FYI.

This story is over 5 years old.

Terorisme

Militan Indonesia Diduga Pimpin Ratusan Jihadis Masuk Marawi

Tentara Filipina sebetulnya telah sukses merebut kota di Kepulauan Mindanao itu. Namun sel-sel simpatisan ISIS terus berusaha melawan dibantu jaringan warga asing.
Warga melewati bangunan yang diduga sempat jadi persembunyian pemimpin militan Isnilon Hapilon dan Omar Maute di Kota Marawi. Foto oleh Romeo Ranoco/Reuters.

Seorang militan asal Indonesia diduga memimpin ratusan jihadis untuk masuk ke Marawi, Filipina beberapa bulan sebelum konflik tersebut berakhir. Dalam laporan yang dilansir The Philippine Star, Abu Muhammad Busrow, disinyalir masuk ke Marawi bersama sekira 100 militan untuk membantu kelompok Maute yang terdesak pasukan Armed Forces of the Philippines (AFP). Klan Maute, bersama Abu Sayyaf, sejak tiga tahun lalu sudah berbaiat kepada komando Negara Islam Irak dan Syam (ISIS).

Iklan

Dalam laporan tersebut, para militan itu pernah mengikuti pelatihan lebih dulu. Mereka berangkat dalam beberapa tahap menuju Kepulauan Mindanao, sebelum memasuki Marawi. Pejabat militer Filipina masih belum bisa mengkonfirmasi laporan tersebut. Dari data pemerintah, lebih dari 900 militan Klan Maute tewas sepanjang pertempuran berlangsung dari 23 Mei hingga 23 Oktober tersebut.

“Meski beberapa militan asing tersebut berhasil masuk ke Marawi, kebanyakan gagal karena ketatnya pengamanan di sekitar,” kata salah seorang sumber intelijen militer Filipina.

Dari informasi telik sandi, Busrow masuk bersama teroris asal Yordania dan langsung berada di bawah komando pimpinan kelompok Maute, Isnilon Hapilon—yang tewas akibat serangan udara 16 Oktober lalu. Busrow kini terus diburu pemerintah Filipina dengan hadiah $1 juta. Informasi mengenai Busrow di jejaring teroris Indonesia masih gelap. Nyaris tidak ada informasi mengenai rekam jejaknya.

Masuknya ratusan militan dari Indonesia ke Filipina, jika terkonfirmasi, adalah peringatan keras rentannya pengamanan di perbatasan sekaligus menjadi tanda mudahnya akses masuk ke Filipina baik secara resmi maupun ilegal. Jalur penyelundup dari Malaysia dan Laut Sulawesi masih menjadi cara paling populer kendati patroli keamanan laut terus ditingkatkan.

Menurut laporan Institute for Policy Analysis of Conflict (IPAC), para militan juga menggunakan kedok sebagai anggota Jamaah Tabligh dalam rangka dakwah. Siasat tersebut masuk akal karena pihak keamanan Filipina tak begitu curiga terhadap kegiatan anggota Jamaah Tabligh yang biasa berkeliling di Kepulauan Mindanao.

Iklan

Pemerintah Indonesia sendiri belum memiliki angka pasti dalam mengidentifikasi jumlah WNI yang masuk ke Marawi. Kapolri Jenderal Tito Karnavian menyebut ada 38 WNI terlibat dalam pertempuran Marawi. Sedikitnya 14 WNI yang bergabung dengan sel ISIS disinyalir tewas akibat kontak senjata dengan militer Filipina.

Meski secara resmi operasi militer di Marawi telah berakhir, bukan berarti para militan telah dibasmi. Pengamat terorisme Al Chaidar kepada VICE Indonesia mengatakan bahwa beberapa militan - yang sebelumnya bersembunyi di bawah terowongan buatan di bawah kota Marawi - berhasil menyelinap keluar dari Marawi dan bersembunyi di pulau-pulau perbatasan seperti Tawi-Tawi, Jolo, dan Basilan. Seorang militan asal Medan, Sumatera Utara, bernama Muhammad Ilham Syahputra ditangkap oleh kepolisian Filipina akibat mencoba kabur dari Marawi. Dia berenang menyeberangi danau awal November lalu. Ilham kini ditahan pihak otoritas Filipina dan didakwa kasus terorisme.

Indonesia terus mengintensifkan upaya pencegahan, namun begitu para militan lolos dari jaring pengaman. Namun di luar itu tak ada lagi upaya hukum yang bisa dilakukan pemerintah Indonesia. Lemahnya UU Antiterorisme di Indonesia membuat upaya deportasi militan dari Filipina akan berujung sia-sia.

Para militan yang bertempur bersama kelompok Maute tidak bisa dijerat dengan pasal-pasal antiterorisme yang ada, seperti yang dikatakan oleh kepala Divisi Humas Kapolri Inspektur Jenderal Setyo Wasisto. Menurut Setyo para militan tersebut tidak bisa dipidanakan karena pertempurannya dilakukan di luar negeri, bukan Indonesia.

“Inilah kelemahan UU terorisme kita. Itu sebabnya mengapa kami berharap agar segera direvisi. Kami tidak bisa memidanakan mereka karena tidak ada pelanggaran yang dilakukan di dalam negeri. Locus (Tempat) pelanggaran dilakukan di luar negeri,” ujar Setyo saat dihubungi media.

Singkatnya, para militan asal Indonesia yang ikut bertempur baik di Suriah, Irak, atau Afghanistan, tidak akan serta merta menjadi terdakwa teroris begitu pulang ke Tanah Air. Paling banter militan tersebut bakal dipaksa ikut program rehabilitasi dan deradikalisasi, sebelum dikembalikan ke tengah masyarakat.