujaran “blokir produk tersebut karena mengandung budaya asing” gampang digalakan dan mudah tersebar. Intinya, jenis boikot demikian didengungkan sebagai langkah untuk memproteksi negara bukan cuma dari politik tapi juga dari "kebudayaan asing."

Makanya, daripada memboikot komoditas impor Malaysia ke Indonesia lain seperti besi dan mesin, pernyataan politik menolak Upin Ipin jauh lebih mudah dipahami oleh hampir seluruh kalangan di Indonesia.

“Kalau memboikot produk hiburan itu kayak ‘kalau elo patriot, elo bisa hidup tanpa [produk hiburan] itu’ tapi kalau misalnya kita enggak impor beras lagi (boikot pangan) ‘kalau elo patriot jangan makan beras’ nah kan itu agak susah ya,” ujar Hikmat.