Sisi Gelap Pinjaman Online

Tips Atasi Tagihan Brutal Pinjol, Menurut Mantan Korban dan Konsultan Keamanan

Marak pinjol ilegal yang meneror padahal kita tak pernah pinjam. Kadang polisi menolak laporan korban. Rupanya, di luar jalur hukum, ada beberapa tips menghadapi penagih utang online.
Tips menghadapi teror penagih utang pinjol dari mantan korban dan konsultan keamanan siber
Ilustrasi lelaki terkejut melihat tagihan pinjol via Getty Images

April 2021, Deliana mendadak dapat pesan singkat berisi tagihan utang sebesar Rp1,6 juta dari salah satu perusahaan pinjaman online (pinjol). Pesan tersebut membuatnya jeri karena melampirkan KTP Deliana. Dengan represif, penagih mengancam akan menyebarkan identitas perempuan asal Jakarta itu apabila tagihan tersebut tak dibayar. 

“Mereka mengancam akan menyebarkan foto KTP dengan caption ‘Open BO Rp300 ribu’,” cerita Deliana. Usai menerima pesan itu, ia segera memeriksa mutasi rekening. Ia temukan ada uang masuk Rp845 ribu dari sumber yang tak ia kenal. Dari sana ia membuat asumsi: tagihan Rp1,6 juta itu sudah plus bunga pinjaman. 

Iklan

Situasi makin buruk kala Deliana mendapati teror tak cuma menyasar dirinya, tapi juga keluarga dan teman dekatnya. Artinya, selain punya akses terhadap KTP dan tahu nomor rekeningnya, penagih utang juga mengetahui kontak pribadi Deliana.

Deliana kontan kebingungan. Pertama, ia tak pernah merasa meminjam uang dari aplikasi pinjol mana pun. Kedua, mengapa data pribadinya bisa diakses para penagih utang? Dipengaruhi rasa takut, Deliana memutuskan membayar saja meski tak pernah meminjam. Penagih utang lantas mengirim virtual account untuk pembayaran. Di dalamnya tertera sebuah nama, tapi bukan nama Deliana.

Apa yang Deliana pikir sebagai akhir cerita ternyata hanyalah awal mula. Beberapa hari kemudian, muncul teror serupa dari penagih utang yang memintanya “melunasi utang” lain sebesar Rp600 ribu, Rp1,4 juta, dan Rp2 juta dari tiga aplikasi pinjol berbeda. Pada 8 Mei 2021, Deliana memutuskan lapor polisi bermodalkan bukti percakapan dengan penagih utang, tangkapan layar aplikasi, dan bukti uang masuk Rp845 ribu ke rekeningnya. Polisi menolak laporan itu.

“Pas pelaporan di Polda Metro Jaya, [polisi] tidak bisa proses laporan karena mereka menilai itu [hanya] berupa ancaman karena belum ada data [pribadi] yang disebarkan. Saya kan melapor untuk mencegah, kenapa saya enggak bisa diproses dulu [malah] harus menunggu dulu, ini enggak preventif,” cerita Deliana. “Saya punya hak [melaporkan karena] data-data pribadi saya disalahgunakan, nama baik dicemarkan [karena penagih utang meneror teman dan keluarga], saya sudah mengalami kerugian.”

Iklan

Pada 10 Mei, Deliana pindah melapor ke Mabes Polri. Namun Bareskrim ikut menolak memproses kasusnya, karena kerugian kurang dari Rp20 miliar. Lantas, Deliana minta dipertemukan dengan polisi siber di Cyber Crime Investigation Center (CCIC) Mabes Polri. Walau menerima sambutan lebih baik, laporannya juga ditolak.

“Di situ [CCIC Polri] mereka cukup welcome. [CCIC Polri bilang] kasus seperti ini sudah lama terjadi, cuma karena server dari pinjol-pinjol ini berpindah-pindah, polisi sulit melacak. [Kasus] belum mengarah ke trafficking atau pornografi jadi enggak bisa diproses, [saya] diminta balik ke Polda Metro Jaya.”

Sehari berselang, Polda Metro Jaya memanggil Deliana kembali. Kali ini, ia dipertemukan dengan penyidik dan kasusnya resmi diproses. Tujuh hari kemudian, Deliana melakukan follow-up ke Polda, namun ternyata berkas kasusnya dilimpahkan ke Polres Tangerang Selatan. Ia kemudian dihubungi kantor tersebut, namun Polres mengaku belum memproses kasus karena belum ada penyidiknya.

Lulu, korban penagihan pinjol asal Yogyakarta, juga memiliki cerita serupa. Ia mengaku memang meminjam uang dari sebuah aplikasi pinjol yang terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Katanya, utang tersebut sudah dilunasi, tapi para penagih utang tetap datang meneror dirinya dan kerabat terdekat.

“Semua kontak saya dihubungi, sampai ada tetangga dan saudara menghubungi [saya untuk menanyakan]. Saya sempat lapor polisi, tapi kata polisi karena tidak ada yang membahayakan, mereka tak melanjutkan,” cerita Lulu.

Iklan

Apa yang harus dilakukan ketika diteror pinjol

Deliana dan Lulu menceritakan kisahnya pada diskusi virtual “Perempuan, Pinjol, dan Keamanan Data Pribadi” yang dihelat Combine Resource Institution pada Jumat (10/9) lalu. Beruntung, keduanya masuk kategori korban yang berhasil mengatasi teror pinjol. Dalam berbagai kisah kasus lain yang bertebaran di internet, sampai ada korban teror penagih pinjol bunuh diri karena tak kuat menanggung tekanan.

Diskusi ini bermaksud memberi edukasi agar orang paham langkah yang bisa dilakukan untuk menghadapi teror pinjol. Dari pengalaman Lulu, pertama-tama dengan tidak menggubris teror sama sekali. Bisa dengan didiamkan atau mengganti nomor. Apabila teror datang, kita juga mesti memberi tahu kerabat yang ikut diteror agar pesan para penagih utang tak perlu direspons. 

“Ketika ada yang meneror, sebaiknya jangan ditanggapi. Kalau ditanggapi mereka [penagih utang] senang. Kalau membalas WhatsApp dan telepon, mereka menganggap itu peluang untuk terus meneror. Nah, orang-orang yang [menanggapi] ini yang akan terus-terusan diteror karena dianggap peluang,” kata Lulu.



Per 25 Agustus 2021, OJK merilis 116 aplikasi pinjol yang memiliki izin. Namun, tetek bengek administratif ini tidak menghalangi pinjol ktak berizin untuk tetap gerilya. Pengacara publik dari LBH Jakarta, Citra Referandum mengatakan dari begitu banyak aplikasi pinjol, 72 persen di antaranya tak terdaftar OJK. 

Iklan

Tanpa izin resmi, cara pinjol menagih utang tentu tidak ada yang mengatur, seperti kasus ancaman pelecehan yang menimpa Lulu dan Deliana. Citra mengatakan, per 2018 LBH Jakarta telah menerima 1.613 pengaduan terkait pinjol. Alasan pengaduan bermacam-macam: mulai dari bunga tinggi tanpa batasan, teror kepada seluruh kontak terutang, penyebaran foto dan informasi, pengancaman, fitnah, pelecehan seksual, dan penyebaran data pribadi.

Hal semakin runyam karena perusahaan pinjol kerap menolak bertanggung jawab atas cara represif para penagih utang. “Perusahaan pinjol harus bertanggung jawab atas tindakan yang dilakukan penagihnya yang tak pantas. Tapi, karena [penagih utang adalah] pihak ketiga, jadi sulit [meminta pertanggungjawaban perusahaan].” kata Citra.

Citra menyebut teror penagih utang pinjol bisa dijerat UU 39/1999 tentang HAM, UU ITE, KUHP Pasal 378 tentang penipuan, dan UU 24/2013 tentang Administrasi Kependudukan. Tapi, apalah arti pasal-pasal ini ketika polisi menolak memproses kasusnya?

Kalau ditolak atau dipaksa cari bukti sendiri, Citra menyarankan korban melapor ke Divisi Profesi dan Pengamanan (Propam) dan Kompolnas. “Tipsnya, ketika menghadapi pelanggaran disiplin [aparat] di level Polres, laporkan ke Propam level atasnya,” saran Citra. Kedua, korban mesti rajin-rajin follow-up kasusnya menggunakan surat resmi. Citra tidak menyarankan menanyakan perkembangan kasus secara verbal maupun jalur informal. Dengan surat yang ditujukan ke pimpinan atau lembaga eksternal, tekanan kepada penyidik akan lebih besar.

Iklan

Konsultan keamanan siber Teguh Aprianto yang hadir di diskusi ini, menilai kasus teror pinjol adalah dampak kebocoran data. Menanggapi alasan polisi bahwa mereka kesulitan melacak server perusahaan pinjol ilegal, Teguh tak serta-merta percaya.

“Setiap hal yang di internet itu bisa dilacak. Selama ini, cara negara menangani masalah ini emang enggak serius. Saya udah berulang kali bilang bahwa pemblokiran enggak akan pernah efektif. Sekarang blokir besok [muncul] nama baru, orang-orang jahat ini enggak pernah ditindak,” kata Teguh.

Teguh mengatakan per Maret 2021, nominal yang dipinjam masyarakat dari pinjol tembus Rp19 triliun. Angka ini naik setelah pandemi, menandakan orang sedang mengalami kesulitan finansial. Artinya, penanganan kasus teror penagih utang pinjol semakin genting. Semakin banyak peminjaman, semakin banyak pula potensi teror-teror para penagih utang yang sudah sampai taraf membahayakan nyawa.

Salah satu solusi dari Teguh: dalam setiap permintaan unggah foto identitas pada aplikasi mana pun, calon peminjam perlu biasakan untuk membubuhi watermark. “Kalau foto, kasih aja watermark, jadi kita tahu sumber [kebocoran] dari mana,” kata Teguh.

Kabar buruknya, Teguh memvonis bahwa sedetail apa pun warga menjaga data pribadi, apabila pengelola data (negara) tetap sembarangan memperlakukan data tersebut, semua bentuk kehati-hatian tetap percuma.

“Enggak pernah upload [data] yang sensitif  tapi [ada] kebocoran BPJS dan eHAC. Upaya kita sekian tahun ini [untuk jaga keamanan data pribadi] percuma,” tutup Teguh.