FYI.

This story is over 5 years old.

Kesehatan Mental

Terlalu Keras Mengejar Kebahagiaan Justru Bisa Membuatmu Menderita

Prinsipnya sama kayak tidur—semakin keras kamu berusaha tidur, makin sulit kamu terlelap.

Artikel ini pertama kali tayang di Tonic

Sekarang memang sulit untuk dibayangkan, tapi dua dekade lalu, ranah psikologi positif masih jauh dari arus utama. Kebanyakan peneliti dan pekerja klinik memfokuskan perhatian mereka ke kesehatan mental, dan mengidentifikasi kelakuan negatif atau pola pikiran yang mendorong terbentuknya gangguan.

Semua ini berubah pada 1998 ketika seorang psikolog ternama dari University of Pennsylvania, Martin Seligman menggunakan psikologi positif sebagai tema utama masa kepemimpinannya selaku Direktur American Psychological Association. Semenjak itu, ribuan naskah akademik, buku pengembangan diri, dan TED Talk telah membahas topik kebahagiaan, berikut cara terbaik untuk mendapatkannya. Semenjak 2012, PBB telah menyelenggarakan World Happiness Reports setiap tahunnya, dengan tujuan memonitor “tingkat kebahagiaan dunia.”

Iklan

Bagi warga Amerika—negara yang menjunjung pencarian kebahagiaan sebagai salah satu prinsip dasar di Deklarasi Kemerdekaan negara—mengejar kebahagiaan adalah sesuatu yang wajar dan alami. Masalahnya satu: Kita tidak punya bukti bahwa memprioritaskan kebahagiaan membuat seseorang bahagia. Faktanya, penelitian menunjukkan bahwa mengejar kebahagiaan justru bisa membuat seseorang menderita.

Sebuah penelitian di 2011 menemukan bahwa mengejar kebahagian justru “menggagalkan diri sendiri,” dan mendorong orang untuk menghargai kebahagiaan hanya akan membuat mereka merasa menderita. Setelah membagi peserta studi ke dalam dua grup, para peneliti mengatakan ke satu grup bahwa “orang-orang yang bahagia bisa membuat mereka merasakan setiap momen, dan kemungkinan mereka untuk menjadi sukses, sehat, dan populer lebih tinggi.” Setelah itu, grup ini ternyata tidak bereaksi segitu positifnya terhadap aktivitas menyenangkan dan menderita setelah mengalami aktivitas yang agak menyulitkan. “Semakin orang menghargai kebahagiaan,” jelas kepala studi tersebut, “lebih besar kemungkinan mereka akan merasa kecewa.”

Dalam sebuah studi yang serupa, kali ini dari 2014, peneliti menemukan bahwa pencarian kebahagiaan justru bisa meningkatkan risiko seseorang terpapar depresi. Kok bisa? “Ketika seseorang mengejar kebahagiaan, mereka akan memonitor pencapaian mereka, dan ini justru akan menghalangi kemampuan mereka untuk meraih kebahagiaan,” jelas Brett Ford, salah satu pencetus studi tersebut yang juga bekerja sebagai asisten profesor psikologi dari University of Toronto.

Iklan

Dalam kata lain, bukan pencarian kebahagiaan yang menjadi masalahnya. Namun perilaku mengecek seberapa jauh kamu dari kebahagiaan yang bisa mempengaruhi mood. Semua ini menunjukkan bahwa semakin sering kita memikirkan seberapa bahagia kita atau bagaimana meningkatkan kebahagiaan, semakin kecil kemungkinan kita akan benar-benar merasa bahagia.

Bahkan cara kita mendefinisikan kebahagiaan pun mungkin sudah salah. Kebanyakan dari kita mengira kehidupan yang bahagia berisikan pikiran yang serba positif dan optimisme. Tapi sebuah penelitian yang dirilis awal tahun ini membeberkan bahwa menerima emosi yang “tepat” atau sesuai dengan situasi—bahkan emosi negatif seperti rasa takut dan sedih—memberikan kemungkinan yang lebih besar untuk menghasilkan kebahagiaan daripada mencoba untuk merasa bahagia setiap saat.

“Kadang, kita merasa sedih, cemas, atau marah,” jelas pencetus studi, Maya Tamir, seorang profesor psikologi di Hebrew University di Israel. “Apabila kita belajar menerima emosi-emosi ini dan melihat nilai mereka, kemungkinan kita akan lebih bahagia secara keseluruhan.”

“Ada banyak definisi kebahagiaan dan semuanya berbeda-beda,” tambah Lahnna Catalino, seorang asisten profesor psikologi di Scripps College di California. Catalino setuju bahwa berusaha memaksimalkan kebahagiaan setiap saat justru “bisa jadi senjata makan tuan.” Tapi dia juga pernah merilis penelitian yang menunjukkan bahwa “memprioritaskan positivitas”—atau berusaha mengatur harimu dengan hal-hal yang membuatmu senang—bisa meningkatkan kepuasan batin.

Ya, di sinilah pentingnya kita kembali ke konsep bahwa kita bisa melakukan hal-hal yang membuat kita merasa lebih senang. Dan semua ahli mengatakan bahwa ini sangat mungkin. Di saat yang sama, ide bahwa memikirkan dan berusaha mencapai kebahagiaan akan membuatmu lebih bahagia patut dipertanyakan. Ujung-ujungnya, mungkin baik adanya untuk memikirkan kebahagiaan seperti tidur; ada langkah-langkah yang bisa diambil untuk meningkatkan kedua hal ini, tapi menghabiskan waktu memikirkannya justru tidak akan membantu.

“Menerima emosi diri, dan tidak mengejar gol emosional tertentu, termasuk kebahagiaan,” kata Ford, “mungkin adalah cara yang efektif untuk mencapai kesejahteraan batin.”