FYI.

This story is over 5 years old.

Serba-Serbi Pacaran

Ada Penelitian Menghitung Rerata Lama Pacaran Generasi Millenials Lho

Menurut penelitian tersebut, kalian bakal sering putus nyambung atau cenderung awet, dipengaruhi berapa banyak teman pas sekolah di SMP-SMA dulu. Kok bisa?
Foto ilustrasi oleh Chris Bethell

Artikel ini pertama kali tayang di VICE UK

Minggu lalu saya menghabiskan tiga hari di kasur sambil dengerin Sam Smith tanpa henti. Saya dan si dia memilih putus. Keputusan kami enggak mengejutkan sih, karena mantan pacar dan saya sebenarnya selalu bertengkar tiap salah satu dari kami lupa beli susu pas belanja bulanan. Sepele ya? Tapi emang begitu kok karakter pacaran masa kini. Kalau enggak cocok, lebih baik bubar—tapi kalau kangen, ya minta balikan lagi.

Iklan

Urusan putus atau balikan adalah fenomena umum bagi generasi millenials. Penelitian anyar menyimpulkan rata-rata durasi pacaran mereka yang berusia 20-an adalah 4,2 tahun. Namun durasi tersebut tak selalu berturut-turut; 60 persen responden berusia yang umurnya sudah kepala dua melaporkan mengalami setidaknya satu hubungan sering putus-nyambung. Artinya, kalau kamu baru pacaran pas kuliah, maka ada satu sosok pasangan yang akan sering keluar masuk kosmu selama (minimal) empat tahun kuliah. Gila, betapa membosankan pilihan hidup macam ini!

Saya bertanya pada psikolog Stéphanie Boisvert, yang terlibat dalam penelitian tersebut. Saya pengin tahu, seringnya anak muda zaman sekarang putus-nyambung apakah bakal berdampak sama konsep keluarga dan pertemanan. Selain itu, sebagai pakar hubungan, saya ingin tahu dia bisa memberi analisis apa sih dari tren pacaran singkat bagi mereka yang sedang di usia awal 20-an. Secara mengejutkan, menurut Boisvert, kita bakal awet atau enggak dalam hal pacaran dipengaruhi pergaulan kita sebelum puber. Kalau kita punya hubungan yang kurang baik dengan teman-teman semasa sekolah dulu, kayaknya kamu akan sulit pacaran. Kalaupun pacaran, durasinya cenderung pendek-pendek.

“Orang-orang yang memiliki pengalaman negatif dengan sejawatnya saat remaja—menarik diri dari pergaulan atau tidak disukai—seringkali telat pacaran,” kata Boisvert. “Ini adalah pola yang kita lihat selama hidup. Sosok macam itu akan kesulitan menemukan dan mempertahankan pasangan maupun partner seksual.”

Iklan

Itu kan kata penelitian, tapi bagaimana menurut orang-orang berusia 20-an? Apakah mereka setuju?

“Karena saya dulu belajarnya di sekolah khusus laki-laki, saya memang kesulitan berkomunikasi sama perempuan; saya jarang banget berinteraksi sama lawan jenis, jadi mereka seperti spesies eksotis,” kata Daniel, 25 tahun, saat saya wawancarai. “Teman sesama sekolah cowok yang pacaran itu biasanya atlet. Untungnya, saya punya kakak perempuan yang baik banget, mau ngajarin saya caranya ngomong sama cewek dan akhirnya bisa punya pacar pas kuliah.”

Meski Daniel berhasil punya pacar, anak-anak lain seusianya yang gak pacaran selama sekolah menengah tidak terlalu beruntung pada fase hidup selanjutnya. Sebaliknya, anak-anak populer yang biasanya mudah punya pacar setelah kelulusan. “Orang-orang yang punya pacar di masa awal remaja biasanya dilaporkan memiliki hubungan sosial baik selama sekolah,” kata Boisvert. “Mereka populer dan pola ini berlanjut hingga mereka dewasa.”

Boisvert turut menemukan data bila orang-orang yang rutin gonta-ganti pasangan biasanya akrab dengan keluarga dan teman-teman mereka. Saya ngobrol bareng Molly, 23 tahun, berperilaku layaknya ibu rumah tangga era 1950'an sejak dia bahkan belum menyelesaikan ujian masuk perguruan tinggi. “Bahkan di SD, saya pacaran sama cowok selama kelas 4 dan kelas 5. Dia lebih pendek sedikit dari saya dan kami gak punya kesamaan apa-apa kecuali bahwa kita sama-sama gak suka Penjaskes," ujarnya. "Saya menyadari suatu hari bahwa saya gak pernah single lebih lama dari dua minggu sejak hubungan kami itu, dan ini bukan sekadar naksir-naksiran, melainkan hubungan serius yang bertahan sampai satu atau dua tahun.”

Iklan

Alih-alih menjadi produk dari hubungan anak-orangtua yang harmonis, Milly menganggap kemampuannya melakoni hubungan stabil sejak remaja dipengaruhi rasa takut sendirian. “Saat kamu masih muda, kamu gampang bosan; otakmu berasa kebal saat tidak ada stimulan. Bagi saya, fungsi laki-laki ya biar gak bosen sekolah. Saya cuma putus sama pacar untuk upgrade ke prototipe laki-laki yang lebih baik.”

Penelitian Boisvert tidak mengukur secara spesifik apakah pacarannya komunitas LGBTQ juga bakal dipengaruhi hubungan dengan orangtua dan teman-teman masa remajanya. Namun dia merasa bisa menebak hasilnya. “Jika keluarganya suportif terhadap orientasi sesksual sang anak, hubungan pacaran queer bisa juga bertahan lama seperti hubungan pacaran heteroseksual. Tapi jika hubungan tersebut dibayang-bayangi stigma sosial, maka hubungan tersebut bisa mengikuti pola sebaliknya karena penilaian eksternal bisa membuat orang jadi introvert dan menunggu sampai menemukan hubungan yang cocok dengan mereka.”

Jadi, intinya, perkara pacaran ini salah orangtua kita. Lalu, yang lebih parah lagi, garis tangan soal jodoh cuma perpanjangan dari masa sekolah dulu. Tapi apa sih yang sebenernya salah dari hubungan pacaran orang-orang yang gak popular dan sukar disukai? Kale Monk, psikolog sekaligus ahli siklus pacaran putus-nyambung, menganggap pengorbanan dari kedua belah pihak sebagai kunci hubungan biar bisa langgeng. Pengorbanan itu dapat berbentuk berpura-pura menyukai masakan pacar yang keasinan, atau menunda S2 di luar negeri demi kemapanan karir pasangan. Pengorbanan macam ini menghasilkan hubungan pacaran yang lebih serius. “Pasangan memandang diri mereka sebagai kolektif ‘kami’ versus ‘saya’ yang individualistis,” ujar Kale.

Iklan

Masalahnya, perempuan cenderung berkorban lebih sering dibanding lelaki saat mempertahankan hubungan. “Dalam hubungan pacaran heteroseksual, seringkali pihak perempuan rugi, karena penelitian menunjukkan perempuan lebih terlibat dalam upaya-upaya mempertahankan hubungan dan pekerjaan rumah tangga,” ujar Kale. "Egalitarianisme dan kesetaraan dalam hubungan seringkali dijadikan tujuan bersama sebuah pasangan, namun pembagian kerjanya seringkali tak setara.”

“Saat saya masih muda, saya mau ngelakuin apa aja buat cowok saya,” kata Meghan, yang pernah melalui hubungan relatif awet sama beberapa laki-laki. “Setiap kali saya mengencani laki-laki yang saya sukai, saya akan memberikan segalanya. Saya akan mengikuti gayanya; saya akan berubah dari emo jadi punk kalau perlu. Semua yang dia suka, saya juga suka. Saya menghabiskan masa muda saya untuk pacar-pacar saya. Saya membelikan pacar saya bum bag yang ada tulisannya ‘I love my girlfriend’ saat dia pergi ke Ibiza—saya menekan individualitas saya.”

Tapi hal itu tidak selalu berarti orang-orang bertahan bersama; pengorbanan hanya membantu jika kedua pihak melakukannya. “Kalau kamu doang yang berkorban, menurut teori kesetaraan, kamu merugi dalam hubungan tersebut dan ujung-ujungnya kamu jadi benci,” ujar Kale.

“Pada akhirnya, saya menyadari betapa banyak yang saya lakukan untuk seorang pacar,” ujar Meghan. “Saya memandangnya dan berpikir—lihat plis; saya sangat suka menyenangkan pacar saya. Kini di usia 20-an, hubungan pacaran gak bertahan lama karena saya udah gak kayak gitu lagi.”

Tetap saja, walau sudah diwarnai berbagai patah hati, durasi 4.2 tahun adalah waktu yang cukup lama bagi seseorang menghabiskan waktu dengan sosok yang spesial. Kalau emang enggak jodoh, siapa juga yang mau pacaran lebih lama dari itu? Sebagaimana disampaikan Ellie, “Saya sudah melalui banyak hal dan putus dengan banyak banget orang, tapi ketika saya melihat teman-teman saya sepertinya punya hubungan stabil sama kekasihnya, saya tidak cemburu. Berantem sama pacar sesekali itu wajar dan sehat di usia 20-an. Kalau enggak gitu, kita bakal jadi pasangan tua yang aneh, yang kerjanya pegangan tangan mulu. Idih.”

Follow penulis artikel ini di akun @annielord8