Kontroversi UU Cipta Kerja

NU Bakal Ajukan Uji Materi UU Cipta Kerja ke Mahkamah Konstitusi

Pasal terkait pendidikan dan sertifikasi halal dalam draf final ominbus law dipersoalkan ormas Islam terbesar itu. Pemerintah berkukuh tak akan terbitkan Perppu.
NU Akan Ajukan Uji Materi UU Cipta Kerja ke Mahkamah Konstitusi
Plang kantor Pengurus Besar Nahdlatul Ulama di Jakarta. Foto oleh Akhmad Fauzi/ Wikimedia Commons/lisensi CC 3.0

Pengesahan Undang-undang Cipta Kerja oleh DPR RI mendapat penolakan tidak hanya dari elemen buruh, mahasiswa, aktivis, atau fans K-Pop, tetapi juga salah satu organisasi Islam terbesar dalam negeri. Melalui pernyataan resmi, Nahdlatul Ulama (NU) menyampaikan keberatan dan mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK).

“Nahdlatul Ulama menyesalkan proses legislasi UU Ciptaker yang terburu-buru, tertutup, dan enggan membuka diri terhadap aspirasi publik,” demikian kutipan pernyataan tertulis NU pada Jumat (9/10). Ormas Islam ini menilai DPR tidak memiliki sikap kenegaraan yang baik karena memaksakan pengesahan perubahan drastis 76 undang-undang di tengah pandemi, meski ditolak oleh berbagai elemen masyarakat.

Iklan

NU mempersoalkan potensi liberalisasi sektor pendidikan yang dibuka oleh UU Cipta Kerja. Selain itu, omnibus law juga dirasa akan mengancam pertanian berkelanjutan, serta kesejahteraan buruh. Poin keberatan NU lainnya datang dari keberadaan Pasal 48 UU Cipta Kerja, yang membuat Jaminan Produk Halal dimonopoli satu lembaga. Sehingga ormas Islam macam NU, Muhammadiyah, atau Persis berisiko tak lagi dilibatkan dalam sertifikasi halal.

Karena itulah, NU bakal menempuh jalur hukum, dengan mengajukan uji materi UU Cipta Kerja ke Mahkamah Konstitusi. “Nahdlatul Ulama membersamai pihak-pihak yang berupaya mencari keadilan dengan menempuh jalur konstitusional dengan mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi," kata Ketua Umum PBNU Said Aqil Siroj seperti dikutip CNN Indonesia.

Isu lain yang dipermasalahkan oleh NU adalah kaitan antara semakin longgarnya gerak pengusaha industri tambang dan konsekuensinya terhadap lingkungan hidup. Ini juga disinggung oleh banyak pihak, termasuk Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI).

“Pemerintah tidak selektif dalam menarik investasi asing yang datang sehingga investor potensial yang hadir justru adalah investor yang buruk dan paling ekstraktif, yang hanya akan memperluas eksploitasi alam dan kerusakan lingkungan,” kata WALHI lewat keterangan tertulis.

Selepas demonstrasi massif di 18 provinsi pada 8 Oktober 2020, sebagian kepala daerah menemui massa. Mereka berjanji akan menyurati presiden agar menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) yang menganulir sementara UU Cipta Kerja.

Iklan

Merespons permintaan tersebut, Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden Donny Gahral Adian menyatakan hal itu tidak bisa dipenuhi. “Tidak ada pilihan Perppu. Pemerintah menghargai masukan dari serikat buruh,” ujarnya seperti dikutip Kompas TV. Donny mempersilakan semua pihak yang keberatan dengan substansi UU Cipta Kerja menempuh jalur uji materi, alias judicial review, ke Mahkamah Konstitusi.

Pengamat hukum sekaligus pendiri Yayasan Lokataru, Haris Azhar Azis, mengaku skeptis dengan upaya uji materi. Alasannya, DPR belum lama ini meloloskan revisi UU MK yang sama-sama bermasalah di mata praktisi hukum, membuat masa jabatan hakim konstitusi diperpanjang hingga usia 70 tahun. “Mayoritas [hakim] di MK akan memenangkan Omnibus Law,” ucapnya.

Berkembangnya rasa tidak percaya terhadap MK membuat lembaga itu buka suara, sembari mengklaim akan netral seandainya judicial review UU Cipta Karya diajukan oleh masyarakat.

“Insya Allah MK enggak akan terkurangi kejernihan berpikirnya dengan peristiwa apa pun, apalagi menyangkut kebenaran dan keadilan berdasarkan UUD,” ujar Fajar Laksono selaku Kepala Bagian Humas dan Kerja Sama Dalam Negeri di MK.

“Publik silakan ikut memantau proses penanganan perkara. Mari ikut memastikan penanganan perjara berjalan sesuai koridor ketentuan peraturan,” tambahnya.