FYI.

This story is over 5 years old.

film festival

Film “I Am Not A Witch” Menyorot Perburuan Dukun Era Modern di Zambia

Film debut Rungano Nyoni “I Am Not A Witch,” hangat diperbincangkan di Cannes. Dia menjelaskan bagaimana dia menggunakan satir untuk menggambarkan perjuangan seorang anak yang dituduh mempraktikkan ilmu gaib.

Kamp dukun di bagian utara Ghana, yang merupakan penjara, atraksi pariwisata, sekaligus komunitas bagi perempuan rentan, adalah fondasi I Am Not A Witch, gambaran satir soal sebuah kamp fiktif di Zambia.

Film ini mengisahkan Shula (yang diperankan Maggie Mulubwa), yatim piatu berusia 12 tahun yang dikucilkan dari desanya di Zambia setelah para tetangga menuduhnya mempraktikkan ilmu gaib. Dia dikirim ke kamp dukun, di mana dia tinggal bersama komunitas 'dukun' terpinggirkan yang menjadi keluarganya. Shula, seperti dukun-dukun lainnya, terikat dengan Mr. Banda (diperankan Henry BJ Phiri) melalui tali putih. Mr. Banda adalah 'penunggunya.' Saat Banda mengencangkan tali itu, ruang gerak Shula terbatas. Sebaliknya, kalau Shula berani-berani memotong tali tersebut, Banda bilang dia akan berubah jadi kambing. "Tali putih ini adalah representasi keterbatasan para dukun di kehidupan nyata," ujar Nyoni. "Saya ingin tali tersebut digambarkan secara fisik." Shula berkeliling Zambia dalam minivan karatan yang dikemudikan Banda, yang berperan sebagai mentor sekaligus mucikari spiritualnya. Dia diminta mengidentifikasi seorang pencuri dari jajaran (menurut saran sesama dukun, Shula sebaiknya menunjuk muka orang yang paling tampak bersalah); diminta menurunkan hujan dan mengakhiri kemarau panjang; dan bahkan diminta muncul di program televisi untuk menjajakan telur-telur Banda. Shula seringkali diam. Dia diasingkan dari desanya, putus sekolah, dan dieksploitasi Banda untuk keuntungan pribadi. Pada sebuah adegan menuju akhir, Shula mempertanyakan apakah lebih baik dia memotong pita putih itu dan menjadi kambing saja. Terlepas dari itu semua, Shula menemukan cara untuk meraih otonomi dalam situasinya yang mengenaskan. Pada sebuah adegan, dia mengunci Banda di luar minivan dan duduk dalam diam, mengabaikan tuntutan Banda supaya pintu dibuka kembali. Saya bertanya pada Nyoni mengapa aksi-aksi pemberontakan kecil seperti itu penting untuk digambarkan. "Saya menunjukkan skrip saya ke banyak orang setelah saya menyelesaikannya, dan mereka selalu bilang bahwa Shula perlu sedikit lebih ngocol," ujar Nyoni. "Saya mikir, 'Gimana tuh ya maksudnya? Kenapa pula dia harus ngocol?'" Menurut Nyoni, Shula adalah yatim piatu di desa terpencil. "Dia enggak punya pendapat," ujarnya. "Dia tidak dibesarkan untuk tahu bahwa dia memiliki kehendak dan hak untuk bilang 'tidak'. Saya mau menggambarkan dia sebagai heroine yang realistis. Dia sendirian, dan dia mencoba memahami bagaimana dunia berputar, dan aksi kecil-kecilannya itu berani dan kuat." Meski mengisahkan eksploitasi dan pelanggaran hak, I Am Not A Witch juga sebuah satir. Sebagian besar humor film ini datang dari kasting Phiri, pelawak Zambia yang berperan sebagai Mr. Banda. Phiri berhasil menampilkan sisi rendah diri dan menyedihkan, dan juga memunculkan sisi komedi dari peran yang begitu sembrono, mengingat kelamnya narasi ini. (Salah satu adegan menonjol di bagian akhir film adalah saat Mr. Banda menyembah dokter dukun yang murka karena mengirim Shula ke sekolah). "Salah satu inspirasi terbesar saya adalah Dr. Strangelove besutan Stanley Kubrick," ujar Nyoni saat ditanya alasan dia membingkai I Am Not A Witch sebagai sebuah satir. "Ini adalah film yang penuh dengan amarah, dan ini adalah cara yang berguna untuk menciptakan hubungan dengan penonton alih-alih sekadar menguliahi mereka soal betapa salahnya ini semua, dan betapa seharusnya mereka marah besar."

Shula, ditemani by Mr. Banda, mengidentifikasi pencuri di deretan orang. Foto milik Curzon Artificial Eye

Saya sampaikan pada Nyoni salah satu adegan kegemaran saya adalah saat seorang wisatawan Inggris yang mengunjungi kamp dukun, memaksa Shula yang putus asa supaya berpose untuk selfie karena dia percaya hal itu akan "membuatnya lebih gembira." Itu menyiksa banget, dan juga membuat saya teringat pada fenomena orang Barat berfoto dengan anak-anak yang nyeker di negara berkembang. "Perempuan-perempuan dalam kamp dukun ini menjadi objek bagi semua orang," ujar Nyoni, menjelaskan bahwa dia tertarik soal bagaimana kita semua terlibat dalam kekuasaan yang memecah belah dan menindas orang-orang, hanya dengan tidak menantang kekuasaan tersebut. Yang dilalui Shula—dipaksa putus sekolah, diasingkan dari komunitasnya, dan dipaksa bekerja untuk bertahan hidup—adalah hal yang umum. Ada banyak Shula di seluruh dunia, dan bahkan tidak semuanya dituduh "dukun." "Ini adalah film soal eksploitasi dan penindasan," ujar Nyoni. I Am Not A Witch bukan film yang sempurna. Terkadang, segalanya terasa terlalu ditata: beberapa shot terlalu bertele-tele, dan shot lainnya kekurangan eksposisi naratif, sehingga penonton kesulitan mengikuti jalan cerita, terutama pada bagian menuju akhir. Namun ini adalah pencapaian luar biasa bagi sutradara baru. "Saya merasa sangat, amat beruntung," ujarnya. "Saya enggak tahu apakah ini semua karena saya sutradara perempuan berkulit non-putih, tapi saya merasa parno bahwa ini adalah kesempatan terakhir saya untuk membuat film. Saya merasanya sih gitu. Saya ke Cannes, dan semua orang bilang 'udah, nikmati aja,' tapi saya terus kepikiran, 'habis ini saya ngapain? Saya harus mulai mengerjakan hal selanjutnya.'"Dalam persiapan film debutnya, sutradara keturunan Welsh-Zambia ini selama sebulan tinggal di kamp dukun di Ghana yang berusia 200 tahun. Kamp tersebut menaungi perempuan-perempuan yang dituduh mempraktikkan ilmu gaib dan diasingkan dari komunitas mereka. Dia mengaku tidak mendapati bukti-bukti kekuatan supernatural di sana. "Cara para perempuan menolong satu sama lain sangat mengagumkan. Mereka sangat solid, dan tak mempedulikan soal agama atau suku satu sama lain," ujarnya. Para penunggu—yang berwujud manusia, bukan roh—menggunakan beragam strategi untuk memastikan kepatuhan para perempuan. "Terkadang mereka memenjarakan mereka dan menggambarkan pembatas di sekeliling mereka menggunakan kapur, seakan-akan berkata, 'kalau berani melewati batasan ini, kau akan mati," kata Nyoni. "Di lain waktu, mereka disuruh minum sejenis ramuan, dan kalau mereka tidak mematuhi peraturan tertentu—yang biasanya berhubungan dengan kerja paksa—mereka akan mati." Dia tertawa. "Ya, mungkin saya hanya perlu mencoba menikmatinya untuk saat ini."