FYI.

This story is over 5 years old.

Sepakbola

Dipecat, Banyak Mantan Pemain Sepakbola Muda Inggris Banting Setir Jadi Bandar Narkoba

Sekelompok eks pemain muda berbakat ini biasanya terjun ke bisnis haram ini lantaran ingin tetap hidup mewah pasca dilepeh kesebelasannya.
Max Daly
London, GB
Michael Branch, dipenjara tujuh tahun sejak 2012. Polisi menemukan sekilo kokain di kamarnya

Michael Branch, dijatuhi hukuman penjara selama tujuh tahun penjara pada 2012 setelah polisi menemukan sekilo kokain di rumahnya.

Ada beberapa kemiripan antara mengedarkan narkoba dan bermain sepakbola secara profesional. Keduanya melibatkan kesepakatan-kesepakatan rahasia, transfer internasional bernilai tinggi, ketergantungan terhadap barang impor dari luar; hingga kehati-hatian agar terhindar dari intersepsi yang berbahaya.

Iklan

Namun, sepakbola dan peredaran narkoba baru benar-benar bertemu satu sama lain di penjara-penjara di Inggris. Dari 147 mantan pesepakbola profesional yang mendekam di penjara, 128—atau 86 persen di antaranya—dijebloskan ke hotel prodeo karena terlibat peredaran narkoba.

Para napi eks pesepakbola profesional ini bukan bintang-bintang yang karirnya hampir berakhir. Kebanyakan pemain sepakbola yang pensiun belakangan ini punya cukup duit utuk menjalani sisa hidup mereka. Sebaliknya, pesepakbola yang kini mendekam dalam penjara ini adalah pemain berusia 25 tahun yang mengalami pemutusan kontrak dan dipenjara bukan lantaran jadi bandar narkoba kelas teri. Mereka justru dijatuhi hukuman karena terlibat peredaran obat-obatan terlarang kelas A.

Sebelum melirik peredaran narkoba, manuver klasik yang diambil para mantan pemain sepakbola yang malas mengambil pekerjaan konvensional—macam membuka klinik olahraga atau mengelola pub—adalah mencemplungkan diri dalam skema penipuan uang atau investasi bodong bersama teman lama atau malah kerabatnya. Kecenderungan seperti ini masih terus berlangsung dan biasanya menjanjikan keuntungan yang tak sedikit, apalagi jika sasarannya adalah sesama pesepakbola.

Mayoritas pemain muda yang ditinggalkan oleh klubnya biasanya bakal beralih profesi. Beberapa di antaranya malah berakhir jadi pengangguran. Namun, sebagian pemain yang diputus kontraknya oleh sebuah klub memilih jalan singkat berbahaya untuk kembali bergelimang harta—biasanya pemain jenis ini adalah mereka yang sudah bermimpi jadi kaya raya begitu pensiun.

Iklan

Itulah opsi yang dipilih oleh Michael Kinsella, mantan kiper tim under-15 yang seharusnya bisa meroket jadi pesepakbola kelas dunia. Malang, nasib baik tak berpihak padanya. Karirnya mandek. Pada usia 20 tahun, Kinsella dilepas oleh manager John Alridge di Tranmere Rovers. Selang beberapa bulan kemudian, Kinsella terlihat menjajakan kokain di jalanan Liverpool. Pada 2007, polisi menggeledah rumahnya dan menemukan sebungkus kokain senilai £300.000 (sekitar Rp5,7 miliar), sebungkus lagi senilai £2.000 (Sekitar Rp38 juta) dan daftar bandar narkoba. Kinsella lantas dijatuhi hukuman tujuh tahun penjara.

Keterlibatannya dalam perdagangan narkoba terkuak ketika dijatuhi hukuman tambahan sebanyak sembilan tahun penjara lantaran terbukti menjadi bagian sindikat perdagangan kokain internasional dari Liverpool. Sindikat ini ditengarai mengimpor satuan kilogram kokain, pil ekstasi dan heroin ke jalanan Merseyside dari Amsterdam dan Spanyol. Penyidik polisi berhasil mengidentifikasi Kinsella sebagai pemain penting dalam sindikat ini. Keuntungan yang diraup Kinsella dari bisnis haram ini mencapai £1,6 juta (sekitar Rp38 miliar).

Selepas keluar dari penjara, Kinsella mendirikan Onside, sebuah akademi olahraga dan pendidikan untuk membantu pesepakbola muda yang menjadi korban pemutusan kontrak. Saya menghubungi Kinsella dan mengajukan sebuah pertanyaan: kenapa dirinya serta beberapa mantan pesepakbola lainnya memilih menjadi pengedar narkoba setelah karir sepakbola mereka hancur lebur?

Iklan

“Ada beberapa pesepakbola yang punya karir bagus di luar lapangan. Tapi, yang jelas mengedarkan narkoba itu cepat menghasilkan uang,” jawab Kinsella. “Susah sekali bagi kami untuk dapat pekerjaan dan pesepakbola umumnya tak punya latar belakang pendidikan yang baik. Tentu ada beberapa pesepakbola yang cerdas, tapi ada juga yang tidak. Ujung-ujungnya, selalu ada yang berakhir jadi pengedar narkoba.”

Tapi, bukankah hal yang sama terjadi pada pemain Rugby. “Mereka kan kebetulan tahu orang yang mengenalkan mereka pada bisnis narkoba, begitu kan?,” sergah Kinsella. “Orang-orang biasanya kawan lama, yang sama-sama tumbuh dewasa dengan bermain bola. Intinya mereka punya latar belakang yang sama. Perdagangan narkoba adalah bisnis bawah tanah, tapi lahir dari hubungan-hubungan sosial. Begitu seseorang curhat kalau sedang butuh uang tambahan, selalu saja ada orang yang bisa membantu mereka mendapatkan uang dalam waktu cepat. Selalu begini kok kejadiannya, bahkan kalau kamu bukan seorang pemain sepakbola.”

“Dalam kasus saya, saya butuh uang dan saya mulai menjajakan narkoba di jalanan seperti orang lain. Saya mulai jualan kokiain di jalan saat berumur 20 tahun. Setelah keluar masuk penjara beberapa kali, kamu bakal kenal beberapa pelaku peredaran narkoba. Dari sini, kamu baru mulai memulai karirmu sebagai pengedar.”

Di balik pesepakbola yang sukses bermain di Premier League, terdapat ribuan anak yang karirnya berakhir prematur. Industri sepakbola Inggris adalah sebuah proses seleksi alam yang besar. Produk sampingannya, sayangnya, adalah keping-keping impian pesepakbola Inggris muda yang hancur lebur. Dari 10.000 anak atau lebih yang bermimpi bermain di Premier League, hanya satu persen saja yang bakal hidup dari mengolah si kulit bundar di lapangan.

Iklan

Pemain muda yang mendapat beasiswa sepakbola pada usia 16 tahun— nasib mereka lebih bagus dari Brooklyn Beckham yang baru-baru ini ditolak oleh Arsenal—atau mereka yang sudah meneken kontrak bernilai tinggi pada usia 18 tahun pun tak punya kepastian bakal punya karir yang mentereng. Kebanyakan dibuang oleh klubnya sebelum berusia 21 tahun.

Celakanya, kecenderungan pemain muda buangan ini terjun ke bisnis peredaran narkoba tengah mengalami peningkatan. Xpro—sebuah organisasi yang memperjuangankan kesejahteraan dan kesehatan para mantan pesepakbola profesional—memiliki data statistik semua pesepakbola yang berakhir di hotel prodeo. Organisasi ini memperkirakan ada lebih dari 150 mantan pemain sepakbola profesional berusia antara 18 hingga 21 tahun yang kini mendekam di penjara khusus remaja. Kebanyakan dari mereka dihukum karena kejahatan yang terkait pengedaran narkoba.

Pemimpin utama Xpro, Geoff Scott, adalah mantan pemain bertahan Stoke City. Scott telah menemui lebih dari 100 mantan pemain sepakbola di berbagai lapas di Inggris. Scott yakin bahwa dengan begitu besarnya jumlah uang yang berputar di sekitar permainan sepakbola, klub dan otoritas sepakbola—terutama Professional Footballers' Association yang memiliki budget pendidikan sebesar £8 juta (sekitar Rp152 miliar) untuk melatih mantan pemain dalam karir barunya—harusnya bisa lebih giat membantu mantan pemain yang dibuang oleh timnya saban tahunnya.

Iklan

“Mereka ini dicuci otaknya hingga percaya mereka semua bakal sukses. Mereka terperangkap dalam ilusi kesuksesan ini—mereka bisa melihat Range Rovers dan Maserati [milik pemain yang sudah sukses] dan terpapar kultur macam ini,” kata Scott.” lalu, malangnya, pada usia 15 tahun ke atas, mereka disingkirkan oleh klub dengan pesangon yang secukupnya dan pengalaman hidup yang nyaris nihil. Bayangkan, ada pemain muda yang digaji £1 juta (sekitar Rp19 miliar) setahun . Begitu mereka dibuang dari klub, mereka cuma mikir ‘Okay, bagaimana caranya dapat uang yang sama dengan usaha seminimal mungkin?’ sebagian besar pemain berusia di bawah 25 tahun yang kini dipenjara dijebloskan ke sana karena mereka berusaha mengumpulkan uang yang menurut mereka harusnya ada di kantong seandainya tetap bermain sepakbola. Mereka diberi paket kokain yang harus diantar dari, katakanlah, Liverpool ke Birmingham dengan imbalan £1.500. Jadi, mereka bisa dapat uang sebanyak itu dalam dua jam. Sejatinya, kebanyakan dari mereka tak berpikir jadi pengedar narkoba. Hanya, mentalitas yang tertanam di klub melulu tentang uang. Mereka lalu jadi serakah.”

Salah satu pemain yang dikunjungi Geoff adalah mantan pemain Everton, Michael Branch, salah satu orang yang pernah digadang-dagang jadi bintang masa depan Inggris. Branch bermain pertama kali untuk Everton di usia 17 tahun pada musim kompetisi 1996-1997. Saat itu, Branch bermain bersama skuad Everton yang dihuni oleh Neville Southall dan Andrei Kanchelskis serta dapat review bagus daru Times. Sepuluh tahun berselang, karir Branch menemui kebuntuan setelah bermain untuk Wolves, Bradford dan Chester, sebelum gantung sepatu pada usia 27. pada 2012, Branch jadi pesakitan setelah polisi menggeledah rumahnya dan menemukan sekilo kokain murni 82 persen.

Iklan

Menurut keterangan Scott, Branch kala itu sedang kepepet dan di tengah keputusasaan, Branch terjun dalam bisnis narkoba. Awalnya, Branch cuma ingin terlibat dalam satu transaksi besar saja. Sialnya, Branch makin serakah dan memutuskan untuk makin terlibat karena bisnis cepat sekali menghasilkan uang.

“Waktu saya mengunjungi Michael, dia pikir saya polisi karena tak ada satupun orang pelaku sepakbola yang mengunjunginya,” aku Geoff. “Michael sudah dilupakan. Dia mengaku sedang berusaha mendapatkan badge pelatih, tapi saya bilang tak ada yang bakal mempekerjakannya sebagai pelatih anak-anak dengan catatan kasus narkoba macam ini. Jadi, Michael sudah memanfaatkan sungguh-sungguh fasilitas pendidikan dalam penjara dan dia kini memenuhi kualifikasi profesi baru yang dia pilih.”

Bisnis obat-obatan terlarang dan narkoba tak pernah jauh dari sepakbola profesinal. “Uncle Bobby” yang konon dikabarkan sebagai sepupu kedua Steven Gerrad, adalah salah satu buronan narkoba yang paling dicari saat ini karena terlibat dalam penyelundupan kokain senilai £60 juta (sekitar Rp1,1 triliun). Saudara laki-laki mantan pemain bertahan Premier League Zat Knight dijebloskan ke penjara setelah menjalankan jual beli heroin dan kokain pada 2008. Bahkan ayah John Terry tertangkap tangan menjual kokain pada seorang wartawan yang menyamar. Sampai saat ini, hukuman terhadap ayah Terry masih ditangguhkan.

Terlepas dari siapa rekan bisnis mereka, kawan lama atau saudara dekat, uang cepat dan berlimpah yang dijanjikan dari bisnis narkoba harus dibayar oleh para pemain muda ini dengan keikhlasan pindah ke daerah pinggiran seperti Cheshire dan Essex. Mereka dan rekan bisnis mereka tak hanya bakal sering nangkring di bar yang sama namun juga membeli Rover di dealer yang sama.

Iklan

Seorang mantan pemain Premier League, yang dikenal banyak menulis tentang seluk beluk sepakbola dengan nama pena The Secret Footballer, membeberkan bahwa pesepakbola belia—beberapa di antaranya bergaji £5.000 (sekitar Rp94 juta) seminggu—dapat dengan cepat terbiasa hidup dalam gelimang harta sebelum akhirnya didepak dari skuad kesebalasan yang mengontrak mereka.

“Banyak pesepakbola yang sekarang terjebak dalam bisnis narkoba awalnya melihat perdagangan narkoba sebagai cara cepat mendapatkan uang sebanyak yang mereka dapatkan ketika dulu masih jadi pemain sepakbola—dan itu jelas susah dipertahankan,” katanya. “Sah-sah saja menduga kalau pemain-pemain ini yang sudah tak lagi dapat gaji besar dari bermain sepakbola, diincar para gembong narkoba saat mencari distributor yang punya pengaruh kuat pada anak muda.”

Dugaan ini jelas bukannya tanpa alasan. Banyak pemain sepakbola yang awalnya jadi bintang muda berbakat, dalam sekejap ditendang dari tim dan akhirnya masuk penjara lantaran terlibat peredaran narkoba. Joel Kitamirika pernah turun ke lapangan bersama Chealsea dalam sebuah laga di level Eropa. Usianya baru 17 tahun waktu itu dan dia bermain dengan bersama Frank Lampard dan John Terry sebelum ia ditinggalkan The Blues. Kitamirika akhirnya bermain untuk Chelmsford City dan pada 2008, dijatuhi hukuman penjara 20 bulan setelah terbukti menjajakan kokain dan heroin di jalanan Ipswich.

Lima tahun kemudian, mantan pemain akademi Newcastle, Andrew Ferrell, jadi salah satu anggota geng pengedar narkoba yang dipenjara selama total 44 tahun setelah polisi menyita kokain dan amphetamine senilai £1,5 juta (sekitar Rp28,5 miliar). Ferrell bergabung dengan Newcastle pada 2002. Kontraknya diputus dua tahun kemudian. Karirnya menukik tajam dan akhirnya dibayar £250 (sekitar Rp4,7 juta) perminggu di Bedlington Terriers.

Mantan pemain under-18 Leicester City Ellis Myles-Tebbutt, kini berusia 21 tahun, kini menjadi penghuni lapas setelah kedapatan membawa 30 bungkus heroin dan kokain. Pengacaranya mengatakan bahwa Ellis kehilangan arah setelah “impian profesionalnya” bersama Leicester City menguap pasca dikeluarkan dari akademi sepakbola tanpa kontrak.

Bagi orang yang yang tak memiliki akses terhadap pekerjaan konvensional yang menjanjikan, bisnis narkoba memang memberikan janji yang manis. Tak susah untuk membayangkan kalau seorang pemuda berbakat yang pernah mendapatkan beasiswa sepakbola dan meneken kontrak profesional serta menikmati gaya hidup super mewah dengan melakukan apa yang mereka sukai—sebelum dilepeh begitu saja—bakal tergiur menekuni bisnis harap yang satu ini.

Dengan banyaknya eks-pemain profesional yang menghuni hotel prodeo, kita harus khawatir bahwa masalah ini akan dibiarkan begitu. Sebab jika benar demikian, maka mantan talenta-telenta berbakat yang kini jadi penghuni lapas bakal dilupakan dan terkurung selamanya dalam sisi gelap industri sepakbola.

@narcomania