kesehatan

Menurut Penelitian, Terapi Psikedelik Bisa Mengurangi Rasa Takut Mati

Ilmuwan menemukan orang yang pernah mati suri atau mengonsumsi psikedelik seperti jamur tahi, cenderung bakal menyikapi kematian secara lebih positif.
konsumsi jamur tahi bisa mengurangi rasa takut mati seseorang menurut penelitian
Foto: Joe Amon/MediaNews Group/The Denver Post via Getty Images / Kontributor via Getty Images

Setiap yang bernyawa pasti akan mati, itu fakta yang tak terbantahkan. Tapi nyatanya, hampir semua orang takut mati. Kita tidak siap menemui ajal. Namun, riset telah menunjukkan masih ada cara mengatasi kecemasan terhadap kematian. Pengalaman nyaris mati (NDE), lebih dikenal mati suri, atau terapi psikedelik diyakini dapat mengubah sudut pandang orang tentang kematian.

Hal ini dibuktikan lewat survei online terhadap lebih dari 3.000 orang yang pernah mati suri dan memakai psikedelik yang dilakukan oleh Roland Griffiths, profesor jurusan psikiatri dan ilmu saraf di Fakultas Kedokteran Universitas Johns Hopkins, Amerika Serikat. Temuannya mengungkapkan responden melaporkan “perubahan sikap yang serupa saat berurusan dengan kematian, termasuk berkurangnya rasa takut mati,” menurut studi yang dipublikasikan Rabu dalam jurnal PLOS ONE.

Iklan

“Saya mengira akan ada tumpang tindih [di antara kelompok], tapi jauh lebih berbeda daripada yang diperoleh survei ini,” Griffiths memberi tahu Motherboard, rubrik teknologi VICE, melalui panggilan telepon.

“Ada tumpang tindih besar sehubungan dengan fenomenologi—yaitu kualitas pengalaman—serta atribusi yang bertahan untuk pengalaman itu, baik dalam pengalaman nyaris mati atau keluar dari tubuh [OBE] yang tidak berkaitan dengan obat-obatan, versus pengalaman psikedelik,” imbuhnya.

Griffiths terkenal mendalami efek terapeutik psilocybin, yang merupakan senyawa psikoaktif dalam magic mushrooms atau jamur tahi. Dia terilhami untuk melakukan eksperimen komparatif setelah membaca efek transformatif NDE. Orang-orang yang pernah mati suri dikabarkan mampu memaknai kematian secara lebih positif, serta ada peningkatan dalam tujuan hidup.

“Sering kali orang memiliki pemandangan yang berbeda [tentang kematian], bahwa masih ada yang berlanjut setelah tubuhnya mati,” terang Griffiths. “Orang merasa ada kualitas penuh kebajikan yang muncul, dan mereka yakin kematian bukanlah akhir dari segalanya.”

“Kami pernah melakukan terapi psilocybin pada pasien kanker yang depresi atau gelisah karena penyakitnya mengancam jiwa, dan hasilnya sama,” lanjutnya. “Orang mengalami ini. Selain meredakan depresi dan kegelisahan, terapinya juga mengurangi rasa takut mati.”

Untuk mendapatkan pemahaman lebih luas tentang kesamaannya, para peneliti mengajak hampir 16.000 responden untuk mengisi survei online yang menanyakan seputar perubahan keyakinan tentang kematian yang dikaitkan dengan tiga jenis pengalaman. Pertama, pengalaman yang melibatkan konsumsi zat psikoaktif, seperti psilocybin, LSD, ayahuasca atau DMT. Kedua, pengalaman nyaris mati. Yang terakhir adalah pengalaman luar biasa lainnya yang tidak melibatkan psikedelik.

Iklan

Dari belasan ribu responden, hanya 3.192 orang yang merampungkan survei dan memenuhi kriteria. 2.259 orang di antaranya masuk kelompok psikedelik, sedangkan 933 orang memiliki pengalaman mengubah hidup yang tidak berkaitan dengan obat-obatan. Dalam kelompok psikedelik, 40 persen responden memakai LSD (904 orang), 34 persen memakai jamur tahi (766 orang), 12 persen memakai ayahuasca (282 orang) dan 14 persennya lagi merokok/mengisap DMT selain ayahuasca (307 orang). Dalam kelompok “non-drug”, separuh responden melaporkan pernah mati suri, sedangkan separuhnya lagi mengalami sensasi keluar dari tubuh yang tidak membahayakan keselamatan mereka.

Berdasarkan jawaban yang diterima, responden dari kedua kelompok tak lagi setakut dulu berkat pengalaman mereka, meskipun ada perbedaan menarik baik di antara maupun di dalam kelompok-kelompok tersebut. Contohnya, anggota kelompok “non-drug” lebih cenderung menganggapnya sebagai “pengalaman paling berharga dalam hidup mereka”, jika dibandingkan dengan kelompok psikedelik. Sementara itu, cara pemakaian obat memengaruhi perbedaan dalam kelompok psikedelik.

“Walaupun kami secara statistik mengontrol perbedaan demografis, ayahuasca cenderung digunakan dalam kegiatan upacara dan secara bersama-sama, jadi mungkin ada bias yang lebih besar terhadap ekspektasi metafisik dan semacamnya,” Griffiths menjelaskan. “Mungkin memang ada perbedaan, tapi saya pikir kita masih bisa memisahkannya.”

Griffiths dan rekan-rekan penelitinya berharap hasil survei ini dapat dijadikan pertimbangan untuk memberikan terapi psikedelik, seperti psilocybin atau jamur tahi, bagi orang-orang yang memiliki ketakutan berlebihan terhadap kematian.

“Saya berharap terapi psikedelik dapat disetujui secara medis untuk menangani kecemasan terkait akhir hidup,” simpul Griffiths. “Ada banyak orang di luar sana yang sampai menghadapi krisis eksistensial dan stres memikirkannya, sehingga metode terapeutik ini sangat bisa diberlakukan.”