Budaya Kerja

Pandemi Corona Menyadarkan Kita, Sebagian Profesi di Indonesia Tak Perlu Lagi Ngantor

Sebagian kantor di Jabodetabek mulai menerapkan kebijakan kerja dari rumah (WFH) akibat penularan COVID-19, yuk sekalian kita evaluasi sistem kantoran di negara ini.
Kerja dari Rumah di Jakarta untuk Menghindari Penularan Virus Corona COVID-19 Ubah Budaya Kerja
Ilustrasi kerja dari rumah oleh Mimi Thian/via Unsplash

Penyebaran virus Corona perlahan berdampak pada kehidupan para pekerja di banyak negara. Contohnya ibu kota negara tetangga kita, Manila di Filipina, mulai menerapkan kebijakan menghambat pergerakan manusia keluar masuk kota itu sejak kemarin. Di Jakarta, per Jumat (13/3) hari ini, sebagian kecil kantor mulai meminta karyawan bekerja dari rumah. Kebijakan itu diambil perusahaan industri kreatif, beberapa kedutaan besar, serta startup teknologi yang jenis pekerjaannya berkutat di depan komputer dan bisa dilakukan dari manapun asal terhubung Internet.

Iklan

Contohnya Devira Aryani, seorang penulis konten untuk sebuah startup. Dia mengaku memilih bekerja dari rumah setelah perusahaan tempatnya bekerja membebaskan karyawannya untuk Work From Home biasa dijuluki WFH. "Bos bilang terserah karyawannya kalau mau WFH asal kerjaan beres. Jadi ya udah gue mending di rumah aja," kata Devira pada VICE.

Sebagian besar karyawan di Jakarta tetap bekerja seperti biasa. Andreas Jatmiko, karyawan di sebuah perusahaan periklanan Jakarta, mengaku masih bekerja seperti biasa dan belum mengetahui seandainya kantor tempatnya bekerja bakal memberlakukan sistem WFH. Dia sendiri bukan jenis yang suka bekerja dari rumah.

"Karyawan lain masih pada ngantor juga, kami cuma memantau perkembangan saja,” kata Andreas. "Gue sih manut aja [kalau diminta WFH]. Cuman enggak semua kerjaan bisa dikerjakan di rumah."

Hal senada dikatakan Arseto, yang bekerja sebagai tenaga marketing distributor alat optik. Arseto, sehari-hari bekerja di luar kantor mengaku tak terdampak jika ada kebijakan WFH. "Sehari-hari emang enggak pernah di kantor, jadi enggak ngaruh. Paling sekarang cuma jaga kondisi sama pakai masker saja. Lebih mengurangi kontak langsung dengan orang," katanya.

WHO telah menetapkan COVID-19 sebagai pandemi dunia, sejumlah negara mengantisipasi hal tersebut dengan menerapkan karantina massal atau lockdown. Italia lebih dulu menerapkan lockdown setelah mencatat 12.839 kasus coronavirus dengan 1.016 kematian pasien per 13 Maret. Langkah karantina turut diambil oleh Filipina yang mencatat 53 kasus dengan dua kematian pasien.

Iklan

Indonesia, yang baru melaporkan kasus positif virus corona awal Maret dan hingga kini mengonfirmasi 34 kasus dengan 1 kematian dan 2 pasien sembuh, tak memilih opsi lockdown. Hal tersebut dikemukakan oleh Juru Bicara Pemerintah untuk Penanganan Virus Corona (COFID-19) Achmad Yuri. Alasannya, menurut Yuri, lockdown justru membuat masyarakat tak bisa berbuat apa-apa.

"Kita tidak akan membuka opsi Lockdown. Karena kalau di-lockdown malah kita tidak bisa berbuat apa-apa," ungkap Yuri kepada awak media. "Tetapi tentunya ini akan menjadi keputusan bersama yang akan segera dikoordinasikan di tingkat kementerian."

Mantan wakil presiden Jusuf Kalla menyarankan pemerintah berani mengambil keputusan lockdown. Terpisah, Kalla mengatakan belajar dari pengalaman negara lain, isolasi dan hambatan mobilisasi massa efektif memperlambat perkembangan COVID-19. "Salah satunya China, dia berhasil memperlambat [penyebaran virus corona], mencegah 100 persen karena lockdown. Tapi ini hanya (bisa diterapkan) negara yang sangat disiplin untuk melaksanakan itu," ungkap Kalla.

Meski begitu, Kalla menegaskan opsi lockdown bisa diambil dengan mengawasi kesiapan ekonomi juga. Lembaga pemeringkat Moody’s memprediksi pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun ini bakal turun menjadi 4.8 persen akibat pandemi.

Satu hal yang pasti, dengan adanya lockdown, bukan berarti warga tak bisa berbuat apa-apa. Duta Besar RI untuk Italia Esti Andayani yang berada di Roma kepada Liputan6, mengatakan kondisi di Italia tidak semencekam yang dibayangkan. Warga masih bisa keluar rumah untuk berbelanja atau sekedar ke restoran. Tidak ada panic buying. Peraturan karantina tersebut, kata Esti, hanya melarang warga untuk bepergian keluar wilayah Italia.

Iklan

Itu sebabnya bekerja dari rumah selama pandemi ini berlangsung jadi opsi sebagian perusahaan. Sejak awal bulan ini, jutaan karyawan di Tiongkok sudah mulai bekerja dari rumah, seperti dilansir BBC. Sementara itu raksasa teknologi macam Microsoft, Apple, Google, Spotify, dan Amazon—dari Inggris hingga Korea Selatan—turut ‘merumahkan’ karyawannya. Begitu juga dengan platform medsos Twitter yang justru mewajibkan karyawannya.

Bekerja tanpa harus ke kantor sejatinya paralel dengan semangat milenial, yang konon ingin menghancurkan budaya kerja kantoran. Hasil survei dari perusahaan pengembang aplikasi Zapier menemukan semakin banyak pekerja yang mengharapkan kesempatan kerja dari rumah. Sebanyak 74 persen responden yang merupakan pekerja kantoran mengatakan siap berhenti kerja jika ada peluang lain di perusahaan yang mengizinkan bekerja dari rumah.

Sisanya 26 persen bahkan sudah meninggalkan pekerjaan yang mengharuskan ke kantor setiap hari. 45 persen peserta menganggap bekerja dari rumah lebih menarik daripada makan siang gratis, sementara 25 persen melihat kegiatan “rekreasi” seperti main ping pong enggak begitu menyenangkan seperti bekerja jarak jauh.

Sebagian besar tertarik bekerja dari rumah biar bisa menghemat uang alias mengurangi pengeluaran, sementara lainnya beralasan dapat menghabiskan waktu lebih banyak dengan keluarga, mengurus hewan peliharaan atau anggota keluarga yang sudah tua, serta bagus untuk lingkungan dan kesehatan mental. Saat ini, satu-satunya yang agak sulit menerapkan kerja dari rumah hanyalah mereka yang bekerja di sektor manufaktur, jasa, dan pariwisata. Sisanya, selama profesi kerah putih, sejatinya bisa dilakukan dari rumah.

Ide WFH pun, ketika diadopsi terbukti menguntungkan perusahaan. Riset menunjukkan bekerja dari jarak jauh meningkatkan produktivitas karyawan, dengan subjek penelitian dapat bekerja satu hari penuh karena tak perlu pergi ke kantor dan enggak ada bentrokan jadwal. Selain itu, mereka jadi lebih konsentrasi bekerja.

Tapi ingat, pekerjaan fleksibel tak selamanya menguntungkan karyawan. Penelitian tersebut menemukan subjek jadi jarang izin sakit dan mengambil cuti berbayar, serta beristirahat lebih sebentar daripada yang bekerja di kantor. Berkurangnya izin sakit menandakan kesehatan mereka membaik. Namun, bekerja dari rumah membuat mereka segan mengambil izin sakit. Tak hanya itu, karyawan justru jarang beristirahat ketika bekerja di rumah.

Terlepas adanya pandemi atau tidak, budaya bekerja dari rumah sudah seharusnya digalakkan oleh perusahaan yang bermental progresif.