RUU PKS

Alasan Fraksi PKS di DPR Mengkritik RUU PKS: 'Keluar dari Logika Agama'

Legislator dari partai konservatif mempertanyakan alasan dalam RUU PKS zina suka sama suka tak dikenai pidana. Komnas Perempuan ingatkan perzinaan sudah diurus KUHP.
Naskah RUU PKS dibahas kembali oleh DPR dikritik fraksi PKS
Mahasiswa menggelar unjuk rasa menuntut DPR sahkan RUU PKS di Jakarta pada 10 November 2020. Foto oleh Adek Berry/AFP

Usai Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) masuk prolegnas 2021 dan kini mulai dibahas kembali di DPR RI, ternyata anggota fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) masih konsisten mengkritik draf saat ini. Suara lama itu diucapkan kembali anggota Badan Legislasi DPR RI dari Fraksi PKS Bukhori Yusuf dalam rapat dengar pendapat umum antara Baleg DPR RI dan Komnas Perempuan, kemarin (29/3). Menurut Bukhori, isi draf RUU PKS sengaja mengabaikan logika agama.

Iklan

“Tapi sayang, saya tidak mendengarkan logika yang dibangun dari nilai-nilai agama yang dijadikan sebagai basic berpikir dalam mengonstruksikan pikiran serta rancangan UU ini. Saya jadi penasaran kenapa begitu sangat tidak mau menggunakan logika agama,” tuduh Bukhori. Mengapa agama dibawa-bawa, menurut Bukhori agamalah karena lembaga paling punya kredibilitas dalam mengatur urusan seksualitas.

Sebagai contoh kasus dari kritiknya, Bukhori menyorot bagaimana RUU “terlalu luas” mendefinisikan kekerasan seksual. “Contohnya dalam mendefinisikan kekerasan seksual, penjelasan dalam bahan ini terlalu luas dan tidak limitatif. Padahal objek kekerasannya adalah sesuatu yang juga diatur oleh agama,” ujarnya, dikutip RMOL.

Selain itu, ia memempertanyakan kenapa zina tidak dimasukkan sebagai tindak pidana kekerasan seksual. “Dalam perspektif Islam, zina adalah sesuatu yang menimbulkan korban tindak pidana langsung, bahkan dikategorikan sebagai kejahatan. Karena itu, Allah melarang perbuatan itu dan juga perbuatan lain yang berkenaan dengan kekerasan seksual," jelas Bukhori.

Iklan

Terdengar seperti ironi karena kesamaan singkatan, partai berlambang padi dan bulan sabit ini emang sejak dulu konsisten mengkritik, bahkan menolak, draf RUU PKS saat ini. Pada 2019 misalnya, Ketua Fraksi Partai Keadilan Sejahtera di DPR RI Jazuli Juwaini mengatakan RUU PKS mempunyai perspektif liberal yang tidak sesuai dengan nilai-nilai Pancasila, agama, dan budaya ketimuran. Sama kayak Bukhori, RUU PKS disebutnya permisif atas seks bebas dan zina. Wakil Ketua Majelis Syuro PKS Hidayat Nur Wahid mengaku pihaknya sudah mengusulkan sejumlah “perbaikan” pada RUU namun ditolak.

Pandangan soal zina yang seolah dilegalkan RUU PKS sudah dibantah Ketua Komnas Perempuan Azriana R. Manalu. Menurutnya, pihak yang kontra harus memahami RUU PKS sebagai undang-undang khusus. Pasal soal moral dan kesusilaan sudah diatur dalam KUHP sehingga tidak perlu dibahas lagi agar tidak menimbulkan tumpang tindih. “RUU ini tidak bicara soal kejahatan terhadap kesusilaan, hanya bicara soal kekerasan seksual. Yang bukan kekerasan seksual itu bisa dibahas di UU lain,” kata Azriana kepada Kompas. Perzinaan, misalnya, sudah diatur dalam Pasal 284 KUHP sebagai kejahatan dalam perkawinan.

Iklan

Aktivis perempuan dari Jaringan Gusdurian Inayah Wahid menyebut, RUU PKS adalah peraturan yang menjamin keamanan dan hak-hak korban kekerasan seksual. “Jangan karena tidak menyebutkan LGBT atau zina, kemudian disebut RUU ini mendukung LGBT dan pro-zina. Jangan dibalik-balik berpikirnya,” kata Inayah dilansir CNN Indonesia

Inayah juga menambahkan, penyusunan RUU PKS justru melibatkan banyak tokoh seluruh agama di Indonesia dan perwakilan perempuan. “Padahal landasan RUU PKS ini adalah hasil rekomendasi ulama. Ini jelas tidak seperti judul clickbait-nya pro-zina. Di sini [RUU PKS] lebih menekankan perlindungan terhadap korban.”

Komisioner Komnas Perempuan Imam Nahe’i mengatakan RUU PKS sulit diterima beberapa pihak karena pengesahannya bisa menjerat lebih banyak jenis kekerasan seksual sehingga banyak pelaku yang kemudian bisa ditangkap. “Makanya banyak orang yang gemetaran juga,” kata Imam.

Diambil dari situs Amnesty International Indonesia, Catatan Kekerasan terhadap Perempuan Tahun 2019 milik Komnas Perempuan melaporkan peningkatan kasus kekerasan terhadap perempuan hampir 8 kali lipat dalam 12 tahun terakhir. Kekerasan seksual terhadap anak perempuan juga meningkat, dari 1.417 kasus pada 2018 menjadi 2.341 kasus pada 2019 atau naik hampir 2 kali lipat. Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan untuk Keadilan (LBH Apik) turut mencatat ada 97 kasus kekerasan seksual sepanjang Maret-April 2020. Hm, lihat angka begini apakah kader PKS tidak terenyuh hatinya ya?